Jakarta (ANTARA) - Mantan duta besar Indonesia untuk China Sugeng Rahardjo meminta para diplomat Indonesia di luar negeri agar tidak terjebak ego sektoral atau urusan protokoler semata karena keberadaan mereka bukan lagi sebagai pegawai Kemlu, tapi mewakili seluruh stakeholder di Tanah Air.

"Jangan ada anggapan bahwa usaha peningkatan kerja sama di bidang perdagangan adalah urusan Kementerian Perdagangan, bukan Kemlu. kita harus bisa memanfaatkan keberadaan perwakilan di luar negeri untuk kepentingan negara," kata Sugeng di Jakarta, Senin.


Menurut Sugeng yang juga pernah menjadi Dubes RI di Afrika Selatan itu, setidaknya terdapat empat indikator keberhasilan perwakilan Indonesia, yaitu perdagangan harus meningkat setiap tahun, peningkatan investasi kedua belah pihak, peningkatan bidang pariwisata dan transfer teknologi.

"Empat ini saja cukup, tidak usah politik luar negeri bebas dan aktif, itu cerita lama, sekarang ini yang lebih penting bagaimana pada abad ke 21 ini semua bisa membantu pemerintah sehingga current account itu tidak lagi defisit ke depan," kata Sugeng yang sekarang menjabat sebagai Presiden Direktur PT Gajah Tunggal itu.

Triliunan rupiah yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk membiayai sekitar 140 perwakilan Indonesia di luar negeri menurut Sugeng harus ditutupi dengan kegiatan ekonomi dan perdagangan.

"Jangan sampai jika ada peluang, tapi tidak diambil karena menganggap itu adalah tugas Kementerian Perdagangan, lalu KBRI diam saja. Menurut saya itu salah karena kesempatan tidak datang dua kali," katanya.

Sugeng juga menyayangkan keputusan Kemlu membubarkan Dirjen Hubungan Ekonomi Luar Negeri dengan alasan karena Kemlu memegang jabatan politik, sehingga bidang politik dan hukum lah yang jadi prioritas.

"Pada saat kita tidak punya musuh, bidang ekonomi yang harus berperan. Kalau kita membayar orang hanya untuk sekedar nongkrong di perwakilan luar negeri dan tidak melakukan apa apa, rugi negara ini," katanya.

Sugeng menceritakan pengalamannya saat menjadi duta besar di Afrika Selatan, yaitu membantu menjual sebanyak 10.000 unit mobil Avanza untuk dijadikan taksi saat Piala Dunia 2010.

Sebagai dampak ikutannya, pabrik mobil Astra yang biasanya memproduksi suku cadang dengan kapasitas produksi 40 persen, melonjak menjadi 99 persen untuk memenuhi suplai suku cadang di Afrika Selatan.

"Kalau hal seperti ini bisa dilakukan oleh semua perwakilan Indonesia di luar negeri, saya yakin tidak akan ada current account defisit," katanya.

Ia juga menceritakan perjuangan saat memaksa China akhirnya membuka pasar terhadap enam produk Indonesia yang pada awalnya dilarang masuk negara berpenduduk terbesar di dunia itu, diantaranya adalah sarang urung walet, kayu gaharu, ikan arwana dan buah manggis.


Tahun lalu, total nilai ekspor sarang burung walet ke China menurut Sugeng mencapai Rp4 triliun dan itu belum memenuhi kuota yang ditentukan, yaitu 150 ton, sementara ekspor dari Indonesia baru mencapai 70 ton.


Sebelumnya, Pemerintah China selama 12 tahun juga menerapkan pajak terhadap maskapai penerbangan Garuda sebesar lima juta dolar AS.

Sugeng kemudian mempertanyakan kebijakan China yang mengaku Indonesia sebagai sahabat, tapi Garuda harus membayar pajak setiap tahun dan "mengancam" akan memberlakukan hal yang sama kepada maskapai China yang terbang ke Indonesia.

"Tidak begitu lama, pihak China minta berunding dan kemudian semua bisa selesai. Artinya semua bisa diselesaikan kalau kita memang punya punya keinginan dan kemauan untuk menyelesaikan," katanya.

Sebagai mantan Dubes yang sudah puluhan tahun bertugas di perwakilan di luar negeri, Sugeng juga mengingatkan agar para diplomat Indonesia meninggalkan gaya Napoleon, yaitu merasa sebagai pejabat yang harus dihormati karena mewakili negara.

"Seharusnya, perwakilan negara itu down to earth, bagaimana memanfaatkan sedemikian rupa peluang-peluang yang ada di luar negeri itu," katanya.
 

Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019