Apakah ini satu-satunya (solusi)? Tentu tidak. Jadi, itu bagian dari usaha kami
Jakarta (ANTARA) - Polusi udara adalah permasalahan klasik yang selalu menghantui ibu kota.

Setiap kali musim pemilihan pemimpin di DKI Jakarta, pencemaran udara seolah menjadi bumbu penambah cita rasa yang kerap digunakan para kontestan politik dalam agenda politiknya.

Namun, beberapa kali ibu kota berganti pemimpin, pencemaran udara di Jakarta masih soal pelik yang seperti tidak ada habisnya. Beruntung, pemerintah tidak habis sabar dalam mencari solusinya.

Berbagai pendekatan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengurai polutan di udara Jakarta. Dari yang bersifat teknis seperti penetapan uji emisi kendaraan dan pembangunan fasilitas pengelolaan sampah (Intermediate Treatment Facility), hingga bersifat humanistik-ekonomis seperti kampanye pemanfaatan bank sampah dan pemanfaatan lahan pekarangan rumah dengan hidroponik.

Belakangan ini Pemprov DKI Jakarta mengedepankan lidah mertua. Jenis tanaman hias ini tengah menyita perhatian warga Jakarta. Lidah mertua yang bernama Latin sansiviera trifasciata memiliki karakter menyerap partikel racun di udara dan digadang-gadang menjadi salah satu solusi efektif polusi udara.

Tidak heran bila Pemprov DKI Jakarta berencana untuk membagikan lidah mertua secara cuma-cuma kepada warga dan menempatkan tanaman ini di setiap atap gedung perkantoran yang ada di ibu kota.

Baca juga: Ini dia salah satu upaya urai polusi udara Jakarta

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meyakinkan publik bahwa pihaknya akan melakukan segala hal untuk mengurangi dampak polusi udara, salah satunya dengan tanaman lidah mertua.

"Ini sebetulnya teknis tetapi secara substansi Pemprov DKI akan melakukan semua yang bisa dikerjakan. Semua yang bisa dikerjakan, insyaallah, kami kerjakan. Apakah ini satu-satunya (solusi)? Tentu tidak. Jadi, itu bagian dari usaha kami," kata Anies Baswedan.

Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta bergerak cepat untuk merealisasikan program lidah mertua.

Menurut Kepala Dinas KPKP DKI Jakarta, Darjamuni, hingga pertengahan Juli 2019 pihaknya tinggal menunggu masa sanggah dari proses lelang proyek lidah mertua.

“Kami butuh banyak sekali tanaman lidah mertua untuk ditempatkan di gedung perkantoran. Karena itulah kami mengajak pihak ketiga untuk bekerjasama dalam penyediaan tanaman lidah mertua. Mudah-mudahan akhir Juli sudah ada bisa dieksekusi di lapangan,” ujar Darjamuni.

Ia menambahkan saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan beberapa suku dinas dan wali kota agar gedung perkantoran yang bersangkutan bisa menjadi proyek percontohan lidah mertua.

“Program ini akan dimulai dari gedung perkantoran saya sendiri dan kami berharap kantor suku dinas, kantor wali kota dan gedung perkantoran swasta di seluruh wilayah DKI Jakarta juga menerapkan hal serupa,” jelasnya.

Fungsi anti-polutan
Menyikapi keberadaan lidah mertua sebagai solusi polusi udara Jakarta, pakar tanaman hutan kota Prof. Endes Dahlan menjelaskan jenis tanaman yang paling efektif sebagai penyerap racun di udara adalah tanaman pepohonan.

"Mawar, anggrek, dan lidah mertua juga bisa. Tetapi kemampuan serapan polutannya tidak setinggi tanaman pepohonan. Tanaman pepohonan mampu menyerap polutan lebih tinggi karena punya banyak daun,“ kata Endes.

Ia menegaskan, karakter tanaman yang dapat menyerap polutan sangat tinggi adalah tanaman pepohonan memiliki banyak daun dan berdiameter daun cukup lebar.

Dalam menyerap polutan, kata Endes, tanaman pada umumnya memiliki dua fungsi yaitu menyerap polusi yang berbentuk gas dan menyerap polutan yang berbentuk debu.

“Semua dedaunan dapat menyerap polutan yang berbentuk gas. Tetapi jika konsentrasi polutannya terlalu tinggi, maka tanaman tersebut akan mati keracunan. Karena itu, sebaiknya tanaman tersebut perlu ditanam jauh sebelum konsentrasi gas polutan di udara terlalu tinggi,” jelas Endes.

Endes mencontohkan pohon Trembesi atau pohon hujan yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyerap karbondioksida (CO2) di udara. Menurutnya, pohon hujan punya rentangan cabang panjang hingga lebih dari 15 meter dapat menyerap 23 ton CO2 per tahun.

“Tapi, dahan pohon ini hanya mampu menyerap CO2 selama 10 sampai satu bulan sebelum akhirnya jatuh berguguran. Pohon tersebut akan membutuhkan energi cukup besar untuk dapat membentuk dahan yang baru dan juga mempertahankan cabang,” Endes memungkasi kalimatnya.

Sementara itu, tidak semua pihak sepakat dengan rencana penggunaan lidah mertua sebagai solusi polusi udara Jakarta.

Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mengatakan tanaman lidah mertua bukan solusi tepat bagi ibu kota.

Meski tidak menyalahkan rencana Pemprov DKI Jakarta untuk membagikan tanaman lidah mertua, namun Bondan menekankan bahwa pengendalian polusi udara seharusnya dilakukan dari sumber pencemar.

“Masak iya solusinya hanya bagi-bagi lidah mertua? Lah, cerobong-cerobong yang masih mengeluarkan asap, knalpot-knalpot yang masih mengeluarkan gas buang berwarna hitam, sampah yang masih dibakar, mau diapakan?" kata Bondan.

Argumen Bondan bukan tidak berdasar. Data dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sebanyak 75 persen pencemaran udara berasal dari transportasi darat, sembilan persen dari pembangkit listrik dan pemanas, delapan persen dari industri, dan delapan persen dari domestik.

Pertanyaannya, lanjut Bondan, berapa persen target pengurangan pencemaran udara yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mewujudkan udara Jakarta yang lebih bersih pada 2030?

"Lalu berapa anggaran yang disiapkan untuk menurunkan persentase emisi transportasi, industri, pembakaran sampah di Jakarta?” ujar Bondan.

Pertanyaan Bondan mungkin mewakili pertanyaan warga DKI Jakarta yang berharap dapat menghirup udara yang lebih sehat di tengah peliknya permasalahan klasik ibu kota.

Agaknya, w​​​​​​arga Jakarta tentu harus menanti keampuhan si lidah mertua dalam membersihkan langit ibu kota yang telanjur tercemar ini.

Baca juga: Greenpeace: lidah mertua bukan solusi tepat atasi polusi udara Jakarta

 

Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019