Jakarta (ANTARA) - Warga Ibu Kota Negara, DKI Jakarta selama beberapa hari belakangan seakan tidak bisa lepas dari kata polusi.

Mulai dari udara Jakarta yang dinilai memiliki kualitas tidak sehat, polusi di darat yakni kemacetan serta masalah sampah dan kini, muncul polusi di laut sebagai imbas tumpahan minyak yang terjadi di perairan Karawang, Jawa Barat.

Tercemarnya wilayah laut begitu dirasakan oleh nelayan, tidak hanya di Kabupaten Karawang, tetapi juga berimbas kepada nelayan di Jakarta.

Nelayan di Kampung Marunda Kepu, Jakarta Utara, Banglah, mengeluhkan hasil tangkapan mulai berkurang sejak beberapa hari terakhir.

Ia menduga berkurangnya tangkapan ikan itu akibat kebocoran minyak di anjungan lepas pantai YYA-1 Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ), sekitar dua kilometer dari Pantai Karawang, Jawa Barat.

Sebelumnya, bapak delapan anak itu biasanya mendaratkan ikan termasuk udang dan rajungan rata-rata 20 hingga 30 kilogram per hari.

Kini, nelayan berusia 50 tahun itu hanya mampu menangkap ikan sekitar dua kilogram per hari. Alhasil, hasil tangkapan itu tidak menutupi ongkos untuk melaut.

Bersama rekan nelayan lainnya, ia menggabungkan hasil tangkapan berupa ikan tambang putih, untuk dijual di salah satu pasar pelelangan di Cilincing, Jakarta Utara.

Banglah merupakan nelayan yang biasanya melaut dari perairan Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat, hingga Kepulauan Seribu.

Saat menyusuri perairan itu, Banglah melihat permukaan air laut banyak ditemukan butiran gelembung minyak berwarna hitam.

Nasib serupa juga dialami nelayan di Dermaga Baru Muara Angke, Jakarta Utara yang juga mengeluhkan hasil tangkapan ikan menjadi berkurang.

Pengurus kapal nelayan, Andi mengaku hasil tangkapan ikan menurun hingga diperkirakan mencapai 40 persen.

Menurut Andi, sebelumnya ia biasanya dapat menangkap ikan termasuk ikan tembang dan rajungan rata-rata hingga lima kuintal. Saat ini, ia hanya mampu menangkap ikan sekitar dua kuintal per hari.

Nelayan-nelayan tersebut biasanya melaut dari wilayah Tanjung Priok hingga Kepulauan Seribu.

Andi mengaku selama melaut, ia banyak melihat ikan mengambang yang diduga akibat air yang berminyak.

Meski limbah minyak memengaruhi tangkapannya, ia memastikan ikan yang ditangkap masih segar.

Mengikuti angin

Para nelayan di Jakarta kini seperti harap-harap cemas menghadapi tumpahan minyak tersebut karena sebaran minyak di laut salah satunya tergantung arah angin.

Buktinya, tumpahan minyak akibat kebocoran migas yang berpusat di perairan Karawang, Jawa Barat, yang berada di sebelah timur, ditemukan juga di beberapa pulau di Kepulauan Seribu yang berada di sebelah barat.

Artinya, tumpahan minyak itu diterpa oleh angin dari arah timur hingga ditemukan di Kepulauan Seribu yang berada di sebelah barat atau berada di utara Teluk Jakarta.

Bupati Kepulauan Seribu, Husein Murad sebelumnya mengonfirmasi beberapa pulau antara lain Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa, dan Pulau Ayer terdampak tumpahan minyak mentah.

Adapun bentuknya, kata dia, berupa gumpalan kecil berwarna hitam seperti aspal padat.

Sementara itu, nelayan pesisir RT 08/RW 07 Kampung Marunda Kepu, Jakarta Utara, Subur Haryanto mengaku belum menemukan gumpalan-gumpalan minyak hitam masuk hingga Teluk Jakarta.

Hal itu, kata dia, diperkirakan karena wilayah melaut nelayan pesisir Marunda Kepu di sekitar Teluk Jakarta yang terhalang oleh Muara Bendera sehingga tumpahan minyak belum mengarah ke kawasan tersebut.

Meski demikian, ia merasa khawatir apabila tumpahan minyak masuk wilayah pesisir karena arah angin saat ini yang berubah-ubah.

Jika arah angin bergerak dari utara ke selatan, lanjut dia, bisa jadi tumpahan minyak itu masuk pesisir Jakarta.

Bedasarkan perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam lamannya menyebutkan arah angin khususnya di wilayah Jakarta Utara pada Jumat (2/8) siang diperkirakan berubah-ubah.

Sedangkan pada malam hari, arah angin bergerak dari utara-timur laut dengan perkiraan kecepatan 9 kilometer per jam dan pada dini hari, dari timur-timur laut juga dengan perkiraan 9 kilometer per jam.

Tanggung jawab Pertamina

Tumpahan minyak tersebut berawal saat Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) sedang melakukan pengeboran sumur reaktivasi YYA-1 pada Jumat (12/7).

Saat itu, terjadi kebocoran minyak dan gas di sekitar anjungan lepas pantai YYA-1 area yang berada sekitar dua kilometer dari pesisir Karawang, Jawa Barat.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebut insiden tumpahan minyak dari sumur YYA-1 area Pertamina Hulu Energi di Blok Offshore North West Java (ONWJ) itu sebagai ancaman.

Namun, sifatnya tidak disengaja karena merupakan kecelakaan.

Menteri nyentrik itu mengaku tidak khawatir dan meminta pihak terkait, termasuk nelayan, tidak panik atas kejadian tersebut.

Pasalnya, sebagai BUMN, Pertamina dipastikan akan menangani masalah tersebut dengan baik.

Perseroan itu juga memastikan akan memberikan kompensasi atas kerugian yang didapatkan pihak terkait.

Terkait dengan itu, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Dharmawan Syamsu memastikan perusahaan minyak milik negara tersebut bertanggung jawab penuh atas peristiwa tumpahan minyak itu.

Untuk mengerem sebaran tumpahan minyak, pihaknya menambah 1.200 oil boom atau sejenis pelampung yang berfungsi melokalisasi atau mengurung tumpahan minyak di air agar tidak menyebar.

Untuk wilayah pemasangan atau sebaran oil boom, kata dia, tidak hanya dipasang di sekitar perairan Karawang, Jawa Barat, tetapi hingga ke Kepulauan Seribu karena juga terdampak tumpahan minyak.

Pertamina juga bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menggunakan satelit imagery dalam memantau pergerakan tumpahan minyak.

Dengan adanya bantuan satelit itu, pergerakan tumpahan minyak tersebut mudah dipantau dan dikejar oleh kapal saat masih berada di laut.

Dengan berbagai upaya, Pertamina mengklaim volume tumpahan minyak akibat kebocoran migas, tinggal 10 persen dibandingkan volume awal tumpahan minyak yang ditaksir mencapai 3.000 barel per hari.

BUMN itu juga menyiapkan formula kesepakatan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas tumpahan minyak dari anjungan sumur migas Pertamina itu.

VP Corporate Communications Pertamina Fajriyah Usman mengatakan untuk Karawang, sedang dibentuk komite yang dipimpin oleh Dinas KKP, pemda setempat, himpunan nelayan dan juga kepala desa terdampak.

Dalam penjelasannya dibutuhkan koordinasi dengan berbagai pihak agar bentuk ganti rugi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terdampak.

Hal tersebut juga dipertegas oleh Nicke Widyawati selaku Direktur Utama Pertamina. Ia memastikan bahwa Pertamina berkomitmen untuk melakukan penanggulangan hingga tuntas.

Perusahaan pelat merah itu berjanji ganti rugi akan dilakukan secepatnya, namun pihaknya masih berkoordinasi dengan pemda dan dinas terkait lainnya untuk bersama-sama merumuskan dan menetapkan standar nilai kompensasinya.

Terkait lingkungan, Nicke menjelaskan penanganan yang dilakukan saat ini fokus dalam mematikan sumur YYA-1 terlebih dahulu yang dibantu Boots and Coots, perusahaan asing berkompeten di bidangnya.

Dalam jangka panjang, Pertamina juga akan melakukan CSR secara berkala dan pemulihan terhadap lingkungan.

Semua pihak tentunya tidak ingin alam, lingkungan dan manusianya terancam, salah satunya dari imbas tumpahan minyak di laut, meski itu merupakan insiden tidak terduga.

Sembari menunggu dan mendukung kerja keras pihak terkait menghentikan kebocoran dan tumpahan minyak di laut, setidaknya ada satu pelajaran mendasar yang bisa dipetik.

Pelajaran itu berasal dari para nelayan sendiri yang tetap semangat melaut, meski dibayangi polusi di laut, tempat kerja sehari-hari yang selama ini memberi penghidupan kepada keluarganya.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019