Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) adalah taman nasional yang terkenal akan keanekaragaman hayati dan menjadi rumah bagi badak jawa yang melegenda. Selain itu, TNUK juga menjadi salah satu peninggalan hutan alam di Jawa. Simak penjelajahan yang dilakukan ANTARA ke dalam indahnya Taman Nasional Ujung Kulon berikut ini.

Berbagai vegetasi suguhkan ratusan jenis tumbuhan

Taman Nasional Ujung Kulon merupakan satu dari sedikit daerah yang menyajikan profil vegetasi pantai laut sampai dengan vegetasi puncak gunung tropis. Lebih dari 700 jenis tumbuhan hidup di dalamnya dan 57 jenis di antaranya diklasifikasikan sebagai tanaman langka di dunia. Flora di TNUK diklasifikasikan ke beberapa bagian; hutan hujan dataran rendah, hutan primer, hutan sekunder, dan hutan pantai. Penasaran dengan tumbuhan apa saja yang ada di dalamnya? Mari simak rangkumannya di sini!

Baca selengkapnya

Berbagai vegetasi suguhkan ratusan jenis tumbuhan

Berbagai vegetasi suguhkan ratusan jenis tumbuhan

Salah satu satwa yang paling jarang bahkan susah dijumpai adalah Badak Jawa, dimana keberadaannya jauh di dalam zona rimba serta jumlahnya yang sedikit. Populasi Badak Jawa saat ini diperkirakan hanya berjumlah 75 individu dan hanya hidup di Ujung Kulon. Badak jawa termasuk ke dalam golongan binatang berkuku ganjil atau Perrisdactyla, mempunyai kulit tebal berlipat-lipat seperti perisai, sehingga satwa ini kelihatan seperti bongkah batu yang besar dan tubuhnya lebih besar dari Badak Sumatra (Dicerorhinus sumetrensis).

Banteng jawa (Bos javanicus) juga menjadi salah satu hewan yang dilindungi dan terancam keberadaannya di Ujung Kulon. Banteng kerap menghuni padang penggembalaan Cibunar dan Cidaon, tetapi ditemukan pula masuk ke dalam hutan. Banteng jantan berwarna hitam, sementara betina berwarna coklat keemasan. Banteng jantan dan betina memang memiliki tanduk, akan tetapi tanduk jantan lebih besar dan melengkung dibanding betina.

Selain badak jawa dan banteng, owa jawa (Hylobates moloch) juga menjadi binatang prioritas di Ujung Kulon yang sangat dijaga ketat. Mereka hidup dan bergelantungan di hutan-hutan primer. Primata ini memiliki ekor pendek, bulu halus warna abu-abu dan muka hitam. Hewan-hewan eksotis lainnya yang menghuni kawasan Ujung Kulon, yakni rusa, muncak, kancil, lutung, surili, kera ekor panjang, kukang, babi hutan, macan tutul, anjing hutan, ayam hutan, buaya muara dan sejumlah binatang lainnya.

Dari keluarga burung setidaknya lebih dari 250 jenis telah tercatat di kawasan Ujung Kulon, berdasarkan data dari Taman Nasional Ujung Kulon. Burung-burung tersebut tidak selalu mudah terlihat karena banyak yang hidup di atas kanopi hutan.

Jenis burung yang sangat mencolok, seperti burung enggang (rangkong), elang laut, merak hijau, wili-wili, cekakak jawa dan biru, delimukan zamrud, srigunting batu, hingga kucica.

Selain kehidupan di hutan, Ujung Kulon juga memiliki habitat laut yang meliputi pantai berbatu, rawa-rawa, hutan bakau, daratan berlumpur, rumput laut, terumbu karang, hingga alur laut.

Tutup

Mayoritas berisi satwa-satwa langka

Selain memiliki keanekaragaman tumbuhan langka, Ujung Kulon juga berisi fauna yang sebagian besar merupakan satwa langka. Satwa yang mengembara secara bebas di dalam hutan, sementara yang lain hanya dapat didengar keberadaannya, dan beberapa jenis sangat jarang dijumpai.

Baca selengkapnya

Mayoritas berisi satwa-satwa langka

Mayoritas berisi satwa-satwa langka

Salah satu satwa yang paling jarang bahkan susah dijumpai adalah Badak Jawa, dimana keberadaannya jauh di dalam zona rimba serta jumlahnya yang sedikit. Populasi Badak Jawa saat ini diperkirakan hanya berjumlah 75 individu dan hanya hidup di Ujung Kulon. Badak jawa termasuk ke dalam golongan binatang berkuku ganjil atau Perrisdactyla, mempunyai kulit tebal berlipat-lipat seperti perisai, sehingga satwa ini kelihatan seperti bongkah batu yang besar dan tubuhnya lebih besar dari Badak Sumatra (Dicerorhinus sumetrensis).

Banteng jawa (Bos javanicus) juga menjadi salah satu hewan yang dilindungi dan terancam keberadaannya di Ujung Kulon. Banteng kerap menghuni padang penggembalaan Cibunar dan Cidaon, tetapi ditemukan pula masuk ke dalam hutan. Banteng jantan berwarna hitam, sementara betina berwarna coklat keemasan. Banteng jantan dan betina memang memiliki tanduk, akan tetapi tanduk jantan lebih besar dan melengkung dibanding betina.

Selain badak jawa dan banteng, owa jawa (Hylobates moloch) juga menjadi binatang prioritas di Ujung Kulon yang sangat dijaga ketat. Mereka hidup dan bergelantungan di hutan-hutan primer. Primata ini memiliki ekor pendek, bulu halus warna abu-abu dan muka hitam. Hewan-hewan eksotis lainnya yang menghuni kawasan Ujung Kulon, yakni rusa, muncak, kancil, lutung, surili, kera ekor panjang, kukang, babi hutan, macan tutul, anjing hutan, ayam hutan, buaya muara dan sejumlah binatang lainnya.

Dari keluarga burung setidaknya lebih dari 250 jenis telah tercatat di kawasan Ujung Kulon, berdasarkan data dari Taman Nasional Ujung Kulon. Burung-burung tersebut tidak selalu mudah terlihat karena banyak yang hidup di atas kanopi hutan.

Jenis burung yang sangat mencolok, seperti burung enggang (rangkong), elang laut, merak hijau, willi-willi, cekakak jawa dan biru, delimukan zamrud, srigunting batu, hingga kucica.

Selain kehidupan di hutan, Ujung Kulon juga memiliki habitat laut yang meliputi pantai berbatu, rawa-rawa, hutan bakau, daratan berlumpur, rumput laut, terumbu karang, hingga alur laut.

Tutup

Sang Unicorn Ujung Kulon, Badak Jawa

Badak jawa (Rhinoceros Sondaicus) adalah satu dari lima jenis badak di dunia yang masih tersisa dan saat ini penyebarannya hanya terdapat di semenanjung Ujung Kulon, Provinsi Banten, Indonesia. Penyebaran badak jawa di TNUK lebih terkonsentrasi di bagian selatan kawasan Semenanjung Ujung Kulon seperti di Cibandawoh, Cikeusik, Citadahan, dan Cibunar yang memiliki karakteristik topografi daratan rendah hutan hujan tropis dengan sumber air melimpah. Segera klik ikon di bawah ini untuk berkenalan dengan sang unicorn Ujung Kulon, Badak Jawa!

Morfologi
Baca selengkapnya
Morfologi

Dalam buku Teknik Konservasi Badak Indonesia yang diterbitkan World Wild Fund for Nature (WWF-Indonesia), badak jawa merupakan mamalia besar yang posturnya seperti binatang purba dengan ukuran tinggi hingga bahu antara 128-175 sentimeter, panjang badan dari ujung moncong sampai ujung ekor 251-392 sentimeter, serta berat badan mencapai 1.600-2.280 kilogram. Kulit badak jawa sangat tebal kira-kira 25-30 milimeter. Badak jawa memiliki lipatan kulit pada bagian bawah leher hingga bagian atas yang berbatasan dengan bahu. Lipatan atas punggung membentuk sadel (pelana), termasuk lipatan di bagian dekat pangkal ekor dan bagian atas kaki belakang.

Badak jantan memiliki satu cula dengan ukuran dapat mencapai 27 sentimeter dengan warna abu-abu gelap atau hitam, sementara badak betina tidak memiliki cula. Badak jawa hampir serupa dengan badak india yang hanya memiliki satu cula namun ukuran tubuhnya lebih besar. Memiliki satu cula membuat Marco Polo, penjelajah asal Italia, menyebutnya sebagai Unicorn. Dalam kajian ilmiah yang diterbitkan Institut Pertanian Bogor (IPB) bertajuk "Penggunaan Ruang Habitat oleh Badak Jawa", rata-rata lebar kaki badak jawa adalah 27-28 sentimeter. Ukuran tapak kaki ini menjadi acuan bagi Balai TNUK untuk mengidentifikasi usia badak jawa.

"Usia badak memang harus diidentifikasi lebih lanjut oleh tim dari balai (TNUK). Tetapi bisa menjadi panduan kita untuk memprediksi apakah badak tersebut masih anak-anak, remaja, atau dewasa," kata Mita Sutisna salah satu anggota lepas Monitoring Badak Jawa (MBJ) Balai TNUK saat ikut dalam Ekspedisi Badak Jawa bersama Kantor Berita ANTARA.

Mengenal Perilaku Badak Jawa
Baca selengkapnya
Mengenal Perilaku Badak Jawa Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) berkubang di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.

Sebagian besar hidup badak jawa hidup secara soliter, kecuali saat musim kawin dan mengasuh anak. Saat masa berkembang biak, akan dijumpai kelompok kecil yang terdiri dari dua individu (jantan dan betina), tapi kadang bertiga dengan anak. Bulan kawin badak jawa adalah sekitar Agustus. Namun penelitian soal masa kawin badak jawa masih minim karena sangat terbatasnya informasi dan penelitian, sehingga para ahli menafsirkan perilaku badak jawa berdasarkan perilaku kawin badak india.

Baik badak jawa jantan maupun betina memiliki daya jelajah sendiri dengan luas berkisar 10-20 km setiap harinya. Di dalam daerah jelajah ditemukan jalur-jalur badak baik jalur permanen maupun tidak. Masing-masing jalur memiliki fungsi tersendiri biasanya menjadi jalur penghubung ke rumpang (tempat makan), berkubang, berendam, dan istirahat. Kendati badak jawa kerap beraktivitas pada pagi, sore, dan malam hari, namun dalam beberapa kesempatan kerap ditemukan beraktivitas saat siang hari.

Berkubang bagi badak jawa merupakan kebutuhan pokok, selain untuk menjaga kondisi suhu tubuh serta menghindari diri dari parasit dan nyamuk. Mereka juga menggunakan kubangan untuk beristirahat. Badak sangat membutuhkan lumpur yang menyelimuti tubuh untuk menyerap panas. Adapun proses pembuatan kubangan biasanya berawal dari bekas kubangan babi hutan. Setelah ditinggalkan babi hutan dan tidak digunakan, badak jawa kemudian mengambil alih kubangan dengan menginjak-injaknya agar lebih dalam dan luas. Ukuran kubangan badak jawa sekitar 7x5 meter dengan kedalaman 50-125 sentimeter.

Sementara saat berendam, badak memerlukan air melimpah untuk mandi dan membersihkan kulit dari lumpur bekas berkubang. Dengan begitu, kulit badak akan sehat dan tidak mengalami pecah-pecah yang akan berujung pada rentan terkena penyakit.

"Saat musim hujan badak jarang sekali berendam di aliran sungai, karena debit air di dalam tutupan hutan melimpah. Badak hanya terlihat melintas saja dari satu wilayah ke wilayah lain lewat aliran sungai, jadi mereka tidak berendam," kata Mita yang sudah 20 tahun keluar masuk Ujung Kulon tersebut.

Yang tersisa
Baca selengkapnya
Yang tersisa

Tidak ada satupun kebun binatang di dunia yang memiliki koleksi badak jawa. Saat ini kehidupan mereka hanya terkonsentrasi di Ujung Kulon saja, tak ada tempat lain yang tersisa. Sebelumnya mereka tersebar di pegunungan-pegunungan di Jawa, bahwa tercatat pernah hidup di Asia Tenggara, Tiongkok, hingga India.

Pada 2010, badak liar terakhir di Vietnam ditembak mati oleh pemburu. Badak yang ada di Vietnam tersebut diyakini sebagai subspesies badak jawa terakhir di Asia daratan. Sebelumnya pada 1989 dilaporkan ada sejumlah populasi kecil badak jawa di Vietnam. Tahun 1993, populasi badak jawa di sana diperkirakan berjumlah 8-12 individu, lalu secara perlahan satu-persatu hilang.

Sementara berdasarkan catatan Taman Nasional Ujung Kulon, badak jawa pada 1700-an menghuni sejumlah wilayah pegunungan daratan rendah di pulau jawa. Jumlahnya begitu banyak bahkan disebut hama oleh pemerintah kolonial karena merusak pertanian/perkebunan. Pemerintah Belanda lantas membuat sayembara bagi mereka yang mampu membunuh badak dengan imbalan hadiah. Dalam kurun waktu yang singkat, ratusan badak meninggal di bawah moncong senapan dan jerat.

Guru Besar IPB dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Prof Harini Muntasib mengatakan perburuan menjadi momok bagi keberadaan badak jawa. Selain dianggap hama, pemburu juga mencari culanya. Ancaman dari manusia membuat badak jawa kemudian masuk hutan yang lebih dalam hingga akhirnya yang tersisa hanya di Ujung Kulon saja. Sejarah keberadaan badak di jawa ditandai dengan penamaan badak sebagai penunjuk arah atau tempat.

"Semua yang ada nama Cibadak itu dulu ada badaknya. Catatan yang pernah saya petakan itu terjauh daerah Ngawen. Ngawen itu setelah cari ada daerah sekitar Klaten sana. Apakah Ngawen itu Ngawi? Peneliti Belanda mungkin penulisan nama beda, jadi kira-kira sampai Jawa Tengah sampai Jawa Timur itu ada," kata Harini yang ditemui di sela-sela aktivitasnya di IPB.

Bagi masyarakat Kota Bandung barangkali tidak asing dengan Jalan Cibadak, Rumah Sakit Rancabadak (kini Rumah Sakit Hasan Sadikin), maupun patung badak putih berada di Taman Balai Kota Bandung. Patung badak putih diresmikan 1981 oleh Wali Kota Bandung saat itu Husen Wangsaatmadja.

Monumen badak putih di halaman Balai Kota sama sekali bukan lambang daerah, melainkan simbol kerinduan Kota Bandung akan kehadiran kembali kelestarian alam yang sehat, tertib, tanpa kekurangan air serta pepohonan rindang.

Sang Unicorn yang tak luput dari ancaman

Badak jawa kini hanya dapat dijumpai di semenanjung Ujung Kulon saja, bahkan tak ada satupun kebun binatang di dunia yang memiliki koleksi mamalia ini. Padahal, hewan dengan nama latin Rhinoceros Sondaicus itu sempat mendiami sejumlah besar wilayah Asia Tenggara termasuk India. Inilah beberapa ancaman Badak Jawa yang menyebabkan sang unicorn begitu jarang dijumpai.

Intervensi Manusia
Baca selengkapnya

Dalam dua dekade terakhir memang tidak ditemukan adanya badak jawa yang mati akibat perburuan liar. Badak jawa yang ditemukan mati oleh tim Monitoring Badak Jawa oleh sebab yang wajar; usia dan penyakit.

Namun kekhawatiran itu tetap ada, apalagi sering ditemukan para pemburu burung dan lebah madu yang tentunya bakal mengganggu ketenangan hidup badak jawa. Saat tim Ekspedisi Badak Jawa Kantor Berita ANTARA menyusuri wilayah pengembalaan Cibunar, tim melihat sejumlah pemburu ilegal yang masuk ke dalam hutan.

Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon Wilayah II Handeuleum Ujang Acep menjelaskan saat tim Monitoring Badak Jawa (MBJ) melakukan pemantauan kerap ditemukan jejak kaki para pemburu serta jaring keramba untuk menjerat burung.

Beberapa kali pula tim MBJ menangkap basah para pemburu, namun aktivitas ilegal mereka sulit untuk diberantas. Dari hasil interogasi para pemburu yang tertangkap tangan, berburu burung dan madu menjadi mata pencaharian lain selain menunggu padi menguning.

Yang paling merugikan dalam upaya konservasi badak jawa adalah ketika para pemburu mencuri atau mencabut kartu penyimpanan (memori card) kamera jebak. Padahal kamera jebak menjadi salah satu medium penting untuk mengidentifikasi badak.

"Ada beberapa kamera juga yang hilang. Artinya para pelanggar itu sudah tahu bahwa mereka terekam. Sehingga kameranya diambil atau mereka tahu cara membukanya sehingga kartu (penyimpanan) yang diambil," kata Ujang usai mengevaluasi kegiatan monitoring kamera jebak.

Ujang menyebut sebanyak 75 kartu penyimpanan dicabut dan 30-an kamera jebak hilang pada 2021, belum termasuk gangguan lain baik terjatuh oleh alam maupun hewan. Adapun pada awal 2022, 10 kamera jebak dari sekitar 100-an yang terpasang mendapat gangguan.

Tanaman Langkap
Baca selengkapnya

Tanaman langkap menjadi salah satu ancaman alami bagi badak jawa. Langkap (Arenga Obtusifolia) merupakan tanaman sejenis palem-paleman yang dapat tumbuh dan menyebar dengan cepat. Tanaman ini dapat mengakibatkan terfragmentasinya habitat dan menurunkan keanekaragaman jenis tanaman pakan badak jawa.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 2002, ada sekitar 109 jenis pakan. Sekitar 97 jenis tumbuhan merupakan pakan badak jawa, 74 jenis tumbuhan pakan banteng, dan 62 jenis merupakan pakan bersama bagi badak dan banteng.

Guru Besar IPB dari Departemen Konservasi Sumber Daya dan Ekowisata Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Harini Muntasib mengatakan invasi langkap merupakan penyebab utama terjadinya degradasi habitat badak jawa secara alami.

Langkap dewasa tajuknya dapat menutupi paparan sinar matahari untuk menembus dasar hutan. Akibatnya, tumbuhan pakan badak yang berada di bawahnya tidak bisa berkembang dan mengurangi ketersediaan pakan badak.

Pelaksana Lanjutan Pengidentifikasi Badak Jawa TNUK Asep Yayus menjelaskan pengendalian tanaman langkap sudah dilakukan oleh petugas dari Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan pembabatan di sekitar area pakan badak.

Pembabatan dilakukan sekali dalam setahun di sejumlah blok yang didominasi langkap. Namun pengendalian langkap tidak bisa dilakukan tiap tahunnya dengan alasan ketersediaan dana yang terbatas. Akan tetapi, sejumlah upaya nyata untuk keberlangsungan badak jawa terus dilakukan.

Perkawinan Sedarah
Baca selengkapnya

Penyelamatan populasi badak jawa harus terus dilakukan. Jumlah yang sedikit, terisolasi, ditambah angka kelahiran yang rendah telah menimbulkan kekhawatiran para peneliti dan pegiat lingkungan bahwa bahwa badak akan menghadapi perkawinan sedarah (Inbreeding).

Harini Muntasib menyebut perkawinan sedarah akan membuat kualitas badak menurun, dan tentunya berpengaruh pada keragaman genetiknya. Berdasarkan penelitiannya melalui rekaman kamera jebak, saat ini sudah ditemui sejumlah badak jawa termasuk anaknya teridentifikasi cacat.

Cacat yang dimaksud seperti ekor yang melipat (tidak menjuntai) dan pendek maupun telinga yang terlipat. Namun untuk memastikan bahwa telah terjadi perkawinan sedarah harus dilakukan penelitian tes DNA.

Dewasa ini penelitian untuk memastikan adanya kelainan genetik baru sebatas lewat pengambilan DNA melalui sampel feses. Menurut Harini, hasil yang diperoleh dari sampel feses juga belum bisa dikatakan 100 persen akurat, sebab agar DNA tidak rusak, kotoran yang diambil harus berusia kurang dari satu hari.

Badak jawa adalah spesies yang sulit untuk diidentifikasi secara langsung. Berbeda dengan saudaranya di Sumatra, hingga saat ini belum ada penelitian secara detail perihal badak jawa. Jangankan untuk ditangkap, untuk sekedar bertemu langsung pun sangat sulit. Data-data yang menjadi acuan para peneliti hanya dari rekaman kamera jebak dan feses saja.

"Kalaupun jumlahnya banyak tetapi genetiknya satu keturunan yang sama, maka akan sama saja bahwa badak jawa sangat terancam dari kepunahan," kata Harini saat ditemui di sela-sela kegiatan mengajarnya.

Sependapat dengan Harini, Asep Yayus menyebut perkawinan sedarah akan membuat badak jawa rentan terhadap penyakit serta daya tahan tubuhnya berkurang secara drastis.

Kondisi yang jauh dari ideal
Baca selengkapnya

Dari populasi saat ini sekitar 76 ekor, komposisi badak jawa di Ujung Kulon dikatakan tidak ideal yakni 34 jantan dan 42 betina. Badak jawa atau mamalia idealnya 1 berbanding empat, artinya satu jantan untuk empat betina. Kondisi itu tidak terjadi di Ujung Kulon, hanya satu betina untuk satu jantan.

Yang menjadi kendala adalah penelitian mengenai perilaku kawin badak jawa belum banyak dilakukan. Sehingga sampai saat ini informasi tentang perilaku kawinnya belum banyak diketahui. Perilaku kawin badak jawa ditafsirkan berdasarkan perilaku badak india yang memiliki sejumlah kemiripan.

Umumnya, badak betina dapat digolongkan menjadi badak dewasa yakni telah berumur tiga sampai empat tahun. Sedangkan untuk badak jantan bila telah berumur sekitar enam tahun. Interval melahirkan adalah satu kali dalam empat sampai lima tahun. Berkaca pada informasi tersebut, tingkat reproduksi badak jawa bisa dikatakan rendah.

Mengingat populasi yang relatif kecil dan terkonsentrasi di wilayah terisolir tentu saja badak jawa memiliki keterancaman punah yang tinggi. Ancaman yang bisa datang dari bencana alam, perubahan habitat, maupun genetik satwa itu sendiri.

Maka salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam upaya konservasi badak jawa, utamanya mempertahankan keragaman genetik adalah perluasan habitat atau mencari rumah kedua bagi hewan yang disebut Unicorn oleh penjelajah asal Italia Marco Polo tersebut.

Perluasan habitat sangat diperlukan sebagai salah satu solusi menghindari punahnya badak jawa. Perluasan habitat akan membuat badak tak lagi terisolir, mereka akan memiliki daya jelajah yang semakin luas dan potensi bertemu dengan genetik yang berbeda semakin terbuka.

Upaya penyelamatan badak jawa dari kepunahan

Badak jawa merupakan satwa langka yang masuk dalam Red List Data Book IUCN dengan kategori critically endangered atau satwa yang terancam punah. Badak jawa juga terdaftar dalam Apendiks I CITES sebagai satwa yang tidak boleh diperdagangkan karena jumlahnya yang sangat sedikit dan terancam punah. Mempertimbangkan kondisi tersebut, untuk menyelamatkan populasi badak jawa dari ancaman kepunahan perlu dilakukan langkah strategis dan terencana. Berdasarkan hasil pertemuan Balai TNUK bersama AsRSG (Asian Rhino Specialis Group), dan sejumlah lembaga konservasi pada 2009, disepakati untuk membangun Javan Rhino Studi and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon.

Javan Rhino Studi and Conservation Area
Baca selengkapnya

Dalam dua dekade terakhir memang tidak ditemukan adanya badak jawa yang mati akibat perburuan liar. Badak jawa yang ditemukan mati oleh tim Monitoring Badak Jawa oleh sebab yang wajar; usia dan penyakit.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak Indonesia Peraturan Menhut No 43/2007, sejatinya telah menetapkan wilayah seluas 5.100 hektar dalam kawasan TNUK sebagai wilayah JRSCA. Areal yang secara geografis berada di luar semenanjung Ujung Kulon ini, dipisahkan Tanah Genting Laban-Karang Ranjang. Wilayah ini diperkirakan relatif aman dari ancaman erupsi Gunung Anak Krakatau dan juga terjangan tsunami. Sementara populasi badak jawa saat ini terkonsentrasi di semenanjung Ujung Kulon saja.

Berdasarkan lokasinya, areal JRSCA berada di bagian selatan Gunung Honje dengan batas-batas di sebelah utara berbatasan dengan zona khusus Kampung Legon Pakis yang berada dalam kawasan TNUK, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan kawasan Gunung Honje, sebelah barat berbatasan dengan hutan blok Laban - Karang Ranjang.

Terdapat delapan sungai besar di antaranya Cilintang, Cihujan, Cikarang, Kalejetan, Aermokla, Selokan Duyung, Ciprepet, dan Cipunaga, serta terdapat anak sungai Cilintang, Kalejetan, dan Aermokla. Sungai ini dapat menjadi tempat bagi badak untuk berendam/mandi. Selain sungai, pada area JRSCA juga ditemukan sejumlah lokasi kubangan permanen yang digunakan pada saat musim kemarau. Keberadaan kubangan tersebut sangat penting bagi kehidupan badak jawa karena digunakan untuk mengatur suhu tubuh, pemenuhan mineral, dan melindungi kulit dari parasit/jamur.

Guru Besar IPB sekaligus Tim Penyempurnaan Manajemen dan Rencana Tapak JRSCA Harini Muntasib menjelaskan pencanangan JRSCA sebenarnya dimulai pada 2011, manajemen plan ditetapkan pada 2015. Lalu pada 2018, TNUK bersama IRF dan Yayasan Badak Indonesia mulai menyusun visibility study dan side plan. Kemudian dievaluasi kembali pada 2019-2020, hasilnya ada sejumlah aspek yang mesti disesuaikan kembali. Kegiatan prakondisi dilakukan meliputi sosialisasi, pemindahan perambah, pembinaan habitat, pembangunan pagar beraliran listrik kejut, serta pembangunan basecamp. Proyek itu sempat terhenti dan kini berlanjut pada 2022. Lewat pembukaan koridor di semenanjung Ujung Kulon, badak jawa diharapkan bergerak masuk ke areal JRSCA. Individu-individu tersebut akan menjadi sub-populasi. Pada 2012 saat pengendalian langkap, terekam tiga badak jawa yang hidup di areal untuk JRSCA.

Pada 2018, satu badak jawa yang diidentifikasi bernama Samson ditemukan mati di pesisir pantai Resort Karang Ranjang. Selepas kematian Samson, dua badak jawa lainnya tidak ditemukan lagi baik secara jejak maupun kotoran. Berkaca pada kondisi itu semua, areal JRSCA yang terletak di tiga wilayah kerja resort yakni Lagon Pakis, Kalajetan, dan Karang Ranjang merupakan lokasi yang cocok sebagai habitat kedua badak jawa karena sebelumnya pernah menjadi kantung populasi meski kecil.

Ada dua hal yang akan menjadi prioritas dalam pengembangan JRSCA ini yakni pembangunan sarana-prasarana dan jalan patroli. Pada pembangunan sarana-prasarana yakni pagar kawat beraliran listrik kejut sebagai pembatas agar badak tidak keluar dari areal JRSCA. Pagar kawat tersebut akan dibangun pada sisi timur areal JRSCA sepanjang 8,2 km, yang terdiri dari dua ruas yaitu pada bagian utara antara blok Cilintang sampai blok Cimahi sepanjang sekitar 5,4 km dan bagian selatan antara blok Bangkonol sampai blok Tanjung Sodong sepanjang sekitar 2,8 km.

Pagar listrik kejut yang akan dibangun di areal Javan Rhino Studi and Conservation Area (JRSCA) Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. (ANTARA/Balai TNUK). Adapun untuk jalan patroli membangun jalur di sepanjang pagar yang ditujukan khusus sebagai jalan patroli, monitoring, studi dan penelitian serta untuk kepentingan lain yang mendukung JRSCA.

"Nanti di sana ada semacam research center. Nanti orang akan meneliti di situ. Penelitian tentang badak yang sebelumnya minim, nanti di sana bisa meneliti lebih jauh soal perilakunya hingga reproduksinya," kata Harini saat dijumpai disela-sela kegiatan mengajarnya.

Tak ada jalan lain
Baca selengkapnya

Harini mengatakan menggiring badak ke habitat baru memang bukanlah perkara yang mudah. Jangankan untuk menangkap, sekedar bertemu pun sangat sulit. Sementara JRSCA dibangun selain meningkatkan populasi juga menjaga keberagaman genetik. Badak yang nantinya akan digiring untuk masuk ke JRSCA adalah individu yang tidak memiliki pertalian kekeluargaan. Dengan begitu, apabila terjadi perkawinan maka akan menjaga keberagaman genetik badak jawa.

"Pengawasannya bisa lebih dekat, jadi nanti enggak semua yang dimasukan ke paddock, hanya pilihan saja minimal diambil sepasang jantan dan betina yang terbaik. Di sana mudah-mudahan bisa diawasi secara intensif baik itu di pola kawinnya supaya bisa menghasilkan badak yang berkualitas," kata Harini.

Sejumlah metode masih dirancang untuk dapat menggiring badak jawa masuk ke areal JRSCA seperti pembuatan koridor yang ditanami pakan badak, memperbanyak rumpang, hingga membuat jalur badak.

"Bedanya dengan di Afrika itu mereka ada di padang savana, terbuka luas gampang untuk melihat badak. Tapi kita (badak jawa) di hutan hujan tropis, sehingga susah untuk bertemu. Ini menjadi tantangan kita," kata Harini sembari memperlihatkan peta areal JRSCA.

Meski metode yang dirancang belum diujicobakan untuk menggiring badak jawa di semenanjung Ujung Kulon ke JRSCA, tapi perluasan areal menjadi penting agar badak jawa tak terisolasi. Daya jelajah badak jawa akan semakin luas, sehingga meminimalisir potensi perkawinan sedarah. Sebelum JRSCA, terdapat opsi lain dalam upaya penyelamatan badak jawa dengan membangun habitat ke dua di luar Ujung Kulon. Pemerintah sempat melakukan survei di 10 lokasi, namun tak ada yang benar-benar sempurna dalam mendukung kehidupan badak.

Penentuan lokasi kedua harus mempertimbangkan aspek makanan, air, predator, penyakit, hingga ketersinggungan dengan masyarakat sekitar. Dibutuhkan pula areal seluas kurang lebih 5.000 hektar. Maka membangun habibat kedua di luar semenanjung Ujung Kulon adalah hal yang sangat sulit. Percepatan translokasi sebagian populasi badak jawa memang jadi salah satu jalan untuk mempertahankannya dari ancaman kepunahan. Pemindahan badak jawa di semenanjung Ujung Kulon ke areal JRSCA layak untuk terus didorong dalam upaya konservasi.

Badak jawa adalah spesies paling langka di antara lima jenis badak lainnya dan masuk dalam Daftar Merah Badan Konservasi Dunia (IUCN) dengan status: satu tingkat di bawah kepunahan.

Melacak Jejak Badak Jawa sesulit Mencegah Kepunahan

Menjelajahi hutan di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, adalah pengalaman tak terlupakan bagi tim ANTARA dalam Ekspedisi Badak Jawa yang berlangsung sejak 8 hingga 27 Mei 2022.

Selama lebih dari dua minggu, Tim ANTARA mendokumentasikan ekosistem serta mencari hewan langka di Indonesia dan dunia yaitu badak jawa.  Tim ANTARA terdiri dari empat orang yang mewakili redaksi yakni teks, foto, dan video. ANTARA dibantu oleh tim Monitoring Badak Jawa (MBJ) Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan masyarakat lokal.

Semua orang yang terlibat memiliki nafas yang sama, menyuarakan kehidupan badak jawa yang selama ini terancam punah dan bertahan dalam kesunyian.

Berikut cerita perjalanan Tim ANTARA bersama Tim MBJ melacak jejak sang unicorn!

Mengawali dengan pencarian
Baca selengkapnya

Pencarian badak jawa dilakukan dengan tiga metode, pertama menyusuri sungai, pemantauan lewat rumah pohon (ranggon), dan pemasangan kamera jebak. Pencarian lewat susur sungai menggunakan dua perahu: karet dan ponton. Perahu ponton ini merupakan alat transportasi seadanya yang terbuat dari styrofoam bekas pembungkus lemari pendingin (kulkas). Para petugas dari Monitoring Badak Jawa biasanya menggunakan ponton untuk menyeberangi sungai jika sedang terjadi arus pasang.

Namun saat Ekspedisi Badak Jawa, ponton difungsikan sebagai media transportasi saat menyusuri sungai Cikeusik. Penyusuran sungai dilakukan dua kali setiap harinya yakni pukul 04.00-09.00 WIB dan 15.00-20.00 WIB. Waktu-waktu tersebut dipilih karena badak jawa biasanya banyak beraktivitas pada pagi dan sore hari. Sementara pemantauan rumah pohon/ranggon dilakukan di wilayah Citadahan yang jaraknya dari base induk Cikeusik memakan waktu tiga jam lebih.

Awalnya petugas Monitoring Badak Jawa akan membangun rumah pohon di sekitar Cikeusik, tetapi dari penelusuran di sana tak ditemukan tanda-tanda kubangan, kotoran, maupun jejak baru. Pemilihan lokasi kemudian mengarah ke Citadahan yang jaraknya sekitar enam kilometer dari base induk Cikeusik. Untuk menuju Citadahan, tim harus kembali menyusuri bibir pantai.

Berbeda saat susur pantai di Cibandawoh, kali ini pasir pantainya lembek sehingga sangat menguras energi. Selain itu, banyak sampah yang terbawa arus hingga terdampar di sepanjang garis pantai Citadahan hingga Sanghyang Sirah. Setibanya di muara Citadahan, perjalanan dilanjutkan dengan masuk ke dalam areal hutan tropis sekitar dua kilometer. Jalur ke titik lokasi yang akan dibangun rumah pohon berupa lumpur dan sesekali harus menyeberangi kubangan sedalam lutut orang dewasa.

Pemasangan rumah pohon dilakukan secara mendadak, tapi bagi porter yang merangkap sebagai petugas Monitoring Badak Jawa, pembangunannya hanya memerlukan waktu tiga jam saja. Rumah pohon terbuat dari bambu yang mudah dijumpai di dalam hutan. Untuk menyamarkan, rumah pohon tersebut ditutupi oleh dedaunan lebar. Ketinggian rumah pohon sekitar 10 meter di atas tanah, hal itu agar hewan liar tidak merasa terganggu.

Pemantauan dilakukan di areal yang terdapat kubangan. Saat itu, tim menemukan kubangan baru yang usianya tak lebih dari satu minggu. Selain itu, titik pendirian rumah pohon merupakan jalur strategis perlintasan satwa. Ada sejumlah jalur yang masing-masing memiliki fungsi yakni ke arah rumpon (areal pakan badak), menuju sungai kecil, dan jalur menuju utara yang juga terdapat kubangan. Pemasangan juga harus memperhatikan arah mata angin, agar aroma tubuh manusia tidak tercium.

Saat memantau lewat ranggon, tim tak boleh bersuara keras-keras, tak boleh ada asap rokok, dan tak diperkenankan memasak di atas rumah pohon. Pasalnya, penciuman badak jawa sangat sensitif. Apabila mereka mencium aroma asing, maka badak jawa akan mencari jalur lain untuk dilewati.

Perjalanan melalui Susur Sungai
Baca selengkapnya

Tim ANTARA dibagi ke dalam dua grup; dua orang menyusuri sungai dan dua orang menginap di rumah pohon. Metode penyusuran sungai digunakan untuk mencari badak jawa yang tengah berendam. Kebiasaan berendam menjadi salah satu perilaku badak jawa selain berkubang, hal tersebut dilakukan untuk membersihkan lumpur yang telah mengering serta menyesuaikan panas tubuh.

Pada pekan pertama, susur sungai dilakukan di sungai Cikeusik yang waktu tempuhnya memakan waktu sekitar dua jam lebih. Semakin dalam penyusuran, tim disuguhkan oleh aktivitas satwa-satwa seperti kancil, ayam hutan, monyet ekor panjang, biawak, hingga surili. Jejak badak jawa saat turun dan naik ke permukaan pun tercetak dengan jelas di bibir sungai. Namun sayang, tim tak menemukan adanya badak jawa yang tengah berendam hingga sepekan penelusuran.

Perjalanan saat susur sungai pun harus melewati berbagai rintangan. Yang paling membuat kesal adalah banyaknya sisa-sisa pohon bambu yang tumbang dan menutupi jalur sungai. Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyingkirkan bambu. Selain itu, suara yang dihasilkan saat menyingkirkannya terdengar sangat keras memecah keheningan. Dikhawatirkan badak jawa mendengar suara tersebut dan mengira bahwa itu adalah ancaman sehingga mereka segera kembali ke permukaan.

Sempat terjadi siklon tropis di Indonesia dan dampaknya terasa di Jawa bagian selatan. Ketinggian air sungai meningkat secara tiba-tiba, akibat luapan ombak serta hujan deras. Perahu ponton hampir saja terbawa arus, dan sebagian tim yang menginap di base induk Cikeusik juga harus mengungsi ke daratan yang lebih tinggi, mengantisipasi luapan sungai.

Sepekan tak ada tanda-tanda di Cikeusik, susur sungai akhirnya dialihkan ke muara Citadahan. Berbeda dengan topografi Cikeusik, muara Citadahan lebih lebar dan panjang. Hewannya pun semakin beragam, terkadang dijumpai banteng yang tengah melintasi sungai. Sama halnya seperti di Cikeusik, banyak cetakan kaki badak jawa yang turun dan naik ke permukaan. Sepekan penelusuran, tim ANTARA kembali dihinggapi nasib apes, badak jawa masih enggan menjumpai kami hingga penelusuran sungai dinyatakan berakhir.

Singgah di Rumah Pohon
Baca selengkapnya

Pencarian badak jawa di rumah pohon memang tak terlalu menguras tenaga saat melakukan susur sungai, namun rasa jenuh menjadi teman setia. Tak banyak aktivitas yang dilakukan, hanya menunggu untuk waktu yang tak dapat diperkirakan.

Kamera disiagakan persis menuju arah kubangan, berharap badak jawa melewati jalur arah rumah pohon dan syukur-syukur kembali berkubang. Suara jangkrik dan katak menjadi irama yang dijumpai setiap malamnya. Tim bersiaga saat waktu memasuki sore hari, tak boleh ada aktivitas apapun yang dilakukan termasuk mengobrol. Tim hanya menggunakan semiotika gestur tubuh untuk berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Pemantauan dilakukan semalaman hingga pukul 09.00 WIB. Setelah itu, tim harus kembali ke pantai untuk memasak.

Berbeda dengan penelusuran sungai, tim rumah pohon sempat mendengar suara-suara hentakan kaki yang diduga berasal dari badak jawa sekitar pukul 20.00 WIB. Tim siaga dengan kamera masing-masing, sementara anggota tim Monitoring Badak Jawa siap dengan lampu senter. Kondisi hutan yang gelap gulita sangat membatasi pandangan mata. Meski ada lampu senter tapi tidak boleh sembarang diarahkan karena akan membuat badak jawa terkejut lantas lari.

Jam demi jam dilewati, tetapi badak masih enggan memunculkan batang hidungnya ke hadapan tim. Sepanjang malam tim hanya dilingkupi ketidakberuntungan. Hari-hari berikutnya kembali dilalui dengan kebosanan, tak ada lagi tanda badak jawa, termasuk mamalia lainnya hingga penelusuran di rumah pohon dinyatakan berakhir.

Paling menyebalkan saat menunggu di rumah pohon adalah banyaknya kutu babi. Gigitannya sangat gatal, bahkan losion nyamuk maupun balsam tak mampu menahan rasa gatal.

Mandi adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa gatal. Tetapi dalam pencarian badak jawa, tim tak boleh mandi menggunakan sabun dan sampo, kecuali saat mandi di muara. Karena sabun dan sampo mengeluarkan aroma yang kuat bagi badak.

Pertemuan yang Tak Terduga
Baca selengkapnya

Meski sudah 14 hari menyusuri sungai dan rumah pohon namun pencarian belum membuahkan hasil, hanya jejak, kotoran dan kubangan saja yang terekam.

Namun memasuki hari ke-15 Tim ANTARA bertemu dengan group monitoring badak jawa (MBJ) lainnya saat berada di wilayah pengembalaan banteng Cibunar, dan ANTARA mendapatkan kesempatan untuk mengikuti aktivitas rutin MBJ.

ANTARA ikut masuk ke areal hutan yang semakin dalam untuk ikut memantau kamera jebak. Setelah dua hari mengikuti aktivitas MBJ, akhirnya cukup beruntung menemukan jejak badak jawa yang diduga merupakan individu baru.

Menurut petugas MBJ, ukuran jejak kaki 21-20 sentimeter adalah jejak kaki badak jawa yang masih kecil. Usianya diperkirakan kurang lebih enam bulan.

Namun untuk memastikan bahwa jejak itu berasal dari individu badak baru harus dilakukan secara sahih. Ia bersama petugas kemudian mengecek kamera jebak yang terpasang di jalur yang dilintasi badak tersebut, tapi sayang dua kamera jebak tak merekam aktivitasnya.

Kamera pertama terjatuh akibat talinya putus digigit hewan pengerat dan kamera kedua dibuang oleh pemburu.

Kendati tidak dapat melihat langsung, penemuan jejak kaki kecil itu menjadi kabar bahagia akan konservasi badak jawa di Ujung Kulon. Badak Jawa hidup dengan nyaman di balik tutupan hutan, meski ancaman terus menyelimuti mereka.

Jelajah Ujung Kulon

Badak Jawa membuat hidup masyarakat lebih berarti

Bertemu Badak Jawa merupakan hal yang tak ternilai bagi masyarakat di Ujung Kulon. Pasalnya, tak semua orang termasuk petugas Monitoring Badak Jawa (MBJ) bisa merasakan sensasi yang sama meski bertahun-tahun keluar masuk hutan. Berikut adalah cerita masyarakat yang pernah bertemu dengan Badak Jawa hingga membuat hidup masyarakat Ujung Kulon lebih berarti.

Pengalaman yang tak terlupakan
Baca selengkapnya

Kala itu pada November 2017, Agus Syamsudin beserta satu rekannya tengah melaksanakan patroli rutin. Di tengah jalan, ia menemukan badak jawa jantan yang sedang makan. Pertemuan itu menjadi yang pertama bagi Agus setelah lima tahun keluar masuk hutan lebih sering menemukan jejak serta kotorannya saja ketimbang melihat rupa asli sang tokoh.

Dengan hati bercampur aduk antara bahagia dan rasa takut, ia langsung mengambil handphone di saku celananya dan merekam aktivitas sang badak. Agus mengira badak tidak akan mengejarnya, ia pun mencoba mendekat secara perlahan. Tetapi tanpa aba-aba, badak langsung mengejarnya. Beruntung bagi Agus, pohon beringin menyelamatkan hidupnya. Jarak antara dia dengan badak yang merasa terancam itu kurang dari satu meter, dan hanya dibatasi oleh batang pohon yang memisahkan mereka. Agus pun selamat dari jangkauan serudukan badak jawa hingga akhirnya hewan tersebut lari ke dalam hutan.

"Kalau kena cula atau diseruduk, saya pasti kritis, bisa mati. Tapi saya mendapat kenang-kenangan berupa benjolan di kepala akibat ludahan badak. Bikin pusing dan sakit ternyata ludahan badak itu," kata Agus yang kebetulan berjumpa di Resort Karang Ranjang, TNUK. Benjolan di kening Agus lama-lama semakin membesar. Harusnya ia dioperasi, namun bagi Agus benjolan itu adalah oleh-oleh dari badak yang tak akan pernah dia obati.

Pengalaman berbeda dirasakan Sasmita. Pria asal Desa Ujungjaya ini menceritakan keterikatannya dengan badak jawa telah terjalin selama 20 tahun lamanya. Sebelum mengabdikan diri sebagai petugas lepas di Taman Nasional Ujung Kulon, Mita merupakan pemburu sarang burung walet dan madu untuk dijual ke wilayah Jakarta dan sekitarnya. Menjadi seorang pemburu sarang walet dan madu membuat dia memiliki kemampuan untuk memetakan lokasi taman nasional, termasuk menghindari jalur badak jawa.

"Karena dulu kita tak punya penghasilan apapun. Mata pencaharian di Ujung Kulon selain bertani, ke laut (nelayan), atau ke hutan," kata Mita yang khas dengan kumis tebalnya. Kemahirannya dalam memetakan jalur TNUK membawanya direkrut World Wildlife Fund (WWF) Indonesia. Bersama WWF, Mita ditugaskan sebagai pemasang kamera jebak (camera trap) dan kemampuannya terus terasah setelah peneliti mengajarkan cara penghitungan usia badak melalui pengukuran jejak kaki.

Bakatnya tercium oleh Balai TNUK, sehingga Mita sepenuhnya mengabdikan diri dalam upaya konservasi badak jawa. Sebelum bergabung bersama WWF dan TNUK, ia tak pernah bertemu secara langsung dengan satwa tersebut meski bolak-balik masuk hutan. Yang dia tahu hanya ada kubangan tempat badak berendam, jejak kaki, serta kotoran badak. Perjumpaan pertamanya ketika ia mendampingi peneliti saat tengah memasang kamera jebak. Saat memasang kamera jebak, ia tidak mengetahui ada badak yang tengah mengintip di balik tutupan hutan.

Dengusan badak dari arah belakang, membuatnya terkejut dan langsung bersembunyi di balik pohon, karena serudukan kecil badak dapat membuat kulit manusia robek. Kendati demikian, pengalamannya bertemu badak tak membuat mental Mita menciut. Justru ia merasa keterikatan dengan hewan bernama latin Rhinocheros Sondaicus itu semakin menguat.

Mita kini dipercaya sebagai koordinator pemasang kamera jebak beserta 30 orang warga Desa Ujungjaya lainnya. Menariknya, ke-30 orang ini dulunya adalah warga yang kerap memasuki hutan konservasi secara illegal.

Pelibatan Masyarakat
Baca selengkapnya

Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Handeuleum Ujang Acep menyebut keterlibatan masyarakat dalam upaya konservasi adalah ujung tombak penyelamatan badak jawa dari ancaman kepunahan.

Acep menyadari bahwa tanpa keterlibatan masyarakat, upaya penyelamatan badak jawa adalah omong kosong. Keterlibatan sekitar dapat meminimalisir ancaman sekaligus meningkatkan keamanan.

Pelibatan masyarakat sudah berlangsung lebih dari dua dekade terakhir. Mereka yang direkrut adalah yang biasa hilir mudik ke kawasan hutan. Pengalaman mereka sangat dibutuhkan dalam membantu Balai TNUK mencari jejak, kubangan, pemasangan kamera trap, hingga kebutuhan konservasi lainnya.

Terdapat lebih dari 30 orang warga lokal yang kini menjadi bagian dari tim Monitoring Badak Jawa (MBJ) Balai TNUK. Mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai kemampuannya. Ada yang bertugas sebagai anggota patroli, pemasang kamera trap, penyemaian pakan badak dan pengandalian langkap, hingga unit yang memonitor kesehatan badak.

Setiap 15 hari dalam setiap bulannya, mereka bergantian masuk ke zona inti. Jika tidak ada agenda di dalam hutan, masyarakat diperbolehkan melakukan aktivitas lain seperti bertani dan menjadi porter bagi peneliti maupun para peziarah yang akan ke wilayah Sanghiyang Sirah.

Kendati memiliki anggota yang cukup banyak, Balai TNUK juga kerap mengalami kendala. Karena mayoritas adalah petani, maka saat masuk musim-musim panen tidak ada masyarakat yang mau masuk ke hutan. Aktivitas identifikasi dan evaluasi kamera jebak pun harus dihentikan hingga panen selesai.

"Saat panen semuanya menolak masuk hutan meski dibayar lebih tinggi. Ini menjadi kendala sekaligus keunikan tersendiri bagi saya," kata Ujang Acep dengan logat Sundanya yang kental.

Legenda Badak Jawa
Baca selengkapnya

Badak jawa merupakan hewan yang sangat sulit untuk dijumpai. Selain hidup di kedalaman hutan, juga jumlahnya yang sedikit. Bahkan sebagian masyarakat di Desa Tamanjaya serta Ujungjaya yang berbatasan dengan TNUK menganggap badak jawa adalah legenda.

Tak ada yang benar-benar bisa melihat langsung fisik sang Unicorn tersebut. Mereka hanya mengetahui rupa badak jawa dari tayangan televisi maupun dari cerita mulut ke mulut. Tapi bagi mereka, badak layaknya pemberi kehidupan. 

"Badak jawa bagi masyarakat Tamanjaya bukan hanya sebatas satwa. Kami mendapat penghidupan, karena bisa melaut, mengembangkan pariwisata. Intinya badak telah memberi kami rezeki," kata Sekretaris Desa Tamanjaya Samsuri.

Samsuri membayangkan apabila badak jawa punah, tak ada lagi kebanggaan yang bisa diceritakan kepada anak-cucu mereka kelak. 

Bagi masyarakat Ujung Kulon, badak jawa merupakan satwa kebanggaan yang perlu diselamatkan. Di tengah upaya penyelamatan itu, tidak jarang mereka mempertaruhkan nyawa demi melindungi sang tokoh dari kepunahan.

Kisah Agus maupun Mita di atas adalah secuil dari keterlibatan mereka untuk bergaul dengan badak jawa. Dalam membantu upaya konservasi mereka harus menerabas hutan berpuluh-puluh kilometer jauhnya hingga menginap berhari-hari.

Bagi mereka, badak bukan hanya hewan langka, tapi telah memberikan nafas kehidupan. Karena pertemuan secara fisik, sejatinya adalah intisari tentang cinta.

Ekosistem di Ujung Kulon yang ditopang dengan hewan eksotis serta langka menjadi kekayaan tersendiri bagi Indonesia. Namun di tengah ancaman degradasi hutan di Indonesia, sejatinya Ujung Kulon harus tetap menjadi kawasan yang tak boleh terjamah secara bebas, menjadi rumah yang nyaman untuk mereka yang terus bertahan dari kepunahan. Karena merawat segala isi yang ada di Ujung Kulon, sama halnya dengan merawat kehidupan.

Terima Kasih

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Balai Taman Nasional Ujung Kulon
Warga Desa Ujung Jaya

Credit

PENGARAH
Akhmad Munir, Gusti Nur Cahya Aryani, Saptono, Teguh Priyanto

PRODUSER EKSEKUTIF
Sapto HP

PRODUSER
Panca Hari P

CO-PRODUSER
Farika Nur Khotimah

PENULIS
Asep Firmansyah

VIDEOGRAFER
Annas

EDITOR VIDEO
Muhammad Adimaja

FOTOGRAFER
Muhammad Adimaja

SUMBER DATA
Javan Rhino Studi and Conservation Area (JRSCA)
Javan Rhino Expedition

DATA DAN RISET
Asep Firmansyah, Muhammad Adimaja

WEB DEVELOPER
Y. Rinaldi