saya kira itu langkah yang tepat untuk mengeliminasi orang-orang yang pernah berbuat kejahatan
Purwokerto (ANTARA) - Pakar Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Prof. Hibnu Nugroho menilai Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) perlu dikaji kembali untuk mengeliminasi terjadinya kasus korupsi.

"Waktu itu kan putusannya (Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, red.) belum sampai ke pencabutan hak politik kan? Ke depan memang kalau kaitannya dengan jabatan politik mungkin harus (dikaji kembali), saya kira itu langkah yang tepat untuk mengeliminasi orang-orang yang pernah berbuat kejahatan," katanya di Purwokerto, Sabtu.

Hibnu mengatakan hal itu kepada Antara terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Kudus Muhammad Tamzil karena diduga terlibat dalam jual beli jabatan.

Lebih lanjut, Hibnu mengatakan sekarang ini saatnya pencabutan hak politik perlu diterapkan ketika seseorang melakukan kejahatan dalam jabatan politik.

Baca juga: KPK sesalkan Bupati Kudus Tamzil kembali terjerat kasus korupsi

Menurut dia, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah itu erat kaitannya dengan masalah integritas.

"Kuncinya itu integritas. Jadi integritas seseorang itu sekarang menjadi taruhan ketika ada godaan-godaan yang mempengaruhi atas jabatannya. Ini saya kira mungkin Pak Bupati pas integritasnya kurang, situasi kan bisa naik, bisa turun, kan begitu, sehingga kalah dengan godaan yang terjadi," katanya.

Ia mengatakan saat sekarang sistem sudah berubah dan kasus yang menjerat Bupati Tamzil berkaitan dengan dugaan jual beli jabatan.

Padahal, kata dia, pengisian jabatan dilakukan oleh panitia seleksi (pansel) yang ditujukan untuk membatasi terjadinya penyalahgunaan.

Baca juga: KPK tangkap Bupati Kudus terkait suap pengisian jabatan

"Tapi yang namanya manusia bisa-bisa saja," ujarnya.

Disinggung mengenai kemungkinan kasus tersebut disebabkan oleh faktor politik biaya tinggi, Hibnu mengaku jika ada analisis yang menyebutkan bahwa maraknya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah karena biaya politik yang tinggi, sehingga membutuhkan uang untuk memulihkan biaya yang telah dikeluarkan.

"Tetapi ingat, ini kan pejabat, jabatan, jabatan mau atau tidak mau nanti kan penyalahgunaan. Orang menjabat, gajinya sih berapa? Ini masuk penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan yang akhirnya menimbulkan kerugian negara," katanya.

Sebelumnya, OTT KPK terhadap Bupati Kudus Muhammad Tamzil dilakukan pada Jumat (26/7). Selain Bupati Kudus beserta ajudannya, tim dari KPK juga membawa Pelaksana tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kudus Kasmudi, serta Pelaksana tugas Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kudus Eko Hari Djatmiko.

Baca juga: KPK amankan Rp200 juta terkait OTT di Kudus

Sebelum menjabat Bupati Kudus periode 2018-2023, Muhammad Tamzil sempat terjerat kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus tahun 2004-2005.

Dalam proyek tersebut, merugikan negara sekitar Rp2,84 miliar, namun dalam penyidikannya sudah ada pengembalian kerugian Rp1,8 miliar.

Kasus hukum yang dialaminya, ketika yang bersangkutan tidak lagi menjabat sebagai Bupati Kudus.

Muhammad Tamzil yang saat itu kader PPP menjabat sebagai Bupati Kudus untuk periode 2003-2008, kemudian maju untuk Pemilihan Gubernur Jateng tahun 2008, namun kalah.

Baca juga: Istri Bupati Kudus masuk kepengurusan DPC PDI Perjuangan

Sementara itu, MK pada 2015 mengabulkan uji materi yang diajukan Jumanto, warga Dusun Siyem RT 1 RW 4, Desa Sogaan, Pakuniran, Probolinggo, Jawa Timur, dan Fathor Rasyid, warga Kloposepuluh RT 2 RW 5, Desa Kloposepuluh, Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur, terhadap Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang mengatur‎ pelarangan eks narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan, Pasal 7 huruf g Undang-Undang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. MK juga menilai pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, s‎epanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana, yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019