Jika sampai program ini tidak berjalan efektif maka ini adalah suatu bentuk pemborosan uang negara
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IV DPR RI Muhammad Nasyit Umar mengutarakan harapannya agar program Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani (Serasi) bagi berbagai kelompok petani jangan sampai memboroskan anggaran negara.

"Jika sampai program ini tidak berjalan efektif maka ini adalah suatu bentuk pemborosan uang negara," kata Nasyit Umar dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Ia mencontohkan, dalam kunjungan kerjanya ke Sumatera Selatan ditemukan bahwa dana yang dikucurkan ke kelompok tani di sana adalah sekitar Rp4,3 juta per hektare.

Dengan demikian, lanjutnya, bila dana tersebut dikalikan dengan areal yang akan digali seluas 200.000 hektare maka total biaya anggaran yang dibutuhkan dapat mencapai sebesar Rp860 miliar.

Politisi Partai Demokrat berpendapat bahwa dana untuk program tersebut seharusnya berdasarkan kebutuhan lapangan sehingga tidak semua areal yang ditentukan harus digali.

Mengenai sistem penggalian, ujar dia, jangan sampai kelompok tani yang melakukan pengerjaan galian ini kelewatan dalam menggali karena jika itu terjadi maka akan berdampak buruk.

"Apalagi, jika sampai penggalian itu tidak terkontrol sehingga terlalu dalam menggali itu membuat zat piritnya naik. Pirit yang naik itu berbahaya bagi tanaman sebab pirit adalah zat kimia. Sistem penggalian oleh Kelompok Tani dalam program Serasi ini harus benar-benar terkontrol," katanya.

Sebagaimana diwartakan, Kementerian Pertanian ingin memberdayakan lahan rawa yang dinilai merupakan lahan marjinal yang memiliki potensi sangat besar untuk dikelola menjadi areal pertanian termasuk untuk tanaman pangan di berbagai daerah.

"Strategi yang penting di lahan rawa ialah memberi bahan organik sebagai pembenah tanah. Bahan organik menjadi penyangga biologi yang berperan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah berimbang," kata Peneliti Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Kementan, Mukhlis.

Menurut Mukhlis, agar tujuan itu tercapai bahan organik yang diberikan harus sudah terdekomposisi karena bahan organik segar yang langsung diberikan ke dalam tanah dapat merugikan pertumbuhan tanaman karena terjadi proses immobilisasi nitrogen dan terlepasnya senyawa beracun yang mengganggu tanaman.

Ia mengemukakan bahwa potensi lahan rawa memang maha luas sekitar 34,12 juta hektare, tersebar di tiga pulau besar Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Namun diantaranya baru sekitar 2,27 juta hektare yang dibuka pemerintah secara terintegrasi dengan program transmigrasi dan 3,00 juta hektare dibuka oleh masyarakat setempat secara swadaya.

Berdasarkan data Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, luas lahan rawa yang potensial untuk tanaman pangan (padi sawah) mencapai 14,18 juta hektare.

Diperkirakan baru sekitar 6,0-6,5 juta hektare yang telah dimanfaatkan dan hanya sekitar 3,0-3,5 juta hektare yang menjadi sawah atau lahan untuk padi selebihnya masih berupa semak belukar, hutan sekunder atau rawa monoton yang selalu tergenang sepanjang tahun.

Selain itu, produktivitas lahan rawa sangat beragam dan sangat tergantung pada kondisi tanah, tata air dan penerapan teknologi terutama pengelolaan lahan dan varietas tanaman.

Apalagi produksi rata-rata padi di lahan rawa rendah, hanya 2-3 ton per hektare, atau setengah atau kurang dari angka rata-rata hasil padi nasional 6 ton per hektare.

Baca juga: Balitbangtan kembangkan budi daya itik di lahan rawa
Baca juga: Mentan optimistis program Serasi sejahterakan petani Kalsel

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019