Singapura (ANTARA News) - Singapura secara material makmur, namun secara batiniah miskin dan pemerintahnya adalah sebagian dari penyebab hal itu, demikian dikatakan oleh salah satu pengarang yang cukup berpengaruh di negara kota itu. Catherine Lim, seorang penulis yang juga pengamat politik adalah salah satu dari segelintir orang yang secara terbuka mengeritik pemerintah di negara ASEAN yang sangat maju di bidang ekonomi tersebut. Lim mengatakan walaupun Singapura secara konsisten berada di peringkat atas dalam sejumlah bidang yang menyangkut kebendaan, misalnya keramah-tamahan dalam hal berbisnis dan pencapaian ekonomi, namun keunggulan itu tidaklah demikian saat faktor lain dikaitkan. "Kebebasan pers, kebahagiaan dan bahkan kehidupan dan cinta, Singapura berada di urutan bawah" kata Lim dalam wawancara dengan AFP. "Mungkin hal-hal itu akan membawa kita ke sejumlah pertanyaan. Apakah yang telah kita capai semua keberhasilan di bidang materi senilai dengan hal-hal lainnya? Jiwa, semangat, gairah, hati, perasaan, apapun yang mau anda sebut?. Pengawasan politik yang ketat yang diterapkan di Singapura merupakan salah satu hal yang dapat dipersalahkan akan kurangnya rasa bahagia di antara 4,6 juta jiwa penduduk negara itu. "Seandainya saja ada suasana kecemasan yang lebih besar ....maka kami akan menjadi masyarakat yang jauh lebih bahagia," katanya. Singapura yang secara politis merupakan negara paling stabil di kawasan Asia Tenggara telah menjadi tempat usahanya ribuan perusahaan asing. Para pemimpin negara itu mengatakan hukum yang tegas terhadap kegiatan politik yang dapat menimbulkan segala macam keresahan sangat penting untuk memastikan stabilitas tetap terjaga guna memberikan sumbangsih terbesar bagi keberhasilan di bidang ekonomi. Sebagai contoh melakukan pertemuan yang dihadiri lebih dari lima orang tanpa ijin dari instansi terkait adalah salah satu pelanggaran hukum, sehingga aksi unjuk rasa adalah satu kejadian yang jarang terjadi. Para pemimpin Singapura menegaskan bahwa demokrasi liberal gaya Barat tidak sesuai dengan Singapura, sebagai negara kecil multi-ras yang dipimpin oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) sejak 1969. Kurang kebebasan sosial Lim mengatakan pemerintah melakukan jauh lebih baik dalam hal menangani isu yang menyangkut "materi", termasuk naiknya harga bahan pangan. "Pemerintahan negara kami adalah pemerintah yang pro-aktif ....sangat pragmatis, dengan kepemimpinan yang selalu menyelesaikan persoalan, kata Lim, 66, yang kelahiran Malaysia. "Masalahnya ada di bidang lain di wilayah politik dan kebebasan sosial yang kurang kita nikmati di Singapura." Lim yang telah menetap di Singapura sejak 1967 mengatakan hal itu kepada AFP di sela-sela konferensi yang bertajuk The New Science of Happiness and Well Being, dimana dia menjadi salah satu pembicaranya. Aliansi wartawan "Reporters Without Borders" menempatkan negara kota itu di peringkat 146 dari 168 negara, di bawah Zimbabwe yang ada di peringkat 140 dalam indeks global kebebasan pers yang dikeluarkan tahun lalu. Singapura juga diposisikan pada urutan terbawah dalam survey global dalam hal frekuensi hubungan sex dan kepuasannya. Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh biro iklan Kelompok Grey ditemukan bahwa sembilan dari sepuluh orang yang hidup di negara makmur itu mengatakan mereka stress. "Masyarakat Singapura bukanlah kumpulan orang yang tidak bahagia dalam artian yang sesungguhnya seperti halnya masyarakat yang ada di negara miskin," kata Lim. "Namun mereka (warga Singapura) merasakan ada sesuatu yang hilang untuk melengkapi kebahagiaan mereka." "Kami (warga Singapura) membutuhkan waktu lebih banyak untuk santai, karena selalu membicarakan berbagai bentuk tekanan. Kami mencari dan menghasilkan uang, namun kami tak pernah punya waktu untuk menikmatinya." Lim telah menulis lebih dari sembilan buku berupa kumpulan cerita pendek, lima novel, dan sebuah buku puisi. Karya-karya telah diterbitkan dimanca negara. Tahun lalu ia juga menggunakan situs internet setelah harian The Strait Times menolak untuk memuat tulisannya yang berisi komentar yang kritis terhadap pemerintah. September lalu tulisannya yang berjudul "The Need for a political opening up", juga ditolak termasuk oleh harian The Today sehingga dia harus menulis di situs internet. Kritikan terbuka terhadap pemerintah adalah satu hal yang jarang dimuat di media massa utama di Singapura sehingga menyebabkan warga Singapura menyampaikan pandangannya lewat situs internet. (*)

Oleh
Copyright © ANTARA 2008