Meskipun pemerintah masih mengkaji dokumen proposal tesebut namun para pengusaha telah mengirim surat balasan kepada Uni Eropa supaya bisa menjadi bahan pertimbangan terkait besaran bea masuk (provision) untuk pengusaha.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menyebutkan bahwa proposal yang dikeluarkan oleh Uni Eropa terkait besaran bea masuk imbalan sementara (BMIS) produk biodiesel Indonesia terlalu berat sehingga sulit untuk mengekspor ke negara tersebut.

“Ya tidak bisa ekspor lah, susah 8 persen,” kata Paulus saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin.

Paulus mengatakan meskipun pemerintah masih mengkaji dokumen proposal tesebut namun para pengusaha telah mengirim surat balasan kepada Uni Eropa supaya bisa menjadi bahan pertimbangan terkait besaran bea masuk (provision) untuk pengusaha.

"Semua tergantung pada hasil dari pembelaan masing-masing perusahaan dan pemerintah. Mungkin bisa kurang dari 8 persen, nanti kita lihat," ujarnya.

Baca juga: RI protes rencana pengenaan bea masuk biodiesel UE

Sebelumnya, Uni Eropa mengeluarkan kebijakan yang berisi bahwa produk biodiesel asal Indonesia dikenai bea masuk sebesar 8 sampai 18 persen yang akan berlaku sementara pada 6 September mendatang.

Keputusan itu juga akan berlaku secara definitif per 4 Januari 2020 dengan masa berlaku selama 5 tahun.

Bea masuk tersebut akan diberlakukan untuk biodiesel produksi Ciliandra Perkasa sebesar 8 persen, Wilmar Group 15,7 persen, Musim Mas Group 16,3 persen, dan Permata Group sebesar 18 persen.

“Baru September, kalau bisa lebih rendah lagi kan mungkin banyak yang bisa ekspor. Kalau 5 persen sama saja seperti pajak biasa. Tapi kalau 18 atau 16 persen  besar sekali,” katanya.
Baca juga: Kemendag tengarai Eropa bangun strategi serang produk sawit RI

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019