Kami yakini pemerintah membuat peraturan untuk menciptakan dunia usaha yang kompetitif, yang juga bisa menumbuhkan industri dalam negeri serta perlindungan konsumen.
Jakarta (ANTARA) - Perdagangan berbasis elektronik atau e-commerce disebut-sebut menjadi celah masuknya berbagai barang impor ke Indonesia.

Untuk itu, pemerintah tengah menyiapkan regulasi untuk membendung masuknya impor barang konsumsi melalui e-commerce.

Pembatasan tersebut dinilai penting untuk menciptakan kondisi persaingan usaha yang seimbang antara barang lokal dan impor, sekaligus menjaga daya saing industri dalam negeri.

Terlebih, pemerintah sedang berupaya untuk menekan pelebaran defisit neraca perdagangan yang sejak awal 2019 telah mencapai 1,93 miliar dolar AS.

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi melihat kebijakan tersebut perlu digodok dengan matang untuk mengetahui dengan benar siapa nantinya yang akan diuntungkan atau malah dirugikan dari kebijakan tersebut.

"Harus jelas alasan pemerintah keadilan ini versi siapa. Siapa yang kemudian diproteksi," ujar Fithra.

Pemerintah, menurut Fithra, perlu meneliti produk-produk sektor mana saja yang lebih banyak diimpor. Lebih dari itu, pengenaan cukai dinilai Fithra salah kaprah. Sebab, e-commerce sebagai platform tidak bisa melakukan impor barang secara langsung, melainkan pelapak yang melakukan impor.
Baca juga: Para pelaku e-commerce dukung rencana regulasi barang impor

Ketua Umum Indonesia E-Commerce Association (idEA) Ignatius Untung mengatakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) perlu memperjelas rencana kebijakan barang impor yang dimaksud.

Dia menjelaskan barang impor terdiri dari dua macam. Pertama, barang impor lintas-negara, perdagangan dari luar negeri, di mana barang impor dibeli oleh konsumen dalam negeri melalui e-commerce.

"Kalau ini yang misalnya diblok sama sekali tidak akan mempengaruhi e-commerce karena jumlahnya tidak sampai satu persen," ujar Untung.

Kedua, barang impor umum, yaitu barang impor produksi luar negeri, kebanyakan barang elektronik, seperti ponsel dan laptop.

"Jumlahnya banyak, bukan cuma di online. Kalau ini yang misalnya diblok, akan berdampak pada retail offline," kata Untung.

Untung mengatakan pemerintah sebaiknya mencari data yang menyeluruh tentang barang impor, tidak hanya secara makro.

Menurut dia, barang impor memiliki dua permasalahan yakni dari segi perdagangan dan dari segi manufaktur. Dalam hal manufaktur, pemerintah dapat berkoordinasi dengan pengusaha soal barang impor.

"Barang yang diimpor yang tidak bisa dipenuhi oleh kita sendiri akan ada dampaknya, akan jadi embargo diri sendiri," ujar Untung.
Baca juga: Asosiasi e-commerce katakan anggotanya tertib berikan data impor

Lapak daring
VP of Corporate Communications Tokopedia, Nuraini Razak, menjelaskan marketplace terdiri dari beberapa model bisnis, ada yang lintas-negara atau cross-border dan ada pula yang domestik.

Marketplace lintas-negara memfasilitasi transaksi antarnegara yang memungkinkan adanya impor di dalam platform, sementara marketplace domestik tidak memfasilitasi transaksi antar negara.

Marketplace domestik hanya beroperasi di satu negara, Tokopedia misalnya, hanya menerima penjual asal Indonesia dan memfasilitasi transaksi dari Indonesia untuk Indonesia.

"Karena model bisnis Tokopedia adalah marketplace domestik, yang tidak memungkinkan adanya impor di dalam platform, maka kami tidak memiliki data impor yang dimaksud. Yang bisa kami sampaikan adalah produk yang dijual di Tokopedia sudah berada di Indonesia," ujar Nuraini.

Artinya, lanjut Nuraini, jika produk yang dijual seperti handphone dan sebagainya, produk tersebut sudah melalui proses bea cukai dari distributor dan dijual kembali oleh pedagang eceran.

Tokopedia memiliki lebih dari 6 juta pedagang kecil, yang dulunya terkonsentrasi seperti di Mangga Dua, Roxy, dan sekitarnya, kini juga berjualan daring di Tokopedia untuk menjangkau pasar yang lebih besar.

"Mereka adalah sesama WNI yang melakukan perdagangan secara jujur dan sesuai dengan hukum yang berlaku," kata Nuraini.
Baca juga: Sebagian penjual onderdil Blok M lirik e-commerce

Terkait transaksi lintas-negara tersebut, menurut Head of Legal and Compliance Blibli.com Yudhi Pramono, tidak hanya dilakukan oleh platform e-commerce dalam negeri tetapi juga e-commerce dari luar negeri.

"Mungkin secara jumlah transaksi jauh lebih besar, di mana datanya pihak pemerintah pasti lebih mengetahuinya," ujar Yudi.

Meski demikian, Yudhi mendukung rencana kebijakan tersebut. Dia berharap rencana kebijakan tersebut dapat menumbuhkan dunia usaha yang kompetitif.

"Kami tentu saja akan mendukung kebijakan pemerintah. Kami yakini pemerintah membuat peraturan untuk menciptakan dunia usaha yang kompetitif, yang juga bisa menumbuhkan industri dalam negeri serta perlindungan konsumen," kata Yudhi.

Sementara itu, sejumlah pembeli di e-commerce mengaku mendukung rencana regulasi pemerintah tersebut. Meski harga yang dibandrol akan lebih mahal, Novina Putri Bestari mengaku tak keberatan.

"Risiko belanja kalau menurut saya. Kalau saya sih setuju, tidak apa-apa, karena buat pemasukan negara juga, dan memang seharusnya begitu," kata Novina.

Hal yang sama juga diungkapkan Khaira Riswan. Karyawan swasta itu berharap regulasi barang impor e-commerce dapat menumbuhkan iklim usaha yang setara.

"Tujuan e-commerce buat mempermudah penjualan yang pada punya toko di Indonesia, harus kena cukai karena biar enggak segampang itu mereka impor barang ke Indonesia, terlebih harga yang impor lebih murah," ujar Khaira.

Berdasarkan hasil penelitian perusahan riset independen Alvara Research Center bersama IDN Research Institute, yang dirilis awal Juli, aplikasi belanja yang paling diminati milenial adalah platform e-commerce asal luar negeri yaitu Lazada dengan 47,9 persen dan Shopee dengan 32,2 persen.

Selanjutnya, dua unicorn asal Indonesia Tokopedia dan Bukalapak berada di urutan ketiga dan keempat, masing-masing 15,4 persen dan 14,4 persen.

Perkembangan keempat e-commerce diproyeksikan akan terus berlanjut hingga 2020, melihat potensi e-commerce di Indonesia.

Menurut data Asosiasi E- Commerce Indonesia (idEA) potensi transaksi e-commerce di Indonesia terus meningkat dari 8 miliar di 2013 dolar AS menjadi 20 miliar dolar AS pada 2016, dan diproyeksi mencapai 130 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.700 triliun pada 2020.

Rencana regulasi barang impor untuk e-commerce tersebut diharapkan tidak mematikan geliat konsumsi masyarakat yang kini kian tumbuh.

"Saya rasa ini perlu dilihat lagi, industri lokal mana yang merasa terganggu, Jangan sampai pelapak yang jadi kena masalahnya," ujar Fithra.

Baca juga: Pemerintah siapkan regulasi bendung impor barang melalui e-commerce
Baca juga: Asosiasi "e-commerce" akan bertemu Dirjen Bea Cukai bahas barang impor

Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019