Kesuksesan pemindahan ibu kota dari Almaty seperti 'anak' dari kepemimpinan Presiden Nursultan Nazarbayev sehingga untuk menghormati beliau, Kazakhstan mengganti nama Astana menjadi Nur-Sultan
Jakarta (ANTARA) - Wacana pemindahan ibu kota Indonesia kembali digaungkan Presiden Joko Widodo yang diawali dengan cuitan di akun Twitternya pada April lalu. Tidak mengejutkan jika cuitan itu pun berkembang menjadi diskursus yang masih mengemuka hingga saat ini, terutama setelah pemilu 2019 berakhir dan Jokowi tinggal menunggu pelantikan sebagai presiden RI 2019-2024 pada Oktober mendatang.

Jokowi yang akan duduk sebagai kepala negara dan pemerintahan untuk kedua kalinya pun diharapkan lebih berani untuk mengeksekusi wacana itu menjadi proyek yang nyata. Pasalnya, ide pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke wilayah lain bukan hal baru. Pendahulu Jokowi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah juga memunculkan wacana itu, namun tidak ditindaklanjuti. Proklamator sekaligus presiden pertama Indonesia, Sukarno, juga pernah berencana memindahkan Ibu Kota Jakarta ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada '50-an.

Belajar dari pengalaman beberapa negara, terlihat jelas bahwa kunci terlaksananya pemindahan ibu kota ada di tangan pemimpin pemerintahan. Salah satunya, kesuksesan relokasi ibu kota Kazakhstan dari Almaty ke Astana (kini Nur-Sultan). Tanpa kepemimpinan yang tegas dari presiden pertama Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev, pemindahan itu mungkin tidak akan terlaksana pada 1997.

Menurut Kedutaan Besar Kazakhstan di Jakarta, alasan utama pemindahan ibu kota ke Nur-Sultan karena jumlah penduduk di Almaty sudah sangat padat, namun karena letaknya yang dikelilingi pegunungan, membuat kota tidak bisa berkembang dan akhirnya menghambat pertumbuhan.

Lokasi Almaty yang dikelilingi pegunungan itu juga rentan diguncang gempa sehingga dapat membahayakan posisi ibu kota. Selain itu, ibu kota lama Kazakhstan terletak di bagian selatan yang menyulitkan proses administrasi pemerintahan.

Berdasarkan alasan-alasan itu, dipilihlah wilayah baru yang terletak di pusat negeri yang dianggap lebih strategis untuk menjalankan administrasi pemerintahan dan mempermudah komunikasi pemerintah pusat-daerah serta memungkinkan ibu kota untuk terus berkembang. Terkait pengembangan kota, pemerintah Kazakhstan juga percaya pemerataan ekonomi lebih mudah dilakukan dengan pemindahan ibu kota karena adanya perpindahan tenaga kerja dari seluruh provinsi.
Kota Almaty, ibu kota lama Kazakhstan, yang dikelilingi pegunungan dinilai tidak strategis untuk pembangunan. (Kedutaan Besar Kazakhstan)

Akhirnya terpilih Astana (sebelumnya bernama Akmola dan kini Nur-Sultan) sebagai lokasi ibu kota baru yang kemudian disahkan Dewan Agung Kazakhstan pada 1994. Akmola saat itu memenuhi semua syarat sebagai lokasi ibu kota baru, antara lain letak yang strategis, relatif lebih tahan dari ancaman bencana alam, pasokan air dan makanan yang memadai, serta ketersediaan ruang yang memungkinkan pengembangan kota.

Digawangi arsitek Jepang Kurokawa Kisho, Akmola dirancang sedemikian rupa untuk dapat mengakomodasi ribuan pegawai instansi inti pemerintahan dan keluarga mereka di tahap awal relokasi secara resmi pada 10 Desember 1997. Rencana induk pembangunan ibu kota baru juga dibuat untuk memungkinkan pembangunan berkelanjutan untuk mengikuti perubahan zaman dan pertumbuhan yang dinamis.

Pemindahan dilakukan bertahan hingga secara garis besar rampung pada 2000. Sejak saat itu, secara bertahap seluruh badan pemerintahan pindah ke Akmola yang kemudian berubah nama menjadi Astana dan kini Nur-Sultan.

"Pemindahan ibu kota ke Nur-Sultan juga menjadi momentum yang sangat kuat untuk pertumbuhan ekonomi Kazakhstan," ujar pernyataan tertulis dari Kedubes Kazakhstan di Jakarta.

Selama hampir 22 tahun sejak relokasi ibu kota, investasi di Kazakhstan kian bertumbuh dengan porsi sebesar 10 persen atau mencapai sekitar 47 miliar dolar AS (setara sekitar Rp660 triliun). Pada akhir 2018, Nur-sultan menyumbang 9,8 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Kazakhstan. Dari hanya ribuan penduduk, kini Nur-Sultan dihuni 1,1 juta jiwa atau sekitar 5,9 persen dari total 18,5 juta populasi Kazakhstan.

Kemudian, pada Maret 2018, Nur-Sultan kali pertama masuk sebagai salah satu pusat keuangan dunia berdasarkan Global Financial Centers Index di posisi 88. Kemudian naik ke ranking 51 pada 2019 dan menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Tengah dan Eropa Timur.

Tidak hanya itu, ibu kota baru Kazakhstan juga menerima penghargaan sebagai kota perdamaian dari UNESCO pada 1999. Kedubes Kazakhstan menyebut penghargaan itu sebagai pengakuan dunia atas pembangunan Nur-Sultan yang dinilai sukses baik dari segi ekonomi maupun sosial, serta memberikan kontribusi bagi kebudayaan dunia.

Dengan segala capaian itu, tampaknya relatif sulit untuk tidak mengaitkan dampak positif pemindahan ibu kota bagi pembangunan Kazakhstan secara keseluruhan. Karena itu, sebagai bentuk penghormatan, pemerintah Kazakhstan pun mengubah nama Ibu Kota Astana menjadi Nur-Sultan pada Maret 2019.

"Kesuksesan pemindahan ibu kota dari Almaty seperti 'anak' dari kepemimpinan Presiden Nursultan Nazarbayev sehingga untuk menghormati beliau, Kazakhstan mengganti nama Astana menjadi Nur-Sultan," kata perwakilan Kazakhstan di Jakarta.
Foto udara Akmola yang kemudian berubah nama Astana (kini Nur-Sultan) di awal pembangunan ibu kota baru Kazakhstan. (Kedutaan Besar Kazakhstan)


Melihat keberhasilan pemindahan ibu kota Almaty ke Nur-Sultan, mungkin bisa menjadi pendorong yang lebih kuat bagi pemerintah Indonesia untuk menapaki jalan yang sama. Tentu tidak serta-merta mengikuti secara utuh langkah yang diambil Kazakhstan, namun sebagian besar alasan pemindahan ibu kota negara itu juga ada di Jakarta.

Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), letak Jakarta yang di Pulau Jawa rentan terhadap bencana gempa. Salah satunya gempa dengan kekuatan 7,3 Skala Richter yang mengguncang Tasikmalaya, Jawa Barat, pada September 2009, membuat gedung-gedung tinggi di ibu kota turut bergoyang hebat.

Rawannya Jakarta terdampak bencana alam juga terbukti pada 23 Januari 2018 sekitar pukul 13.30 WIB, saat gempa tektonik berkekuatan 6,1 SR mengguncang Banten. Guncangan dari pusat gempa yang berjarak sekitar 140 km dari Jakarta itu membuat warga ibu kota terutama yang bekerja atau tinggal di gedung bertingkat berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri.

Selain gempa, Jakarta juga punya masalah klasik yang disebabkan banjir. Meskipun diklaim sudah bisa ditangani, namun nyatanya saat musim hujan tiba masih kerap datang lagi.

Belum lagi kemacetan lalu lintas yang berkaitan erat dengan tingginya tingkat polusi udara di Jakarta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyebut udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat karena nilai kualitas udara atau Air Quality Index (AQI) berada di atas angka 150. Angka itu membuat Jakarta sempat menyandang predikat kota dengan kualitas udara terburuk di dunia berdasarkan data AirVisual pada Senin (29/7/2019).

Dengan semua masalah itu, Jakarta menanggung beban yang terlalu berat sebagai pusat pemerintahan dan bisnis sekaligus. Sementara itu, pertumbuhan yang terpusat di ibu kota juga menyebabkan ketimpangan ekonomi dan sosial, tidak hanya dengan daerah, tetapi juga di antara penghuni Jakarta.

Jokowi yang terpilih lagi sebagai presiden RI untuk kedua kali telah mengangkat lagi isu untuk memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa sebagai solusi. Kini publik menanti langkah berani Jokowi untuk mengeksekusi rencana lama yang kerap diungkit-ungkit, tetapi minim bukti.

Hingga kelak, keberhasilan pemindahan ibu kota sebagai bagian dari solusi untuk membangun negeri pun akan menjadi salah satu legasi kepemimpinan Presiden Jokowi.

Baca juga: Menanti desain ibu kota baru pengganti Jakarta
Baca juga: Menteri PPN targetkan pemindahan ibu kota tahun 2024
Baca juga: Kalimantan Timur sodorkan dua lokasi calon ibu kota negara


 

Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019