Upaya ini tidak hanya mengurangi efek perang dagang tetapi juga menjadi peluang mendorong kinerja perdagangan nasional
Jakarta (ANTARA) - Pemberitaan mengenai perang dagang, meski tidak sepenuhnya hilang, dapat dikatakan sedang mereda saat ini, terutama setelah adanya semacam penurunan ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China pascapertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang, beberapa waktu lalu.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyatakan, perundingan antara kedua Presiden dua negara adidaya tersebut pada KTT G-20 akhir Juni kemarin sebenarnya memberikan secercah harapan karena perundingan tersebut tidak menghasilkan pengenaan tarif tambahan.

Namun, ia mengingatkan bahwa tarif yang saat ini sudah dikenakan oleh kedua negara pun tidak dicabut, meski kedua Presiden juga mengemukakan ada upaya untuk me-"reset" kembali negosiasi perdagangan di antara kedua negara adidaya itu.

Melihat kondisi demikian, lanjutnya, diperkirakan dinamika perdagangan global masih akan terus berlanjut sehingga pemerintah Indonesia juga perlu terus berhati-hati dalam menyiasati perang dagang.

Dampak dari perang dagang antara AS dan China diperkirakan berlanjut setidaknya hingga 2020, karena diduga konflik dagang tersebut digunakan Presiden Donald Trump sebagai alat citra untuk memenangkan Pemilihan Presiden AS pada 2020.

Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo di Medan, Jumat (19/7) menyatakan bahwa perang dagang juga berpotensi meluas karena AS sedang mengkaji transaksi perdagangan dengan beberapa mitra dagang yang membuat negara Paman Sam defisit seperti India dan Meksiko.

Misalnya, saat ini AS sedang mengkaji hubungan dagang dengan Vietnam. Bukan tidak mungkin, AS menerapkan kebijakan perdagangan yang progresif untuk membalikkan posisi defisit perdagangan bilateral mereka.

Pandangan mengenai keberlanjutan perang dagang tersebut mengemuka dalam beberapa analisis pelaku pasar. Hal itu juga yang menjadi salah satu pertimbangan beberapa lembaga keuangan internasional untuk memprediksi perlambatan perekonomian global akan berlanjut hingga 2020.

Saat ini, ujar Dody, dampak perang dagang antara dua negara raksasa ekonomi AS dan China telah menekan volume perdagangan dunia yang mengakibatkan perlambatan perekonomian global. Selain itu, Konflik dagang antara AS dan China sudah memasuki perang tarif yang sangat mempengaruhi produksi rantai dagang global.

AS mengenakan tarif impor sebesar 10-25 persen atas barang-barang impor asal China dengan total nilai 200 miliar dolar AS, sementara China membalas dengan meminta tarif impor sebesar 25 persen atas barang-barang asal AS senilai 60 miliar dolar AS.

Ia mengatakan kepastian atas ketidakpastian ini akan membuat kondisi pertumbuhan ekonomi global lebih lambat dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini juga berdampak ke Indonesia, karena AS dan China merupakan sasaran ekspor Indonesia.

Untuk mengantisipasi dampak perang dagang agar tidak semakin menggerus pertumbuhan ekonomi, beberapa bank sentral mulai mengambil kebijakan memangkas suku bunga kebijakan, termasuk BI yang telah memangkas suku bunga kebijakan 25 basis poin dari enam persen ke 5,75 persen.


Risiko lebih kecil
Sedangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melihat Indonesia memiliki resiko perdagangan lebih kecil saat perang dagang antara AS dan China.

Menkeu menyebutkan negara-negara ASEAN terkena dampak berbeda-beda dari perang dagang, yaitu semakin negara tersebut ada di dalam rantai pasokan global, negara itu bakal berpengaruh besar terhadap perang dagang.

Sri Mulyani menilai semuanya menjadi kompensasi dari kebijakan setiap negara dalam mengurangi dampak negatif perdagangan global tersebut di dalam negeri masing-masing.

Pemerintah Indonesia, lanjutnya, telah memagari intensitas perang dagang Amerika Serikat dan China dengan mengurangi ketergantungan pada dolar AS lewat kerja sama bilateral.

"Salah satunya lewat rintisan Bank Indonesia bersama beberapa mitra dagang untuk menggunakan mata uang bilateral (bilateral currency)," ujar Sri Mulyani. Selain itu, pemerintah juga melakukan apa yang disebut perdagangan bilateral atau perdagangan regional.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga menyatakan, Presiden Jokowi juga telah berkali-kali menyatakan ingin membenahi iklim investasi dan melesatkan ekspor.

Sri Mulyani mengatakan mungkin ketika dulu, di mana sistem rezim politik yang sentralistik dan otoriter, mampu mengontrol hampir semuanya sehingga investasi baru mau datang. Ketika Indonesia menganut asas demokrasi, keterbukaan, dan desentralisasi, kemampuan menciptakan lingkungan investasi malah menurun.

Menurut dia, investor tidak terlalu melihat bagaimana sistem politik suatu negara atau mereka juga kerap tidak masalah mengeluarkan biaya lebih besar asalkan pasti ada hasilnya dan ada kepastian untuk berusaha.

Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menginginkan pejabat pemerintah jangan membuat kalimat memanfaatkan peluang dari perang dagang antara AS dan China hanya menjadi slogan semata.

"Perang dagang selalu menjadi jargon pemerintah seolah-olah ini peluang yang dapat dimanfaatkan. Tapi nyatanya, tidak mudah bisa memanfaatkan situasi ini tanpa adanya perubahan struktural perdagangan dan industri kita," kata Rachmi Hertanti ketika dihubungi Antara di Jakarta, Jumat (12/7).

Menurut Rachmi, hingga kini tidak ada langkah strategi yang sistematis yang dipersiapkan pemerintah dalam memanfaatkan perang dagang, dan tanpa adanya perang dagang memang sudah seharusnya pemerintah Indonesia juga melakukan perbaikan tata kelola kebijakan perdagangan dan industri nasional.

Ia berpendapat bahwa momentum perang dagang AS-China ini tidak serta merta dapat memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional, karena semua tergantung kepada prasyarat yang dapat dipenuhi oleh Indonesia, khususnya dalam konteks daya saing.

Memanfaatkan peluang kecil
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menyampaikan bahwa peluang Indonesia adalah kecil untuk mendapat keuntungan dari perang dagang antara AS dan China.

Fithra mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki peluang untuk memanfaatkan komoditas ekspor yang selama ini menjadi unggulan untuk dikirimkan ke AS, seperti produk holtikultura ataupun furnitur.

Namun, kata dia, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia, mengingat negara-negara lain juga mengincar peluang yang sama untuk dapat mengambil keuntungan dari perang dagang kedua negara.

"Pada saat bersamaan, kalau membandingkan secara kompetitif di ASEAN, seperti dengan Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia, dengan basis produk yang sama, mereka punya keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibanding Indonesia dan mereka mengincar hal yang sama,” kata Fithra.

Dengan kondisi tersebut, peluang Indonesia untuk bisa menggarap peluang imbas perang dagang akan cukup sulit karena terlalu banyak saingan.

Peluang yang minim itu juga disebut Fithra lantaran Indonesia belum memiliki basis produksi yang cukup terbangun. Dibandingkan dengan Filipina saja, Indonesia disebut telah kalah jauh karena barang permesinan mereka telah berhasil masuk ke pasar "Negeri Paman Sam."

Oleh karena itu, Fithra menyebut Indonesia masih akan sulit memanfaatkan peluang tersebut dalam jangka pendek. Peluang imbas perang dagang kemungkinan baru bisa diharapkan dalam jangka menengah atau panjang, seiring dengan upaya pemerintah terus fokus membangun industri.

Senada, pengamat ekonom UI Dr. Rizal E. Halim menyatakan bahwa salah satu cara menyikapi dampak perang dagang AS-China yakni mendorong produktivitas nasional dengan memperkuat sektor industri manufaktur dan memangkas inefisiensi ekonomi yang seringkali menyandera daya saing nasional.

"Upaya ini tidak hanya mengurangi efek perang dagang tetapi juga menjadi peluang mendorong kinerja perdagangan nasional. Syaratnya kinerja produktivitas industri manufaktur harus digenjot, inefisiensi baik dari sisi birokrasi maupun infrastruktur harus bisa dibenahi," kata Rizal di kampus UI Depok, Jawa Barat, Senin.

Ia mengatakan peningkatan tensi perdagangan dunia akibat perang dagang yang terjadi antara AS-China telah memberi tekanan terhadap kinerja perekonomian dunia, setidaknya terhadap pertumbuhan global dan melambatnya perdagangan global.

Untuk Indonesia, meskipun perekonomian nasional kurang begitu terdampak terhadap ekonomi dunia mengingat mesin pertumbuhan nasional bersumber dari konsumsi domestik, namun eskalasi perang dagang AS-China akan memberi imbas pada perlambatan kinerja perdagangan yang memang dalam lima tahun ini belum membaik.

Harga komoditas akan tertekan, sementara ekspor nasional sangat tergantung pada komoditas, ini menjadi catatan serius bagi sektor perdagangan Indonesia. Berikutnya, volatilitas keuangan global juga akan berimbas pada stabilitas sektor keuangan nasional.

Baca juga: Menyikapi perang dagang AS-China, ini kata Menkeu Sri Mulyani

Daya saing nasional
Sebenarnya, fenomena perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat China dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Indonesia bila produk nasional yang dihasilkan di dalam negeri berkualitas dan berdaya saing tinggi di tingkat mancanegara.

"Sepanjang Indonesia tidak mengalami kesulitan berarti dalam berdagang dengan AS dan China, peluangnya (memanfaatkan fenomena perang dagang) tetap terbuka," kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim.

Abdul Halim mencontohkan untuk sektor kelautan dan perikanan, maka ia sepakat bahwa produk yang harus diekspor adalah produk olahan yang berkualitas, dan bukan hanya mengandalkan ekspor ikan mentah semata.

Namun, menurut dia, apabila Indonesia levelnya masih ketergantungan tinggi terhadap ekspor bahan mentah yang tidak diolah dengan berkualitas, maka dampak memanfaatkan peluang perang dagang tidak berarti.

Ia berpendapat bahwa dengan melakukan pengolahan terhadap produk domestik, maka nilai tambahnya akan jauh lebih diterima di dalam mata rantai internasional.

Sebelumnya, Staf Khusus Presiden bidang ekonomi, Ahmad Erani Yustika menyatakan bahwa perluasan ekspor harus dilakukan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita dan jajarannya karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan peningkatan ekspor itu, utamanya dengan China.

"Presiden ingin kinerja perdagangan diperbaiki, baik dengan jalan meningkatkan ekspor ke negara tradisional maupun nontradisional dan mengendalikan impor, salah satunya dengan cara menginisiasi industri substitusi impor," kata Erani.

Erani melanjutkan, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sudah memacu ekspor dengan memperluas pasar.

Langkah tersebut sedikit banyak sudah membuahkan hasil, dimana tahun lalu, ekspor Indonesia naik ke negara-negara nontradisional, seperti Bangladesh (15,9 persen), Turki (10,4 persen), Myanmar (17,3 persen), Kanada (9,0 persen), dan Selandia Baru (16,8 persen).

"Tahun ini, pemerintah fokus ke pasar Afrika, dengan menandatangani 12 perjanjian. Tiga di antaranya merupakan target pasar baru (sejak 2018), yakni Mozambik, Tunisia, dan Maroko," katanya.

Selain dengan beberapa negara di Afrika, pemerintah juga memacu perdagangan dengan Iran dan Turki, serta kemudian memacu kinerja sektor industri. Peranan produk industri terhadap nilai ekspor semakin meningkat dan mencapai di atas 70 persen pada 2018.

Dengan berbagai langkah tersebut, diharapkan Indonesia juga dapat maksimal dalam memanfaatkan dan memberdayakan potensi dari perang dagang AS-China.

Baca juga: Sikapi perang dagang AS-China dengan dorong produktivitas nasional
Baca juga: BI: Perang dagang bakal meluas hingga 2020, ekonomi global melambat

 

Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019