Pontianak (ANTARA) - Keriuhan Rainforest World Music Festival 2019 yang digelar di Kampung Budaya Sarawak, Malaysia, telah berakhir pada Minggu (14/7) lalu, di mana tak kurang dari 23.650 pengunjung hadir di ajang tahunan selama tiga hari itu.

RWMF juga seolah mentahbiskan diri sebagai salah satu daya tarik wisatawan ke Sarawak, yang tidak hanya sekedar musik belaka. Namun pengunjung yang datang dari berbagai belahan dunia ingin menikmati suasana dari kemeriahan RWMF yang selalu berbeda setiap tahunnya.

Tahun ini, ada 30 grup musik atau seni dan lebih dari 200 orang tampil di RWMF. Mulai dari Rapa Nui di Kepulauan Chili di Samudra Pasifik ada penampilan tarian balet Folcloric De Chile Bafochi, hingga Wai di Selandia Baru yang berada di Samudra Pasifik Barat Daya. Dari Indonesia, ada Spirit of the Hornbill yang menampilkan tarian Dayak asal Kalimantan Tengah.
 
Sejumlah anggota Spirit of The Hornbill asal Palangka Raya, Kalimantan Tengah menari di acara penutupan Rainforest World Music Festival (RWMF) 2019 di Kampung Budaya, Sarawak, Malaysia, Minggu (14/7/2019) . (ANTARA FOTO/JESSICA HELENA WUYSANG)


Sementara dari dalam Sarawak sendiri, ada lima band yang tampil, ini lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Meski bertaraf internasional, Sarawak tetap tak lupa untuk mengangkat grup band lokal. Ada At Adau, Kemada yang mengenalkan musik tradisional Iban, kemudian Staak Bisomu, dari etnis Bidayuh, dam Suk Binie's yang mengenalkan campuran musik tradisional dan etnis di Sarawak. Terakhir, ada pula Darmas, yang terdiri dari enam musisi muda yang diiringi musik klasik tradisional etnis Melayu.

Menariknya, ada peningkatan jumlah pengunjung saat sore ketika sesi interaktif dan workshop, sama seperti saat sesi tampil bersama secara dadakan di konser mini. Panitia menyediakan lebih dari 30 sesi mini yang digelar di rumah panjang Iban, Teras Bidayuh dan Dewan Lagenda. Di sesi ini, biasanya musisi dari berbagai grup musik secara spontan akan tampil jamming bersama.

Kegiatan lain selama RWMF adalah berkolaborasi dengan sejumlah pihak termasuk Friends of Sarawak Museum, bazar kerajinan tangan serta pusat Keanekaragaman hayati Sarawak. Ada pula debut pertama tahun ini dari What About Kuching (WAK) @RMWF yang terdiri dari berbagai unsur yang mampu menghidupkan atmosfir suasana di Damai Central, yang letaknya bersebelahan dengan Kampung Budaya Sarawak.

Minim Limbah
Sejak awal, Sarawak Tourism Board (STB) sudah menyatakan bahwa RWMF Tahun 2019 akan lebih hijau. Artinya, limbah yang banyak berserakan baik botol plastik, sisa styrofoam yang tahun lalu bertebaran, ditekan semaksimal mungkin.

Pada tahun 2018, lebih dari 60.000 botol air plastik dikumpulkan di RWMF untuk didaur ulang. "Ini memberi inspirasi untuk melakukan perubahan agar limbah botol plastik berkurang, tahun ini caranya dengan menyediakan instalasi air secara gratis," ujar Gustino Basuan, Manajer Komunikasi STB.

Selain itu, tercatat ada 645,70 kilogram limbah sisa makanan dan dapur, 51,60 kilogram peralatan makan biodegradable, dan 11 kilogram minyak sisa gorengan yang dikumpulkan untuk diproses dan dijadikan kompos.

Ada juga limbah kertas sebanyak 50 kilogram, 105 kilogram plastik, 43 kilgoram kaleng, dan 582 unit botol kaca yang dikumpulkan untuk didaur ulang.

Melalui berbagai perubahan, terlihat dampak nyata dari upaya pengurangan limbah tersebut. Lokasi pertunjukan RWMF 2019 pun menjadi jauh lebih bersih, tak terlihat sisa sampah. Salah satu yang diterapkan adalah, pengunjung harus membawa botol atau tumbler kosong yang dapat diisi dispenser air yang dipasok dari Cuckoo.

Selain itu, STB bersama Trienekens dan Spativate membuat desain yang menarik dari sisa limbah. Sedangkan Biji-Biji, yang memastikan bahwa limbah-limbah yang ada dikumpulkan untuk dijadikan pupuk. Tak lupa selalu ada penanaman pohon sebelum kegiatan puncak RWMF, yang tahun ini penanaman dilakukan di Pantai Puteri, Kampung Santubong.

Rindu Atmosfer Festival Hutan Hujan

Amir Andrianto (34), adalah salah seorang pengunjung rutin RWMF. Ia sudah empat tahun datang ke festival tersebut dari Kota Pontianak, Kalbar. Menurut dia, atmosfer di panggung-panggung utama RWMF, selalu membuat kerinduan tersendiri.

"Musik memang menyatukan, disana tak ada lagi sekat dan batas, semua menikmati musik dengan riang," kata Amir yang sengaja cuti untuk hadir di Sarawak. Selain itu, jarak yang dekat dan harga tiket yang tidak terlalu mahal, namun sudah mendapatkan pertunjukan kelas internasional, juga menjadi salah satu pertimbangan Amir untuk datang dari Pontianak.

RWMF memiliki dua panggung utama yang terletak di lapangan utama dari Kampung Budaya Sarawak. Latar belakang panggung adalah Gunung Santubong yang menjulang. Para grup musik atau musisi tampil bergantian di dua panggung yang letaknya berdekatan itu. Sementara di depan panggung yang lapang, ribuan pengunjung menikmati musik yang ditampilkan dengan cara masing-masing. Ada yang berjoged, ada yang berdansa, atau kalau hujan, sambil bermain lumpur di lapangan.

Tidak hanya konser musik, di RWMF juga dapat belajar banyak hal. Misalnya tentang kesehatan melalui yoga, atau belajar musik tradisional dan menari yang dipandu oleh musisi yang tampil dari berbagai belahan dunia tersebut.

Anak-anak pun dapat menikmati suasana di RWMF dengan mengikuti aktifitas yang melibatkan rekan seusia dari berbagai negara. Sekaligus melatih agar anak lebih percaya diri bergaul dengan teman-teman dari negara lain. "Yang namanya anak-anak, darimana saja, mereka pasti suka bermain bersama," ujar Aditya, juga asal Pontianak, yang datang bersama suami dan putri tunggalnya ke Kampung Budaya Sarawak untuk menyaksikan RMWF tersebut.

Dua puluh dua tahun lalu, RWMF hanyalah pertunjukan musik kecil yang disaksikan sekitar 300 orang. Seiring perjalanan waktu, RWMF terus tumbuh dan berkembang menjadi festival yang masuk dalam level atas tingkat dunia serta memenangkan berbagai penghargaan internasional.

FEstival yang digelar sejak Jumat (12/7), berakhir pada Minggu (14/7). Edisi ke-23 RWMF akan dimulai tanggal 10 - 12 Juli 2020.


Baca juga: Menjelajahi eksotisme musik warisan Maroko di RWMF 2019

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019