Jakarta (ANTARA News) - DPR meminta pemerintah serius mengusut adanya potensi kerugian negara yang harus ditanggung PT Telkom dari hasil kerjasama dengan PT Mitra Global Telekomunikasi Indonesia (MGTI) sebagai mitra KSO Divre IV Telkom (Jateng & DIY). Kepada pers di Jakarta, Minggu, anggota Komisi I DPR, Deddy Djamaluddin Malik, mengingatkan pemerintah agar tidak mempetieskan kasus-kasus terkait kerjasama operasi (KSO) Telkom di berbagai divisi regional yang menimbulkan kerugian negara atau publik. "Karena Telkom adalah BUMN, berarti jika ada penyimpangan itu artinya merugikan negara," katanya. Diperkirakan negara akan mengalami kerugian sekitar 124 juta dolar AS atau Rp1,24 triliun karena perjanjian antara Telkom dengan MGTI yang kontrak kerjasamanya dimulai pada 2004 hingga 2010 mendatang. Oleh karenanya, menurut Deddy, Komisi I dalam waktu dekat juga akan memanggil BPK untuk menjelaskan kelanjutan hasil audit BPK atas kasus ini. "Jika tidak ada langkah lebih lanjut maka kasus ini seyogyanya segera ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung atau KPK, karena ada potensi kerugian negara," katanya. Telkom sebelumnya menjalin kerja sama operasional dengan MGTI dalam menyediakan sarana telekomunikasi. MGTI sendiri awalnya milik PT Indosat dan Indosat pun berkeinginan menjual MGTI kepada Telkom. Namun, pada awal 2004 lalu PT Alberta Telecommunication melakukan pembelian MGTI dengan nilai transaksi sekitar Rp2 triliun. Berdasarkan amendemen surat perjanjian KSO yang dilakukan Telkom dengan Alberta pada 24 Oktober 2003, BUMN ini langsung mengambil alih seluruh pembangunan infrastruktur di Jawa Tengah dan Yogyakarta dari tangan MGTI. Sebagai imbalannya, Telkom membayar fee (fixed investor revenue/FIR) yang cukup besar dan kewajiban bulanan ini berlaku mulai dari tahun 2004 hingga 2010. Menurut laporan keuangan Telkom, total pembayaran FIR kepada MGTI dari 2004-2010 nilainya mencapai 390 juta dolar AS sebagaimana termuat dalam surat perjanjian KSO yang ditandatangani oleh PT Telkom dan Alberta. Artinya, jika merujuk nilai pembelian MGTI oleh Alberta, ada selisih sebesar 124 juta dolar AS yang dikantongi Alberta. Karena berpotensi menimbulkan kerugian negara sebesar Rp1 triliun, Serikat Pekerja (Sekar) Divre IV Jateng-DIY juga menolak aset MGTI dijual kepada PT Alberta Communication. Ketua DPW Sekar Telkom Jawa Tengah, Sahrul Achyar,menduga adanya praktik "hanky panky" dari transaksi yang dilakukan tersebut sehingga akhirnya menyebabkan Telkom harus membayar fee dalam jumlah lumayan besar kepada Alberta yang sebagian sahamnya dimiliki PT Saratoga Investama Sedaya milik Edwin Soeryadjaya dan Sandi Uno. Menurut perhitungan Sekar, seharusnya Telkom akan jauh lebih diuntungkan jika memilih alternatif menjual seluruh saham MGTI dibandingkan dengan melakukan amendemen KSO. Apalagi, Alberta dianggap tidak memiliki kompetensi dalam mengembangkan bisnis telekomunikasi. Perusahaan itu pun baru dibentuk tak lama setelah mencuatnya rencana Indosat melepas kepemilikannya di MGTI. "Membangun jaringan saja Alberta tak paham,"ujar Syahrul. Sementara itu BPK sudah menurunkan timnya untuk mengusut lebih lanjut penyimpangan ini dan hasilnya akan disampaikan kepada DPR dalam waktu dekat. BPK telah memeriksa kegiatan pengadaan barang dan jasa pada Telkom untuk tahun buku 2004 sampai triwulan II 2006 berdasarkan Surat Tugas BPK-RI No. 49/ST/VII-XV.2/8/2006 tertanggal 28 Agustus 2006. Pada pemeriksaan awal tersebut, menurut penanggung jawab pemeriksaan BPK, I Made Mertha, BPK mengklaim telah menemukan adanya indikasi awal terjadinya penyimpangan dan BPK menyarankan agar manajemen Telkom membuat perhitungan ulang nilai FIR dan kemudian membuat amendemen kembali dengan PT MGTI. (D011/B/I010/12.00) (T.D011/B/I010/C/I010) 06-04-2008 13:28:53 NNNN

Copyright © ANTARA 2008