Medan (ANTARA) - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan memvonis tujuh tahun penjara Bupati Nonaktif Pakpak Bharat, Remigo Yolando Berutu, karena diyakini terbukti menerima suap sebesar Rp1,6 miliar dari rekanan untuk pembagian proyek.

Majelis Hakim diketuai M.Abdul Azis, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, Kamis, menyebutkan terdakwa juga dikenakan denda Rp650 juta atau subsider empat bulan.

Selain itu, menurut Hakim, terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp1,2 miliar atau subsider satu tahun enam bulan penjara.

"Terdakwa tersebut, juga dicabut hak politiknya dan jabatan publik selama empat tahun," ucap Hakim.

Hakim menyebutkan, terdakwa melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana Juncto Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.

"Hal-hal yang memberatkan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.Sedangkan, hal-hal yang meringankan tidak ada," kata Hakim.

Usai sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Medan, kamera sebuah TV swasta Ayat Sudrajat yang sedang mengambil foto Remigo Yolando Berutu, ditarik salah seorang pemuda diduga simpatisan mantan Bupati Pakpak Bharat.

Bahkan, sejumlah wartawan yang meliput sidang tersebut, sempat terjadi cekcok dengan pemuda yang menghalang-halangi tugas jurnalitik.

Selanjutnya, dua anggota kepolisian yang berada di Pengadilan Negeri Medan, terpaksa mengamankan pemuda tersebut untuk menjaga hal-hal yang tidak diingini.

Pengadilan Negeri Medan, masih dianggap tidak aman bagi insan Pers yang melaksanakan tugas meliput persidangan.

Sebelumnya, Bupati Nonaktif Pakpak Bharat Remigo Yolando Berutu dituntut hukuman delapan tahun penjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan, dalam kasus suap pemberian proyek sebesar Rp 1,6 miliar.

Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mohammad Nur Azis, di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (4/7) dalam tuntutannya menyebutkan terdakwa juga dikenakan denda sebesar Rp650 juta, subsider enam bulan kurungan .

Selain itu, menurut dia, terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 1,2 miliar.Kalau terdakwa tidak mampu membayar uang pengganti maka harta bendanya disita oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut.

"Jika tidak mencukupi, dipidana penjara dua tahun.Terdakwa juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun setelah terdakwa menjalani pidana pokok," ucap JPU.

Menurut JPU, terdakwa melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana Juncto Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.

Hal-hal yang memberatkan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan memberikan keterangan berbelit-belit.
Terdakwa menerima uang suap Rp1,6 miliar dari pada rekanan melalui David Anderson Karosekali dan Hendriko Sembiring sejak Maret 2018 hingga 17 November 2018.

Terdakwa menerima uang proyek tersebut di beberapa tempat di Desa Salak I, Salak, Pakpak Bharat, Kantor BNI Cabang Pembantu Sidikalang, dan di Rumah Dinas Bupati Pakpak Bharat.

Kemudian, di Kantor Dinas PUPR Kabupaten Pakpak Bharat, Bank Sumut Cabang Pembantu Salak, di Ulos Cafe Hotel Santika Medan dan di rumah terdakwa Jalan Pasar Baru No 11 Medan.

Baca juga: Tantangan Kemendagri "habisi" bupati-bupati koruptor

 

Pewarta: Munawar Mandailing
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019