Garam langka dari Grobogan

  • Senin, 19 Agustus 2019 08:54 WIB

Petani memindahkan air yang mengandung garam dari penampungan ke bilahan bambu di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah. Warga di daerah ini mampu memproduksi garam meskipun letaknya jauh dari laut. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/pras.

Petani memindahkan air yang mengandung garam dari penampungan ke bilahan bambu di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah. Produksi garam di desa Jono cukup unik dan langka karena bahan bakunya berasal dari air yang didapat dari sumur, bukan dari laut. Sumur tersebut memiliki sumber air asin, tidak pernah kering meskipun musim kemarau serta mempunyai rasa yang lebih gurih bila dibandingkan dengan garam laut. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/pras.

Petani menimba air yang mengandung garam untuk disalurkan ke panampungan di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah. Proses pembuatan garam dimulai dengan menimba air dari sumur sedalam 25 meter, kemudian disalurkan melalui pipa-pipa yang terhubung dengan penampungan. Dari penampungan tersebut para petani memindahkan air ke bilahan bambu atau warga menyebutnya “klakah”. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/pras.

Petani memindahkan air yang mengandung garam dari penampungan ke bilahan bambu di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/pras.

Petani memindahkan air yang mengandung garam dari penampungan ke bilahan bambu di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah. Bilahan bambu yang sudah berisi air itu dijemur di bawah terik matahari hingga mengkristal berbentuk garam yang siap dipanen. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/pras.

Petani memanen garam di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah. Proses pembentukan garam tersebut membutuhkan waktu 10 hari saat cuaca panas dan 15 hari saat cuaca mendung. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/pras.

Petani memanen garam di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah. tambak garam Jono dengan luas sekitar tiga hektare itu sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Pada tahun 1970-an, jumlah petani garam Jono mencapai ratusan dan saat ini hanya tersisa puluhan. Warga terpaksa meninggalkan profesi tersebut karena hasil yang didapatkan dari petani garam tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/pras.

Komentar

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait