Salah satu penyebab terjadinya gelombang tsunami adalah ketika megathrust melepaskan energi dalam gerakan tektoniknya, angka magnitudo yang biasanya muncul seringkali mencapai 7 atau bahkan lebih tinggi.
Untuk menjelaskan hal ini, ahli tsunami dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Dr.-Ing. Ir. Widjo Kongko, M.Eng., menjelaskan beberapa syarat terjadinya sebuah tsunami yang menurutnya kompleks.
“Sebenarnya banyak sekali faktor, tapi pengalaman atau empiris yang sudah kita pelajari, misalnya gempanya setidak-tidaknya magnitudo 7,” kata Widjo kepada ANTARA pada Kamis (14/3).
Jika kurang dari 7, seperti magnitudo 6,5, kata Widjo itu terkadang energinya masih kecil untuk bisa terjadi sebuah tsunami.
“Karena kalau magnitudo 6,5, itu kadang-kadang masih terlalu kecil karena ada faktor yang lain itu,” ucapnya.
Widjo melanjutkan bahwa selain magnitudo sebuah gempa, syarat lain agar terjadi gelombang tsunami adalah kedalaman terjadinya gempa harus terdapat di kedalaman yang dangkal.
“Tetapi tidak hanya magnitudo, gempa itu harus pada kedalaman yang dangkal. Dangkal itu artinya apa, kedalamannya ya 50 km kuranglah,” ucap Widjo.
Ia memberikan contoh jika terjadi suatu gempa di kedalaman sekitar 300 kilometer, hal itu tidak akan menimbulkan tsunami. Faktor selanjutnya yaitu terkait mekanisme pergerakan patahan gempa.
“Mekanisme kan seperti yang saya jelaskan tadi ada thrust ya, ada yang sesar naik, ada yang sesar turun, ada yang geser. Nah itu sangat kompleks dan itu masing-masing mempunya potensi apabila misalnya yang paling tinggi adalah yang kemungkinan menimbulkan tsunami adalah sesar naik,” katanya.
Ketimbang sesar geser dan lainnya, kata Widjo, sesar naik punya potensi besar untuk menimbulkan tsunami karena mekanisme pergerakannya.
Widjo juga membahas mengenai upaya memperkirakan kala ulang gempa yang menyebabkan sebuah tsunami. Pertama-tama ia mengatakan ketika terjadi tsunami, gelombang besar dan tinggi dari tsunami akan membawa debris ke daratan dan mengendap.
“Pada saat terjadi tsunami itu akan membawa segala rupa, sampah lah. Kita sebutnya debris. Debris itu bisa macam-macam, bisa karang, bisa binatang laut, segala macam ya, itu bisa ke daratan. Membawa sampah ini kemudian menjadi endapan di sana,” kata dia.
Endapan akibat tsunami tersebut akan terus tertimbun bersamaan debris, pasir dan material lainnya selama puluhan, ratusan hingga ribuan tahun.
“Endapan ini akan tertimbun dan tercampur ya dengan endapan pasir segala macam, ada karang, ada pecahan dan seterusnya. Dan itu bisa tertimbun puluhan, ratusan, ribuan tahun,” ucap Widjo.
Ilmu paleotsunami, kata Widjo, salah satu cabang ilmu yang mempelajari sedimen tsunami dan menganalisisnya. Jika terdapat material organik di sedimen tersebut, material tersebut bisa diperkirakan penanggalan karbonnya.
“Nah paleotsunami, itu salah satu cabang ilmu yang mempelajari deposit-deposit tadi, deposit itu sedimen ya. Sedimen tsunami kemudian diambil dianalisis ya, nanti akan kelihatan apakah ada material organik di sana. Nah misalnya contoh binatang laut tertentu yang sudah tertimbun lama. Nanti dari jasadnya itu bisa di dating (dilakukan penanggalan), carbon dating (penanggalan karbon),” kata dia.
Widjo mengatakan sedimen yang tertimbun tidak tunggal, melainkan berlapis-lapis. Hal ini dikarenakan gempa bumi yang terjadi memiliki kala ulang. Metode kala ulang, ucap Widjo, tidak dapat memprediksi pasti kapan terjadinya gempa bumi maupun tsunami. Sifatnya hanya perkiraan. Contohnya bisa diambil dari gempa bumi yang terjadi di daerah selatan pulau Jawa, yang punya kala ulang gempa bumi 400 tahun.
“Nah biasanya sedimen ini tidak tunggal, tapi berlapis-lapis. Karena gempa bumi itu punya kala ulang, dan kembali kepada pertanyaan tadi ‘apakah bisa memprediksi ya?’ Tentu ini perkara yang tidak mudah ya. Karena kita tidak tahu sesungguhnya secara pasti, paling perkiraan. Misalnya kala ulang di selatan Jawa, bisa 400 tahun gitu,” ujar Widjo.
Jadi, dengan kala ulang yang didapat dari sedimen tsunami, peneliti dapat memperkirakan gempa berikutnya. Hal penting lainnya dalam menghadapi bencana tsunami adalah mengetahui karakteristiknya, seperti tinggi arus, kemungkinan mencapai darat dan lain seterusnya.
Widjo mengatakan bahwa hal ini dapat diperkirakan peneliti melalui magnitudo yang didapat dari alat sensor yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Gempa kan kita selalu mendengar ada magnitudo kan ya, ini ukurannya sekian dan seterusnya. Sebetulnya, magnitudo itu adalah ukuran yang bisa diukur oleh alat-alat sensor yang ada tersebar, di Indonesia itu ada sekian ratus lah ya,” katanya.
Hasil dari alat sensor tersebut kemudian dianalisis. Dari hasil analisis bisa didapatkan beberapa hal seperti prakiraan lokasi pusat gempa, jauh kedalaman dan magnitudo yang menyebabkan gempa.
“Karena ada data tadi maka akan kelihatan pusat gempanya kira-kira dimana, kedalamannya berapa kemudian magnitudo atau ukuran yang menyebabkan gempa itu berapa,” ucap Widjo.
Dari data tersebut, bisa didapati juga besaran energi yang menyebabkan gempa. Widjo mengatakan biasanya ia dan para peneliti lain menggunakan satuan Hiroshima Nuclear Bomb (satuan bom Hiroshima) dalam menghitung energi yang menyebabkan gempa.
“Dan karena ini sangat besar satuannya, jadi satuannya yang biasa saya dan teman-teman pake itu HNB. HNB itu Hiroshima Nuclear Bomb. Jadi misalnya skala enam itu kira-kira satu kali HNB,” kata dia.
Ia juga mengatakan bahwa skala magnitudo bukanlah skala linier. Skala itu bersifat logaritmik tingkatannya, tidak seperti angka biasa.
“Oiya saya sampaikan bahwa skala dalam magnitudo itu tidak linier, tidak seperti kita. Tulisannya enam, tujuh, delapan tapi sebetulnya logaritmik. Logaritmik itu skala tujuh, 33 kali dari skala enam dan skala delapan itu kira-kira 33 kali skala tujuh dan 1000 kali skala enam. Jadi kira-kira seperti itu,” ujar Widjo.
Perhitungan ini menjadi penting, kata dia, karena dapat mengukur kerusakan yang terjadi di pusat terjadinya gempa di bawah bumi dan dampak yang terjadi di permukaan.
“Misalnya skala tujuh itu secara empiris bisa menyebabkan kerusakan misalnya 40 x 20 km. Kalau skala sembilan kayak di Aceh misalnya, itu bisa lebih besar lagi. Bisa 400 sampai 1000 km,” ucapnya.
Kemudian dari perhitungan tersebut bisa dimodelkan dengan peralatan seperti komputer dan perangkat lunak lain agar didapatkan data ketinggian, waktu perkiraan sampai daratan hingga data kecepatan arus tsunami.
“Ini sudah bisa dihitung, diperkirakan ya diasumsikan. Dengan menghitung energi tadi, maka sumber tsunami, di daerah gempanya, itu sudah ketahuan kira-kira tingginya sekian, sehingga kalau ketinggian tsunami di daerah sumber sana ketahuan, maka dengan suatu model simulasi komputer, kita bisa menghitung itu sampai daratan nanti kira-kira tingginya berapa kemudian kecepatannya atau waktu tibanya sampai di daratan, bisa dihitung dan itu bisa tepat,” kata Widjo.
Terkait penghitungan dan prakiraan ini, ia memberikan salah satu contoh gempa bumi di Pangandaran pada tahun 2006. Widjo dan peneliti lainnya menganalisis pasang surut, jangka waktu gempa dan kemudian dimodelkan.
“Contoh, 2006 ada gempa bumi di Pangandaran. Nah kemudian kita mencoba menganalisis data-data dari pasang surut, tsunaminya sampai kapan. Terus kita memodelkan dengan data yang detail. Itu bisa, selisihnya hanya beberapa menit, bisa satu sampai tiga menit. Ketinggiannya juga tidak jauh dari hasil yang ada di lapangan,” kata dia.
Saat ini, peneliti terus bekerja mendalami upaya-upaya lain dalam menghadapi bencana gempa, seperti mempelajari kearifan lokal.
“Ada beberapa hal yang menarik bahwa bencana seperti tsunami dan gempa ini kan tidak hanya sekarang saja tapi dari dulu sudah ada. Jadi ada kearifan lokal juga, yang sudah mempunyai pengetahuan, local knowledge (pengetahuan lokal). Kita adopsi juga itu,” ujar Widjo.
Salah satu kearifan lokal yang dipelajari para peneliti adalah toponimi. Menurut Badan Informasi Geospasial (BIG), toponimi merupakan bidang keilmuan dalam linguistik yang membahas asal-usul suatu wilayah, entah yang bersifat alamiah atau buatan manusia. Widjo mengatakan bahwa ini adalah aset bagi para peneliti.
“Toponimi ya, nama-nama tempat itu adalah aset bagi kita, bahwa kearifan lokal dulu sudah ada tentang kebencanaan dan itu kita pelajarin, kita sampaikan,” katanya.
Upaya menghadapi bencana, kata Widjo, juga bisa dilakukan oleh masyarakat. Pertama-tama, masyarakat harus mengenal bencana yang ada di sekitarnya.
“Pertama, kita masyarakat Indonesia itu tentu harus sadar ya, bahwa kita itu rentan bencana dan karena itu harus mengenal bencana-bencana yang ada di sekitar kita,” ucap dia.
Widjo juga mengharapkan masyarakat untuk dapat mencari dan menerima informasi dari sumber yang tepat, yaitu dari sumber yang memiliki otoritas atas informasi yang dibagikan seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG).
“Termasuk belajar siapa yang punya otoritas di sana BNPB, yang selalu memberikan informasi, ada BMKG. Tentu yang kedua, informasi-informasi yang valid dari otoritas ini yang dipakai ya,” katanya.
Widjo menginginkan agar setiap masyarakat di Indonesia terlebih mereka yang tinggal di daerah rawan bencana seperti pesisir atau daerah sesar, dapat mempersiapkan diri lebih baik melalui literasi kebencanaan yang mumpuni.
“Kita masih menghadapi PR (pekerjaan rumah) untuk literasi kebencanaan ini, sehingga saya kira masyarakat yang memang tinggal di posisi yang rentan terhadap gempa bumi dan tsunami, di pantai atau di daerah sesar. Tentu harus mempersiapkan lebih baik literasi kebencanaan ini,” ujar Widjo.
Tutup