Jakarta (ANTARA) - Ketua umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Prof Budi Djatmiko mengatakan lebih baik mengundang rektor dan dosen asing dari pada mengundang perguruan tinggi asing masuk ke Tanah Air.

"Jika dilihat dari pemanfaatannya perguruan tinggi asing masuk Indonesia masalah menjadi kompleks, terutama bagi perguruan tinggi swasta kecil yang ada," ujar Budi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Dia menjelaskan untuk mengundang rektor dan dosen asing, perlu banyak merubah peraturan mulai dari Peraturan Pemerintahnya dan Peraturan Menteri, statuta perguruan tinggi dan lain-lain. Dalam melaksanakan uji coba rektor asing dosen asing, kata dia, pemerintah perlu hati-hati dan jangan buru-buru tetapi perlu pengkajian dari sana-sini.
Baca juga: Nasir: Perekrutan rektor asing jangan dimaknai tidak jaga nasionalisme

Menurut dia, ada beberapa hal yang akan menjadi daya tarik dan keuntungan jika Indonesia memiliki rektor dan dosen asing. Pertama, akan menambah motivasi unsur berkompetisi jauh lebih baik bagi para rektor dan dosen
lokal.

Kedua, menjadikan informasi dan transaksi ilmu pengetahuan yang jauh lebih baik, jika kita mampu menyeleksi mereka secara baik melalui pengalaman masa lalu para calon rektor dan dosen dari negara lain.

Ketiga, perguruan tinggi akan menghasilkan proses tridharma perguruan tinggi jauh lebih baik, jika dipimpin rektor dan dosen asing. Keempat, jika rektor dan dosen asing tadi masih berstatus di "homebase" (asal perguruan tinggi) di luar negeri, maka akan menambah lebih baik kolaborasi antar dua negara.

Kelima, rektor dan dosen asing yang memiliki karya-karya ilmiah kelas dunia, akan bisa menaikan karya-karya ilmiah bagi dosen dan mahasiswa Indonesia jika kolaborasinya dimanfaatkan lebih baik. Keenam, rektor dan dosen asing akan menjadi perantara tautan kolaborasi antar institusi perguruan tinggi dan juga antar dua negara.

Sementara, kerugian dengan mendatangkan rektor asing yakni biaya yang dikeluarkan sangat mahal dan juga akan mempengaruhi motivasi para rektor dan dosen lokal jika mereka ternyata tidak sesuai dengan harapan.

Rektor dan dosen asing akan sulit menyesuaikan kondisi pekerjaan dan beban pekerjaan di tempat asal mereka. Kemudian, rektor dan dosen asing akan bermasalah jika bekerja di Indonesia, karena beban menjadi rektor tidak hanya bicara kualitas tridharma perguruan tinggi, tetapi ada juga pekerjaan yang menyangkut masalah “politik titipan penguasa".


Selanjutnya, tidak ada jaminan rektor dan dosen asing memberikan kontribusi positif terhadap bangsa dan negara jika mereka memiliki akhlak dan perilaku yang buruk.
Baca juga: Nasir targetkan PTN yang dipimpin rektor asing tembus 100 besar dunia

"Jika salah memilih rektor dan dosen asing selamanya rezim ini akan dicap oleh masyarakat pendidikan dengan predikat buruk, tetapi jika berhasil akan dapat predikat baik juga."


Beberapa negara yang banyak mempraktekan dosen asing masuk ke satu negara, contoh Malaysia mengundang dosen dan guru dari Indonesia di akhir tahun 1960 sampai petengahan tahun 1970an. Jepang juga demikian mengundang guru dan dosen berkualitas dari beberapa negara.

Selanjutnya, China sudah hampir lima belas tahun dan setiap tahun mengundang para pakar dan dosen sebanyak 1.000 dari seluruh dunia, untuk bisa kolaborasi dengan para ahli dan dosen di China, dan hasilnya China menguasai teknologi diberbagai bidang.

Begitu juga Singapura yang mendatangkan rektor asing untuk Nanyang Technological University (NTU) yang baru didirikan pada 1981, namun saat ini sudah masuk 50 besar dunia dalam waktu 38 tahun.


"Jika menilik latar belakang negara-negara maju mereka sangat konsen mengembangkan sumber daya manusia, karena dengan SDM yang berkualitas akan menghasilkan peradaban yang baik juga. semoga harapan ini bisa tercapai jika kita mampu memiliki rektor dan dosen asing yang berkualitas dan mampu membawa kebaikan buat pembangunan SDM Indonesia dimasa mendatang," harap dia.
Baca juga: Yosep Parera: merekrut rektor asing tak sejalan dengan Pancasila
 

Pewarta: Indriani
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019