Tanjungpinang (ANTARA) - Gedung Daerah, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dahulu dan sekarang, menyimpan kisah yang berbeda. Cerita itu mengalir dalam sejarah kemerdekaan RI hingga Kepulauan Riau berpisah dengan Riau.

Gedung yang berada di dalam kawasan yang kini dikenal dengan nama Kota Lama, Tanjungpinang itu dibangun padqa tahun 1880 atau ketika Belanda masih menjajah Indonesia.

Situs bangunan bersejarah yang berada di atas lahan seluas 1.080 meter persegi itu merupakan peninggalan residen Belanda yang dibangun di awal tahun 1880.

Dalam catatan sejarah, gedung ini pula menjadi tempat kediaman keresidenan Hindia Belanda dan Jepang. Pada tahun 1950, gedung ini menjadi tempat penyerahan kedaulatan Indonesia dari residen Hindia Belanda terakhir Dr. Waardenburg.
 
Di Gedung Daerah ini Wakil Presiden RI Adam Malik pernah menginap ketika berkunjung ke Tanjungpinang. Selain itu, Susilo Bambang Yudhoyono dan Abdurahman Wahid ketika menjabat sebagai Presiden Indonesia melakukan rapat terbatas, kemudian mereka menginap di gedung ini.

Pada masa Pemerintahan RI, gedung ini pernah dipakai sebagai kediaman Gubernur Riau pertama (1958 s.d. 1959) Mr. S.M. Amin Nasution. Sejak 2004 atau sejak Kepulauan Riau resmi menjadi provinsi, gubernur dan wakil gubernur tinggal di rumah dinas di lingkungan Gedung Daerah.

Oleh karena itu, sejak puluhan tahun lalu hingga terpisahnya Provinsi Kepulauan Riau dari Riau, gedung kukuh berwarna putih yang berada persis di seberang Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang itu seperti tempat yang sakral, yang bentuknya tidak pernah berubah.

Tiga gubernur definitif, dimulai dari S.M. Amin Nasution, Ismeth Abdullah, dan H.M. Sani menjadikan Gedung Daerah sebagai tempat penting. Oleh karena itu, di gedung ini hanya ada pertemuan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan tamu-tamu kehormatan pemerintah.

Kegiatan selain pemerintahan yang diselenggarakan di Gedung Daerah pun terbatas, hanya berhubungan dengan seni kebudayaan, sosial kemasyarakatan, dan keagamaan.

Kondisi itu berubah drastis ketika Nurdin Basirun menjabat sebagai Gubernur Kepri.

Nurdin yang diberi gelar adat Datok Setia Amanah dari Lembaga Adat Melayu Kepri membuka akses seluas-luasnya kepada berbagai elemen masyarakat untuk menyelenggarakan kegiatan di Gedung Daerah.

Bahkan, pentas konser musik yang tidak mencerminkan budaya melayu pun diselenggarakan di Gedung Daerah. Nurdin seakan-akan ingin menciptakan Gedung Daerah sebagai "rumah rakyat".


Merah Putih

Padahal, dalam catatan sejarah, Gedung Daerah seolah-olah menjadi saksi penentuan sikap masyarakat Kepulauan Riau apakah bergabung dengan Indonesia atau Singapura. Pilihan itu terjadi setelah 4 tahun Indonesia merdeka.

Imam Sudrajat, pria kelahiran Jakarta 9 November 1939, merupakan salah seorang tokoh masyarakat Kepulauan Riau yang mengetahui sejarah itu. Sebelum wafat, Imam Sudrajat sempat berwasiat kepada ANTARA yang mewawawancarainya 3 hari sebelum HUT RI, 4 tahun lalu, agar tetap mengingat sejarah.

Semasa hidupnya, Imam enggan menyingkat Kepulauan Riau menjadi Kepri dengan alasan wilayah ini diperjuangkan dengan susah payah agar masuk Indonesia berdasarkan sejarah nusantara.

Semasa hidup, meski sudah berusia lanjut, dia masih mampu menceritakan dengan detail peristiwa bersejarah ketika pertama kali bendera Merah Putih berkibar di Tanjungpinang. Orang yang mengerek bendera itu di depan Gedung Daerah Tanjungpinang adalah Mochtar Husein.

"Dia (Mochtar Husein) paman saya. Pelaku sejarah kedaulatan Indonesia di Tanjungpinang," tutur mantan Ketua Dewan Penasihat Veteran Kepulauan Riau itu.

Ia mengatakan bahwa Kepulauan Riau masuk ke dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan pada tahun 1945, melainkan 1949.

Saat itu, sebagian masyarakat menginginkan Kepulauan Riau masuk ke Singapura, yang saat itu dijajah Inggris. Keinginan untuk menyerahkan Kepulauan Riau sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia berdasarkan sejarah nusantara, sedangkan keinginan untuk menjadi bagian dari Singapura lantaran negara berlambangkan kepala singa itu satu rumpun dengan Kepulauan Riau.

Di tengah tarik ulur keinginan itu, Mochtar bersama rekan-rekan seperjuangannya memberanikan diri, mendesak Kepulauan Riau masuk dalam wilayah kedaulatan NKRI. Keinginan itu mendapat dukungan penuh dari Presiden RI Soekarno.

Untuk melahirkan sejarah yang mirip dengan pengibaran Sangsaka Merah Putih pertama di NKRI, bendera Merah Putih dijahit oleh Rahma binti Rahmat dan Uni Daiya.

"Rahma itu mertua saya, sedangkan Uni Daiya, warga Tepi Laut Tanjungpinang yang memiliki semangat perjuangan yang sama," ucapnya.

Seusai dijahit, bendera Merah Putih berkibar di sebuah rumah yang berada di depan Gedung Daerah pada tahun 1949.

Bendera itu dikibarkan di atas tiang yang berada di pojok sebelah kanan rumah tersebut. Rumah itu sudah digusur karena terkesan kumuh berada di pusat kota.

Fondasi tiang bendera bergeser setelah Pemerintah Kota Tanjungpinang membangun Tugu Proklamasi.

Tugu Proklamasi itu dibangun saat Suryatati A. Manan menjabat sebagai Wali Kota Tanjungpinang.

"Fondasi bendera berada di depan Tugu Proklamasi. Sebenarnya, tidak bisa dikatakan Tugu Proklamasi karena penyerahan kedaulatan dilakukan pada tahun 1949, bukan 1945. Akan tetapi, tidak apa-apa, kalau hanya sekadar untuk mengingat," katanya.

Tidak banyak masyarakat yang mengetahui di sekitar Tugu Proklamasi itu menyimpan sejarah Kepulauan Riau bergabung dengan Indonesia. Mereka mungkin mengira Kepulauan Riau menjadi bagian dari Indonesia sama seperti wilayah lainnya.

"Jangan lupakan sejarah. Sejarah itu harus diingat, disampaikan dengan benar kepada generasi muda," ucapnya.


Petaka

Nurdin Basirun "Sang Raja" yang memegang tampuk kekuasaan setelah H.M. Sani meninggal dunia.

Pesan Sani kepada Nurdin cukup sederhana, yakni "jaga dan rawat Kepri".

Namun apa yang terjadi? Pada hari Rabu, 10 Juli 2019 beberapa saat setelah azan memanggil umat Islam untuk salat Magrib, kabar buruk mengudara begitu cepat. Berbagai informasi deras mengalir di ponsel yang ingin memastikan apakah benar Gubernur Kepri Nurdin Basirun ditangkap KPK.

Informasi itu ternyata benar, Nurdin ditangkap di rumah dinas yang berada di sebelah Gedung Daerah. Nurdin ditangkap beberapa saat setelah tiba di Gedung Daerah setelah seharian mengikuti acara HUT Bhayangkara di Polda Kepri, Batam.

Nurdin sempat diperiksa beberapa saat sebelum dibawa ke Polres Tanjungpinang. Rumah dinas itu kemudian disegel petugas KPK.

Baca juga: KPK perpanjang penahanan Gubernur Kepri nonaktif Nurdin Basirun

Baca juga: KPK geledah sembilan lokasi di Kepri

Baca juga: KPK dalami proses perizinan reklamasi terkait kasus Nurdin Basirun


Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kepri Nilwan ikut diseret petugas KPK gara-gara membawa durian untuk Nurdin. Ia tidak mengetahui KPK menangkap Nurdin.

"Saat kejadian (Rabu dua pekan lalu) saya bawa satu kardus durian dan dokumen, bukan bawa uang. Akan tetapi, saya ikut terseret karena masuk ke Gedung Daerah," kata Nilwan.

Ia pun sempat ketakutan ketika disergap beberapa anggota KPK yang bergerak cepat dari tangga samping rumah dinas Nurdin.

"Saya sempat bingung, tidak tahu harus berbuat apa karena kaget," katanya setelah sempat diperiksa sebagai saksi selama sehari di Polres Tanjungpinang dan Gedung KPK.

Di Polres Tanjungpinang baru diketahui Nurdin ditangkap setelah KPK menangkap Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau Edi Sofyan dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap di dinas itu, Budi Hartono. Ketiganya diduga terlibat dalam kasus dugaan gratifikasi pemberian izin prinsip reklamasi di salah satu kawasan di Tanjung Piayu, Batam. Pemberi uang itu adalah Abu Bakar. Namun, setelah ditelusuri, ternyata dia bekerja sebagai nelayan.

KPK sampai saat ini masih menelusuri sumber uang tersebut, dan telah memeriksa sejumlah pengusaha, salah satunya Kok Meng.

Sehari setelah menetapkan Nurdin, Edy, Budi, dan Abu Bakar sebagai tersangka, KPK melakukan kembali gebrakan dengan menggeledah rumah dinas Nurdin di Gedung Daerah. Di rumah dinas ini, petugas menemukan dokumen, uang Rp132.610.000,00 dalam sebuah tas, 43.942 dolar Singapura, 5.303 dolar Amerika Serikat, 5 euro, 407 ringgit Malaysia, dan 500 riyal Arab Saudi.

"Uang itu disimpan dalam tas dan kardus," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Pekan lalu, petugas KPK juga menggeledah sejumlah dinas, seperti Dinas Perhubungan Kepri, Dinas ESDM dan Dinas PTSP Kepri. Dari penggeledahan ini, KPK menyita sejumlah dokumen yang berhubungan dengan kasus gratifikasi yang menjerat Nurdin Basirun.

Andi Nasrun, kuasa hukum Gubernur nonaktif Nurdin Basirun, mengatakan bahwa kliennya dalam kondisi sehat.

"Teman-temannya belum boleh menjenguk, masih menunggu izin dari KPK," katanya.

Ia mempertimbangkan untuk menjadi justice collaborator.

"Yang penting sampai sekarang dia masih proaktif. Dengan sikap itu, 'kan hasilnya sama menjadi justice collaborator," kata Andi.

Ia memastikan Nurdin berkomitmen untuk kooperatif. Itu dibuktikan Nurdin selama diperiksa penyidik KPK.

"Selama pemeriksaan Nurdin kooperatif," ucapnya.

Kasus ini mendorong Ketua Lembaga Adat Melayu Kepri Abdul Razak buka suara.

Kepri dalam musibah besar, katanya.

Razak mengatakan bahwa musibah itu membuat muruah melayu di Kepri jatuh. Namun, sebaiknya warga melayu tidak "kuncup", tetapi harus tetap semangat memajukan Kepri.

Orang melayu harus tetap menjadi dirinya sendiri, jangan diadu domba sehingga ribut sesama orang melayu

Di pemerintahan, berdasarkan hasil pemantauan LAM, terdapat kelompok-kelompok, ada kelompok yang merasa sedih dengan musibah itu, dan ada juga yang merasa senang.

"Jangan mau diprovokasi. Kita harus bersatu, kompak membangun kampung," katanya.

Razak mengaku sudah mengingatkan Gubernur nonaktif Nurdin Basirun agar berhati-hati dalam melaksanakan tugas sebelum ditangkap KPK.

"Saya sudah berulang kali ingatkan kepada Pak Nurdin kerja yang baik. KPK ada di kampung kita sejak beberapa bulan lalu," ujarnya.

Kegiatan yang diselenggarakan KPK di Kepri merupakan peringatan bagi pemerintah daerah untuk berhati-hati dalam bekerja. Dalam mengambil kebijakan harus sesuai dengan ketentuan, dan bersikap profesional.

Menurut dia, apa yang dilakukan KPK berturut-turut di Kepri merupakan upaya pencegahan. Seharusnya itu dipahami Pemprov Kepri agar tidak terjadi pelanggaran hukum.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019