Jakarta (ANTARA) - Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Fact-Finding Mission) melalui laporannya yang disiarkan di Jakarta, Senin, mengungkap tujuh negara seperti China, Korea Utara, India, Israel, Filipina, Rusia, dan Ukraina telah melanggar kesepakatan internasional dengan mengizinkan penjualan senjata ke Myanmar.

Dalam laporannya itu, tim pencari fakta independen bentukan Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyebutkan Korea Utara, Israel, Rusia, Ukraina, dan China gagal menerapkan pasal-pasal yang telah disepakati dalam Perjanjian Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Sebagaimana diatur dalam ICCPR, negara anggota wajib memastikan kebijakan yang dibuat di dalam negeri tetapi berdampak pada masyarakat sipil di luar negeri tak melanggar hak hidup (right to life) dan hak korban untuk pulih (right of victims to obtain an effective remedy).


Namun, menurut tim pencari fakta PBB, Korut, Israel, Rusia, dan Ukraina sebagai negara anggota, serta China sebagai negara penandatangan gagal mematuhi kesepakatan internasional tersebut dengan mengizinkan penjualan senjata ke Myanmar yang diyakini digunakan untuk aksi pelanggaran HAM di negara bagian Rakhine, Kachin, dan Shan.
Baca juga: PBB mulai kumpulkan kesaksian pelanggaran HAM Myanmar
Sementara itu, tim pencari fakta PBB turut mengungkap Israel, Filipina, dan Ukraina gagal mematuhi Perjanjian Perdagangan Senjata (ATT) karena menginzinkan distribusi senjata ke Myanmar sejak 2016.

Sejak 2016, tim pencari fakta menyebut angkatan bersenjata Myanmar, Tatmadaw, telah meluncurkan operasi militer secara ekstensif dan sistematis di Rakhine, Kachin, dan Shan sehingga memaksa 700.000 orang dari etnis Rohingya mengungsi ke Bangladesh.

Padahal, sebagai negara penandatangan, tiga negara tersebut seharusnya memastikan senjata tak digunakan oleh mereka yang melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional.

Dalam laporan terkait hubungan bisnis dan pelanggaran HAM di Myanmar, tim pencari fakta menunjukkan 14 perusahaan dari tujuh negara itu memasok senjata ke Myanmar. Misalnya, pada November 2018, sebuah perusahaan milik negara asal China, memasok jet tempur senilai USD560 juta ke Myanmar. Tak hanya itu, Angkatan Laut Myanmar juga membeli 10 torpedo teknologi tinggi senilai USD38 juta dari perusahaan milik negara asal India.


Dari berbagai temuan itu, tim pencari fakta melalui ketuanya, Marzuki Darusman, kembali mendesak Dewan Keamanan PBB beserta komunitas internasional untuk menjatuhkan embargo senjata ke Myanmar sebagaimana yang dilakukan Uni Eropa sejak 1990-an.

Baca juga: PBB desak pemimpin dunia beri sanksi bisnis militer Myanmar
Baca juga: Solusi Indonesia untuk perdamaian abadi di Rakhine State

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019