Ayunan

Sarung bukan sekadar pembalut tubuh.
Bukan sekadar untuk keperluan shalat.
Juga bukan sekadar penahan dingin.

Sarung bisa jadi penanda identitas dan kehidupan sosial.
Sarung juga bagian dari kehidupan dan kreativitas.

Sarung adalah kain yang memiliki seribu makna.

Nostalgia sarung: Dari kain jadi alat bermain

Sarung sudah melekat lama dalam keseharian masyarakat Indonesia. Kain yang umumnya bermotif kotak-kotak ini telah menjelma banyak hal, dari jadi ayunan hingga alat permainan.

Catatan sejarah memperkirakan penggunaan sarung sudah ada sejak abad ke-14 karena pengaruh pedagang Arab dan India yang singgah berdagang di Nusantara. Kala itu, sarung menjadi pelengkap berbusana yang menandakan identitas pemakainya, utamanya bagi kaum laki-laki.

Lantas seiring berjalannya waktu, budaya nyarung tidak hanya terbatas pada aktivitas berbusana semata. Kain sarung kini lumrah ditemukan pada kegiatan sehari-hari, bahkan yang remeh-temeh sekalipun.

Nostalgia sarung: Dari kain jadi alat bermain
Ayunan

Ayunan

Tidak sedikit kaum ibu yang memanfaatkan kain sarung menjadi ayunan bagi anak-anak batita hingga balita, khususnya mereka yang dalam keterbatasan ekonomi atau masih tinggal di kampung. Ukuran yang cukup lebar dengan jahitan hanya pada kedua ujungnya memungkinkan kain sarung untuk digantung pada sebilah kayu, besi, pengait, atau diikat pada tali.

Adapun bagian tengahnya cukup luas dan aman untuk meletakkan anak-anak. Bahkan, ayunan sarung juga terbukti jitu dalam menidurkan atau menghibur anak-anak ketika tengah tantrum.

Ninja-ninjaan

Ketika bertambah besar, imajinasi anak-anak berkembang dan seringkali bermain kostum atau tukar peran hingga menyulap kain sarung menjadi penutup mata dan kepala ala ninja, agen mata-mata dari Negeri Sakura. Permainan ninja-ninjaan umumnya populer di kalangan anak laki-laki.

Permainan ini tidak membutuhkan alat bantu lain selain kain sarung. Bentangan kain sarung diletakkan memanjang tepat di bawah mata, kemudian diikat dengan kencang ke bagian belakang kepala.

Sisa kain sarung yang menjuntai dibagi menjadi dua, lalu dinaikkan hingga menutupi kepala bagian atas. Nantinya, seluruh bagian kepala hingga leher akan tertutup kain sarung, dan hanya menyisakan area mata yang tidak tertutup agar tetap dapat melihat.

Setelah kostum ninja-ninjaan siap, permainan dimulai dengan membagi pemain ke dalam dua kelompok, yakni tim kawan dan lawan. Cara memainkannya cukup mudah, masing-masing pemain harus mengejar dan menangkap pemain lain yang menjadi tim lawan.

Permainan ninja-ninjaan menjadi menantang dan seru sebab anak-anak harus menghafal dan mengenali teman lainnya yang menjadi tim lawan di balik kain sarung masing-masing. Pemenang permainan ini adalah tim yang berhasil menambah jumlah pemain paling banyak di akhir permainan.

Ninja-ninjaan
Babalon

Babalon

Tidak berhenti sampai di situ, kain sarung juga lazim digunakan dalam permainan Babalonan Sarung. Permainan tradisional ini tersebar hampir di seluruh daerah di Indonesia. Mengutip dari laman Kemdikbud, permainan Babalonan Sarung kerap kali menjadi bujukan para orang tua agar anak-anaknya ikut kegiatan beribadah di tempat ibadah, seperti mengaji.

Alasannya sederhana, permainan ini membutuhkan banyak pemain, baik anak laki-laki maupun perempuan dapat memainkannya secara bersama-sama. Oleh karena itu, anak-anak seringnya akan mengajak teman terdekat. Sebelum memulai permainan Babalonan Sarung, para pemain wajib mengikatkan kain sarung dengan kencang di bagian pinggang terlebih dahulu.

Selanjutnya, setiap pemain akan memegang kedua ujung sarung yang tidak terikat, mengangkatnya setinggi mungkin, sembari membentangkannya dengan lebar. Dalam posisi tersebut, para pemain harus lari sekencang mungkin sehingga dapat segera mencapai garis akhir.

Pemain yang berhasil mencapai garis akhir tercepat dengan bentangan sarung paling lebar dan paling tinggi keluar menjadi juara pertama. Dengan kata lain, tantang permainan Babalonan Sarung ini tidak hanya terletak pada kecepatan berlari, namun juga kekuatan tangan anak-anak dalam membentangkan kain sarung masing-masing.

Alung Sarung

Selain kedua permainan di atas, permainan tradisional lainnya yang juga menggunakan sarung ialah Alung Sarung. Melansir dari laman Kemdikbud, warisan tak benda dari Jawa Barat ini berarti ‘melempar sarung’ dalam bahasa Indonesia.

Meski begitu, permainannya cukup tersebar di wilayah Indonesia dan dapat dimainkan secara bersama-sama oleh anak laki-laki maupun perempuan. Berbeda dengan dua permainan sebelumnya, permainan Alung Sarung tidak mengikatkan kain sarung di tubuh para pemainnya.

Para pemain hanya perlu menggulung kain sarung sampai membentuk lingkaran, lalu menyangkutkannya di salah satu pundak sembari menggenggam salah satu sisinya dengan satu tangan. Kemudian, pemain mengambil ancang-ancang yang pas untuk melempar kain sarung tersebut setinggi mungkin.

Untuk menentukan pemenang permainan Alung Sarung, anak-anak yang mampu melempar sarung paling tinggi, dengan putaran paling bagus, dan berhasil memasukkan kepalanya ke lingkaran sarung sebelum jatuh ke tanah ialah pemenangnya. Di beberapa wilayah, anak-anak kerap menyebut juara satu permainan Alung Sarung dengan sebutan ahli alung sarung.

Alung Sarung

Ragam cerita sarung di Nusantara

Ragam cerita sarung di Nusantara

Indonesia dikenal akan kekayaan budaya di setiap daerah. Begitu juga dengan sarung di setiap penjuru Nusantara. Selembar kain sarung pun mempunyai arti yang berbeda-beda di setiap daerah di Indonesia.

Ada sarung Ulos dari Sumatera Utara, yang begitu lekat dengan budaya suku Batak. Motif pada sarung biasanya disebut dengan nama lain “ragi”, dimana ragi pada sarung Ulos sangat beragam. Diantaranya adalah Ulos Mangiring, Ulos Parompa, dan Ulos Bintang Maratur.

Terdapat bagian yang jadi keunikan sekaligus pembeda dengan Ulos lain, yakni Ulos Mangiring memiliki ragi yang melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Biasanya Ulos ini diberikan oleh orang tua pada cucunya sebagai ulos Parompa.

Sebagai contoh lain, terdapat Ulos Bintang Maratur yang memiliki motif barisan bintang sebagai simbol kepatuhan, ketekunan, kesetiaan, dan ikatan keluarga. Ulos ini dapat diberikan sebagai hadiah kepada seseorang yang baru saja melahirkan anak pertama.

Dalam pernikahan adat Batak, terdapat prosesi Mangulosi yang melibatkan banyak orang dan memakan waktu yang cukup lama. Ulos memiliki peran penting sebagai simbol penyalur berkat pada pengantin dan keluarganya.

Dari barat bergeser ke timur, ada sarung dari Jawa Tengah, yakni Sarung Tenun Goyor. Sarung dari kain yang memiliki teknik tenun istimewa ini punya nilai seni yang tinggi. Namun, walaupun diproduksi dengan teknik tenu, sarung ini sama sekali tidak kaku, melainkan halus dan memiliki motif yang bervariasi nan indah.

Salah satu daerah yang membuat kerajinan tenun goyor ini yaknni di Pemalang, Jawa Tengah. Dilansir dari penelitian Astri Rosiviana dari Universitas Negeri Yogyakarta, di Pemalang terdapat dua macam sarung tenun goyor, yaitu sarung tenun goyor werengan dan sarung tenun botolan. Pembeda pada sarung ini berada di motifnya. Dikutip dari laman Kemenkeu, ramainya gambar yang ada pada motif di sarung goyor mengusung keindahan dan estetika bagi para pemakainya. Salah satunya adalah bermakna kesederhanaan.

Selanjutnya, ada juga sarung tenun Samarinda, Kalimantan Tinur. Berdasarkan penelitian Rina Rifayanti dkk di Psikostudia Jurnal Psikologi pada tahun 2019, sarung yang dapat diperoleh di Samarinda ini dibuat dengan alat tenun manual atau biasa disebut gedokan. Ciri khas sarung Samarinda adalah bahan bakunya yang menggunakan benang yang khusus di datangkan dari Cina.

Warna-warna yang dominan pada sarung ini adalah hitam, putih, merah, ungu, biru laut dan hijau. Corak yang dibuat dalam sarung Samarinda sangatlah beragam serta memiliki makna dan nilai filosofi masing-masing yang akhirnya membuat sarung tenun Samarinda menjadi simbol dan identitas dari Ibu Kota Kalimantan Timur.

Setiap corak pada sarung Samarinda memiliki makna yang berbeda. Salah satu adalah corak pengantin yang biasa dibawa mempelai laki-laki sebagai syarat untuk melamar.

Berbeda dengan sarung Samarinda, Sarung Sutera Bugis dari Sulawesi Selatan, yang terkenal karena motif kotak-kotak dan garis-garis segitiga. Motif ini awalnya digunakan untuk menunjukkan status pemilik sarung, apakah sudah menikah atau belum. Namun, sekarang sarung sutera Bugis tidak hanya digunakan untuk upacara adat tetapi juga untuk keseharian.

Lalu ada sarung Tenun Poleng dari Bali, yang merupakan benda sakral bagi masyarakat Hindu. Sarung Poleng biasa digunakan dalam upacara keagamaan serta untuk penutup patung, pohon atau sebagai umbul-umbul. Sarung Poleng juga terdiri dari beberapa jenis, seperti Rwabhineda, Sudhamala, dan Tridatu, yang masing-masing memiliki makna warna tersendiri.

Kain Rwabhineda berwarna putih dan hitam, sarung Poleng Sudhamala berwarna putih, abu-abu dan hitam, serta Tridatu yang berwarna putih, hitam, dan merah.

Tiap warna punya makna tersendiri bagi masyarakat Hindu. Hitam putih layaknya simbol yin yang dalam filosofi China, yakni kebaikan dan kejahatan. Dua unsur ini adalah manifestasi keseimbangan alam.

Menatap makna pemakaian sarung dalam acara keagamaan

Sarung merupakan pakaian tradisional yang digunakan oleh banyak orang di seluruh dunia, terutama di Asia. Di beberapa negara, sarung dianggap sebagai salah satu simbol identitas budaya dan agama. Selain itu, pemakaian sarung juga berkaitan dengan nilai-nilai sosial dan keagamaan.

Menatap makna pemakaian sarung dalam acara keagamaan

Di Agama Islam, sarung merupakan salah satu pakaian yang paling umum digunakan oleh umat Muslim di seluruh dunia. Sarung biasanya dipakai oleh pria dan digunakan sebagai celana panjang yang melingkar di sekitar pinggang. Selain itu, sarung juga digunakan sebagai pakaian yang wajib dipakai saat melaksanakan ibadah haji dan umrah di Mekah, Arab Saudi. Para jamaah haji atau umrah akan memakai sarung sebagai pakaian dalam (ihram) saat memasuki Miqat. Selain itu, pemakaian sarung juga dipandang sebagai salah satu tanda kebersihan dan kesopanan dalam agama Islam.

Sarung juga merupakan salah satu pakaian tradisional yang digunakan oleh masyarakat Hindu. Pria dan wanita di India sering memakai sarung sebagai pakaian sehari-hari. Sarung ini dikenal dengan sebutan dhoti atau veshti. Pemakaian dhoti juga merupakan syarat wajib saat mengunjungi kuil Hindu di India. Pada acara-acara keagamaan seperti upacara pernikahan, dhoti juga sering dipakai sebagai pakaian resmi. Selain itu, warna sarung yang dipakai juga berkaitan dengan kepercayaan dan ritual keagamaan.

Sedangkan di beberapa negara di Asia seperti Thailand, Laos, dan Kamboja, sarung dikenal dengan sebutan sampot dan digunakan oleh masyarakat Buddha. Sarung ini sering dipakai oleh pria dan wanita sebagai pakaian sehari-hari. Pemakaian sampot juga berkaitan dengan tradisi dan nilai-nilai agama Buddha. Sampot dipandang sebagai pakaian yang sederhana dan sopan yang menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain.

Kemudian sarung juga merupakan pakaian tradisional bagi umat Sikh di India. Sarung yang digunakan oleh kaum pria disebut dengan sebutan lungi. Lungi merupakan pakaian yang longgar dan terbuat dari kain yang ringan. Selain itu, pemakaian lungi juga menjadi bagian dari identitas Sikh yang menunjukkan rasa persatuan dan kesetaraan dalam agama.

Sarung digunakan sebagai pakaian sehari-hari maupun sebagai pakaian resmi dalam berbagai acara keagamaan dan budaya. Dalam agama-agama seperti Islam, Hindu, Buddha, dan Sikh, pemakaian sarung memiliki makna dan nilai-nilai sosial yang berbeda. Meskipun demikian, pemakaian sarung tetap menjadi bagian dari identitas budaya dan agama bagi masyarakat di seluruh dunia.

VIDEO

Menengok pengrajin yang masih menenun sarung secara manual

Menengok pengrajin yang masih menenun sarung secara manual

Pengrajin sarung goyor di Desa Pojok, Tawangsari, Sukoharjo masih berkarya secara manual, tanpa menggunakan mesin-mesin modern. Sekalipun pembuatan sarung tetap dikerjakan secara tradisional, namun saat Ramadhan, para pengrajin mengalami peningkatan produksi, menyesuaikan banyaknya permintaan kain sarung yang diekspor sampai ke benua Afrika. (Denik Apriyani/Andi Bagasela/Rinto A Navis)

INFOGRAFIS
Menengok pengrajin yang masih menenun sarung secara manual
VIDEO

Rayakan hari sarung nasional dengan "sarung on the street"

Rayakan Hari Sarung Nasional dengan "Sarung on the Street"

Merayakan Hari Sarung Nasional yang diperingati setiap tanggal 3 Maret, puluhan pegiat budaya Nusantara di Kota Semarang, Jawa Tengah, menggelar fashion show  bertajuk Sarung On The Street di jalan MT Haryono Semarang, Kamis (2/3). Selain sebagai bentuk kampanye penggunaan sarung di masyarakat,  Sarung on the Street juga sarana mengenalkan aneka motif sarung kepada  segenap warga. (Fx. Suryo Wicaksono/Andi Bagasela/Ardi Irawan)

Sarung, tren baru gaya berpakaian di Indonesia

Sarung, tren baru gaya berpakaian di Indonesia

Sarung adalah kain dengan motif tertentu dimana setiap sisi ujungnya dijahit, sehingga dapat membentuk seperti sebuah tabung. Hingga saat ini, sarung masih menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, sarung digunakan bukan hanya sebagai pelengkap untuk beribadah, namun juga sebagai gaya berpakaian.

Hal ini sejalan dengan konsep kerangka Pengembangan Ekonomi Kreatif di bidang fashion yang pernah dibuat, dimana tujuan dari kerangka tersebut adalah agar Indonesia bisa menjadi salah satu pusat mode dunia. Dari kerangka tersebut dapat terlihat bahwa ujung tombak untuk mencapai target Indonesia menjadi salah satu pusat mode dunia adalah produk pakaian yang siap pakai, sedangkan pondasi untuk mencapai tujuan akhir adalah pengembangan kekayaan lokal.

Sehingga untuk implementasinya, sarung dipilih untuk lebih didorong agar dapat bersaing dengan gaya berpakaian dari negara lain.Sarung memang memiliki potensi untuk dikembangkan lebih dalam, selain merupakan bagian dari kekayaan Indonesia, sarung juga bisa dipakai oleh semua kalangan dan bisa digunakan baik pria maupun wanita. Beranjak dari hal tersebut, pada tahun 2011 sejumlah perancang busana mengusung sebuah gerakan kampanye yang ingin mempopulerkan gaya berpakaian sarung.

Salah satu perancang busana yang ikut serta dalam mempopulerkan gerakan kampanye ini adalah Dina Midina. Menurut Dina, kampanye yang diberi nama Sarung is My New Denim ini diangkat dengan latar belakang bahwa pada saat itu semua orang memiliki celana jeans. Sehingga kampanye ini dijalankan untuk dengan harapan agar sarung juga dimiliki oleh semua orang seperti celana jeans.

Sarung, tren baru gaya berpakaian di Indonesia
Sarung, tren baru gaya berpakaian di Indonesia

Namun dalam perjalanannya, kampanye Sarung is My New Denim dianggap masih kurang tajam. Sehingga kampanye ini kemudian diubah menjadi Sarong is My New Style. Kampanye baru ini dibuat untuk memberikan inspirasi gaya berpakaian ketimuran serta mengajak masyarakat untuk mau menjadikan sarung sebagai gaya berpakaian mereka sehari-hari.

Hal ini dikarenakan pemakaian sarung oleh masyarakat sebenarnya sudah ada sejak zaman penjajahan, namun perlahan sarung hanya dipakai untuk gaya berpakaian etnik dan kegiatan beribadah. Sehingga dengan adanya kampanye ini, Dina dan beberapa perancang busana lain mencoba untuk menghadirkan konsep sarung untuk gaya berpakaian urban.

“Kita ingin dengan adanya kampanye, sarung bisa bersaing khususnya dengan gaya berpakaian dari negara barat.” tutur Dina kepada tim Antara. Sehingga harapannya, minat terhadap sarung sebagai gaya dalam berpakaian sehari-hari nantinya dapat meningkat. Apabila harapan ini dapat terwujud, kesejahteraan ekonomi masyarakat juga akan ikut terangkat melalui sektor fashion.

Dina tidak lupa untuk terus mengajak masyarakat ikut mempopulerkan gaya bersarung melalui kampanye Sarong is My New Style. Selain itu, dengan lebih banyak orang yang menggunakan sarung sebagai gaya berpakaian, masyarakat dinilai akan lebih berani dan bangga untuk menggunakan sarung karena terpengaruh bahwa menggunakan sarung juga bisa tampil dengan keren.

Hal ini dikarenakan tidak ada aturan khusus saat menggunakan sarung karena sarung dapat dipadukan dengan berbagai gaya. Terakhir, Dina berharap semua pihak bisa menjadi bagian dari kampanye ini dengan lebih sering menunjukan gaya berpakaian sarung. Sehingga menggunakan sarung sebagai gaya berpakaian tidak hanya dianggap sebagai sebuah kewajiban semata seperti pada saat perayaan hari besar maupun Hari Sarung Nasional.

Sarung ala Presiden Jancukers: olahan kreatif kearifan lokal

Sarung ala Presiden Jancukers: olahan kreatif kearifan lokal

Sarung nyatanya tidak selalu bermotif kotak-kotak apalagi bernuansa warna gelap. Seolah enggan terlihat usang, sarung kini banyak ditemukan dalam aneka ragam motif dan campuran warna yang terkesan tidak biasa.

Adalah Sujiwo Tedjo, seorang produsen sarung sekaligus budayawan kenamaan tanah air yang terhitung telah belasan tahun ke belakang turut meramaikan industri sarung lewat sarung produksinya sendiri.

Sarung memang telah menjadi identitas sekaligus bagian keseharian yang tidak terpisahkan dari Tedjo, tanpa terkecuali. Ia bahkan tidak sungkan menghadiri jamuan formal sekalipun dengan memakai sarung.

Berbeda dari sarung kebanyakan, Tedjo yang juga akrab dikenal dengan Presiden Jancukers di media sosial tersebut selalu menawarkan sarung-sarung bermotif unik, bahkan terkesan nyeleneh dalam setiap tahun produksi.

Berbagai motif unik nan nyeleneh ini tentu hadir bukan tanpa alasan khusus. Proses kreatif yang menyertai perjalanan produksi setiap episodenya memang melibatkan banyak aspek, mulai dari kesadaran akan situasi masa kini, kegelisahan yang tengah dirasakan, hingga berbagai hal remeh yang kerap kali terabaikan.

Sarung ala Presiden Jancukers: olahan kreatif kearifan lokal

Meski begitu, olahan kreatif kearifan lokal menjadi benang merah yang menandai ketiga belas episode sarungnya. Dalam hemat pandangan Tedjo, masa depan Indonesia sejatinya terletak di belakang, yakni pada seluruh kearifan lokal yang senantiasa diolah dengan metabolisme kreatif baru. Dengan mengakar pada yang lampau, ia meyakini Indonesia mampu melesat jauh lebih baik dan maju dari hari ini.

Karena itu lewat berbagai motif sarungnya, Tedjo menuangkan pandangan sekaligus harapannya terkait keberagaman kearifan lokal yang ada di Nusantara.

Misalnya saja, motif parang WA yang idenya didapat ketika tengah asyik membaca dan membalas pesan elektronik di media sosial Whatsapp (WA). Bagi Tedjo, baris-baris kolom pada ruang percakapan Whatsapp tidak ubahnya seperti bentuk motif parang, motif batik yang juga disebut batik keraton.

Tedjo lantas membayangkan bahwa para tokoh wayang juga sama asyik dengan dirinya berbincang di dalam ruang percakapan daring tersebut, namun dengan menggunakan bahasa Hanacaraka (aksara Jawa). Hasil olahan kreatif kearifan lokal dengan kecanggihan teknologi komunikasi ini kemudian ia tuangkan pada kain sarung.

Bukan hanya bermotif nyeleneh, pemilihan warna sarung buatannya pun terbilang unik. Warna sarung pada episode ketiga belas misalnya, ada proses kreatif yang juga tidak kalah istimewa sebelum akhirnya Tedjo mantap mengeluarkan tiga pilihan warna dengan motif yang sama.

Sarung episode ketigas belas yang diberi nama Relativitas Jancuk ini mengalami keterlambatan proses produksi lantaran Tedjo belum menemukan warna yang cocok. Salah satu warna ia temukan setelah secara tidak sengaja mencampurkan kapucino dengan kuah rujak bebeg di atas selembar kain putih polos. Warna coklat kekuning-kekuningan ini kemudian menjadi pemanis warna dasar hitam sarung.

Adapun warna lainnya berangkat dari keisengan Tedjo meremas-remas kertas yang bertuliskan beragam rumus matematika lalu dipindai dengan mesin pemindai (scanner). Hasil remasan tersebut ternyata tidak begitu jelas dipindai mesin scanner, malah menimbulkan gradasi warna putih dan abu-abu.

Hasil olahan kreatif kearifan lokal pada sarung Tedjo tidak berhenti sampai di sini. Tidak ingin ketinggalan dengan gaya Barat, ia juga melengkapi setiap episode sarung dengan sertifikat dan tanda tangan basah miliknya. Sertifikat tersebut tentu bukan hanya menjadi kenang-kenangan bagi para jancukers, namun secara tidak langsung pula mematenkan motif-motif sarung ala Tedjo, sang Presiden Jancukers.

Sarung, kain yang sederhana namun sarat makna
Alat bermain, simbol dan keagamaan
Mengajarkan kita tentang keindahan dan kebesaran
Yang terkandung dalam setiap helai kain yang ada.

Credit

PENGARAH
Akhmad Munir, Gusti Nur Cahya Aryani, Saptono, Teguh Priyanto

PRODUSER EKSEKUTIF
Sapto HP

PRODUSER
Panca Hari P

CO PRODUSER
Farika Nur Khotimah

PENULIS
Farika Nur Khotimah, Hana Dewi Kinarina Kaban, Lia Wanadriani Santoso

VIDEO
Fx. Suryo Wicaksono, Denik Apriyani, Andi Bagasela, Ardi Irawan, Rinto A Navis, Hana Dewi Kinarina Kaban, Farika Nur Khotimah, Jihan Zahirah

FOTOGRAFER
Harviyan Perdana Putra, Yusuf Nugroho, Maulana Surya, Zabur Karuru, Kornelis Kaha, Ekho Ardiyanto, Muhammad Arif Pribadi, Abriawan Abhe, Syaiful Arif, Umarul Faruq, Aji Setyawan, M Agung Rajasa, Ignas Kunda, Eric Ireng, Adeng Bustomi, Hasan Sakri Gozali, Akbar Tado, Siswowidodo, Teresia May, Anis Efizudin, Yudi Mahatma, Nyoman Hendra Wibowo, Muhammad Adimaja, Herka Yanis, Wira Suryantala, Prasetyo Utomo

KURATOR FOTO
Prasetyo Utomo

INFOGRAFIK
Chandra

EDITOR INFOGRAFIK
Heppy Ratna Sari, Panca Hari Prabowo

DATA DAN RISET
Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Pusat Data dan Informasi Antara

WEB DEVELOPER
Y. Rinaldi