Pekanbaru (ANTARA) - Balung, sebuah desa yang berlokasi di pedalaman Kabupaten Kampar siap menjadi salah satu sentra penghasil jeruk terkemuka di Provinsi Riau, seperti sejarah manis yang pernah ditorehkan pada 1980-an.

"Kami di desa Balung pernah menjadi penghasil jeruk manis pada 1980-an, bahkan jeruk kita sampai ke Jakarta kala itu," kata tokoh masyarakat Desa Balung, Junihar (43) kepada Antara di Pekanbaru, Kamis.

Desa Balung merupakan salah satu desa yang secara administratif masuk ke dalam Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Namun, untuk menuju ke Desa yang kini sangat terisolir dan jauh tertinggal dibanding desa lainnya tersebut harus melalui Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Dan itu menjadi satu-satunya jalan yang tersedia.

Jalan setapak yang jauh dari kata layak sepanjang lebih dari 7 kilometer menjadi penyambut hangat menuju desa tersebut. Jalur terjal dihiasi tebing menjulang itu juga hanya bisa dilewati kendaraan roda empat.

Dari Pekanbaru, Antara harus menempuh 5 jam perjalanan darat menuju desa Balung, yang pada zaman penjajahan menjadi tempat persembunyian para pahlawan negara.
Baca juga: Banyuwangi jadi "pilot project" sentra jeruk nasional

Saat musim hujan tiba, satu-satunya akses desa Balung yang kental dengan adat istiadat perbatasan Riau-Sumatera Barat itu menjadi sangat licin. Tak jarang warga yang mengandalkan sepeda kayuh dan sepeda motor terjatuh. Jelas itu sangat berbahaya, ketika kiri kanan terhampar jurang menganga.

Junihar mengakui akses jalan menjadi salah satu hambatan besar bagi masyarakat desa Balung untuk berkembang. Jangankan mengejar ketertinggalan, mempertahankan status sentra desa penghasil jeruk saja sulit bagi mereka.

Kini, masyarakat desa lebih memilih mencari kayu di hutan untuk menyambung pendapatan. Bagi mereka yang kurang bernyali kucing-kucingan dengan petugas gabungan, mereka pun mengganti tanaman jeruk dengan komoditas yang lebih tahan. Tidak mudah busuk karena akses jalan yang buruk.

Pilihan jatuh pada karet. Pada dekade 90-an, tanaman karet merupakan primadona dengan harga begitu nyata. Namun kini, harga karet anjlok tak terkendali. Mereka ingin kembali menanam jeruk. Tapi lagi-lagi, akses jalan masih menjadi pil pahit yang terus menghantui.

Masyarakat Desa Balung bukannya tidak berusaha. Berulang kali ganti kepala desa, namun aspirasi warga masih tak didengarkan penguasa.

Status jalan desa yang menjadi alasan. Pemerintah Riau menganggap jalan penghubung ke desa itu berada di wilayah Sumatera Barat. Sehingga mustahil untuk mengeluarkan anggaran ke sana.

Sementara pemerintah Sumatera Barat pasti berfikiran membangun jalan yang bukan untuk rakyatnya bukanlah sebuah pilihan.
Baca juga: Kampung Moibaken Biak akan menjadi sentra buah jeruk

Namun kini, secercah harapan muncul ketika lebih dari 150 prajurit TNI Angkatan Darat yang tergabung dalam satuan tugas TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) datang ke desa mereka. 14 hari sudah prajurit TNI menanggalkan senjata dan meraih cangkul memecah bata.

Mereka membuka jalan alternatif lainnya, yang tidak lagi melewati akses lama nan berbahaya. Sepanjang lebih dari 9 kilometer jalan baru dibuka. Perbukitan dibelah dengan peralatan seadanya. Mengandalkan kekompakan dan semangat kerja sama.

Jalan itu nanti akan memangkas perjalanan dari desa Balung ke ibu kota, Pekanbaru. Bahkan 50 persen lebih cepat yang nanti menjadi urat nadi masyarakat.

Junihar gembira tak kepalang. Bapak tiga anak yang juga menjadi guru SD setempat itu merasa tidak salah langkah ketika tetap mengikuti jejak pendahulunya membudidayakan jeruk manis khas Desa Balung. Jeruk yang sudah terkenal seantero kota-kota di Riau.

Kini hamparan kebun jeruk seluas dua hektare yang ditumbuhi lebih dari 400 pohon itu siap untuk meraih pasar. Kejayaan masyarakat yang sempat sirna kini kembali berbinar.

"Terimakasih saya ucapkan kepada bapak-bapak TNI yang telah memperhatikan desa kami," ujarnya sumringah.
Baca juga: Puluhan hektare pohon jeruk pamelo di Magetan mati kekeringan

Pewarta: Anggi Romadhoni
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019