apabila seorang sekda ditetapkan menjadi tersangka oleh penegak hukum maka harus diberhentikan sementara dan posisinya digantikan oleh pelaksana tugas (plt) atau pelaksana harian (plh) yang merupakan pejabat eselon dua.
Bandung (ANTARA) - Pengamat Hukum Ilmu Pemerintahan Universitas Parahyangan Prof Dr Asep Warlan Yusuf SH MH mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat segera menetapkan pengganti posisi Sekda Jawa Barat terkait ditetapkannya Iwa Karniwa sebagai tersangka dalam pengembangan kasus suap izin proyek Meikarta.

"Peran sekda penting betul dalam menentukan APBD. Kalau ada penahanan maka besok lusa gubernur harus menerbitkan plh atau plt untuk sementara," kata Asep Warlan ketika dihubungi melalui telepon, Senin.

Asep mengatakan apabila seorang sekda ditetapkan menjadi tersangka oleh penegak hukum maka harus diberhentikan sementara dan posisinya digantikan oleh pelaksana tugas (plt) atau pelaksana harian (plh) yang merupakan pejabat eselon dua.

"Bisa oleh staf ahli, oleh asisten, untuk sementara sampai dengan nanti inkrah. Kalau sudah dibawa ke pengadilan, berproses bisa panjang begitu. Nah kalau sudah jadi terdakwa, nantinya diajukannya untuk bisa jadi diberhentikan dengan tetap," kata Asep.

Dia mencontohkan pentingnya sekda definitif ada di Pemkot Bandung saat Yossi Irianto yang menjabat sebagai Sekda Kota Bandung maju dalam pilkada.

Pemkot Bandung sempat mengalami masalah dalam menentukan APBD karena tidak ada sekda definitif.

"Untuk menentukan APBD dibutuhkan seorang sekda definitif karena sekda itu sebagai Ketua TAPD (tim anggaran pemerintah daerah)," kata dia.

Sebelumnya KPK menetapkan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat 2015-sekarang Iwa Karniwa sebagai tersangka dalam pengembangan kasus suap izin proyek Meikarta.

"Sejak 10 Juli 2019 KPK melakukan penyidikan untuk tersangka IWK (Iwa Karniwa), Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat 2015 - sekarang dalam perkara dugaan suap terkait dengan Pembahasan Substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Senin.

Konstruksi perkara tersebut adalah Neneng Rahmi Nurlaili selaku Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi pada tahun 2017 menerima sejumlah uang terkait dengan pengurusan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi yang kemudian diberikan kepada beberapa pihak dengan tu1uan agar memperlancar proses pembahasannya.

Sekitar bulan April 2017, setelah masuk pengajuan Rancangan Perda RDTR, Neneng Rahmi Nurlaili diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR Hendry Lincoln untuk bertemu pimpinan DPRD di Kantor DPRD Kabupaten Bekasi.

Pada pertemuan tersebut Sekretaris Dinas PUPR Hendry Lincoln menyampaikan permintaan uang dari pimpinan DPRD terkait pengurusan tersebut

Setelah Rancangan Perda RDTR Kabupaten Bekasi disetujui oleh DPRD Bekasi dan dikirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dilakukan pembahasan.

Namun Raperda tidak segera dibahas oleh POKJA Badan Koordinasi Penataan ruang Daerah (BKPRD) sedangkan dokumen pendukung sudah diberikan.

"Didapatkan informasi bahwa agar RDTR diproses Neneng Rahmi Diani harus bertemu dengan tersangka IWK selaku Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat," tambah Saut.

Baca juga: Ditetapkan sebagai tersangka, rumah dinas Sekda Jabar sepi

Baca juga: KPK tetapkan Sekda Jabar tersangka pengembangan suap Meikarta

Baca juga: KPK tetapkan bekas Presdir Lippo Cikarang tersangka suap Meikarta



Neneng Rahmi kemudian mendapatkan informasi bahwa Iwa Karniwa meminta uang Rpl miliar untuk penyelesaian proses RDTR di provinsi

Permintaan tersebut diteruskan pada salah satu karyawan PT. Lippo Cikarang dan direspons bahwa uang akan disiapkan. Beberapa waktu kemudian pihak Lippo menyerahkan uang pada Neneng Rahmi pada sekitar Desember 2017 dalam dua tahap.

"Neneng Rhami melalui perantara menyerahkan uang pada tersangka IWK dengan total Rp900 juta terkait dengan pengurusan RDTR di Provinsi Jawa Barat," ungkap Saut.

Atas perbuatannya Iwa Karniwa diduga melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019