Sekelompok anak berusia tujuh hingga 10 tahun berjalan tanpa alas kaki menyusuri jalan berbatu dengan menenteng sepatu masing-masing. Derai tawa mereka mengiringi langkah menuju gerbang utama perkampungan Kawasan Masyarakat Adat Kajang di Dusun Benteng, Desa Tanah Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Pagi itu mereka hendak berangkat ke sekolah. Begitu sampai di luar gerbang kampung, anak-anak yang mengenakan baju seragam putih dipadukan celana panjang hitam itu langsung memakai sepatu yang sedari awal ditenteng ketika keluar dari rumah.
SDN 351 Kawasan Ammatoa Kajang hanya berjarak 10 meter dari gerbang utama kampung. Sekitar 99 persen siswa SD di situ adalah anak-anak dari kawasan adat. Warna seragam sekolah mereka pun disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat yaitu hitam dikombinasikan dengan atasan kemeja putih.
Suku Kajang merupakan salah satu suku tertua yang mendiami wilayah Tanah Towa di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Untuk menuju wilayah ini dibutuhkan waktu 5-6 jam dari Kota Makassar dengan jarak 197 kilometer. Sedangkan, dari kota Kabupaten Bulukumba ke kawasan adat sekitar satu jam dengan jarak sekira 36 kilometer.
Sesuai aturan kawasan adat, siapa pun yang memasuki perkampungan wajib melepas alas kaki dan mengenakan pakaian hitam atau biru gelap.
Begitu pula dengan Tim ANTARA, saat memasuki kampung untuk menemui Ammatoa atau Pemimpin Adat Kajang, harus mengenakan pakaian berwarna gelap dan berjalan bertelanjang kaki melintasi jalan batu sepanjang 100 meter menuju rumah Ammatoa.
Rumah panggung Ammatoa –Amma artinya Bapak dan Toa artinya yang dituakan-- sangat sederhana, tidak berbeda dengan rumah-rumah warga di sekitarnya. Lantai dan dinding rumah dibuat dari susunan potongan bambu, tanpa sekat, hanya tiang rumah sebagai pembatas.
Seluruh bahan konstruksi rumah ini diambil dari hutan sekitar, termasuk daun nipah sebagai atap.
Tidak ada meja dan kursi, semua tamu duduk bersila di lantai. Tidak ada pula listrik, penerangan hanya menggunakan obor atau lampu pelita dengan bahan bakar minyak kemiri serta minyak tanah. Dapur terbuat dari tanah liat sementara alat trasportasi utama adalah kuda.
Balla to Kajang atau rumah adat Kajang memiliki aksesoris anjungan berupa tanduk kerbau atau ukiran kayu berbentuk naga sebagai representasi dunia atas. Menurut kosmologi dari suku maupun masyarakat adat Kajang disimbolkan sebagai binatang raksasa penjaga langit.
Masyarakat adat Kajang percaya, Ammatoa pertama berasal dari kemunculan To Manurung, atau orang dari atas (langit) yang turun ke bumi dan menganggap wilayahnya paling tua.
Jika Ammatoa meninggal, maka pemimpin atau Ammatoa selanjutnya bukan diambil dari keturunannya namun diserahkan kepada alam untuk menyeleksi. Siapa yang “ditunjuk” oleh alam, maka dialah sebagai Ammatoa.
Wilayah administrasi
Desa Tanah Towa terdiri atas Sembilan dusun, tujuh di antaranya berada dalam Kawasan Adat Ammatoa (kajang dalam) atau Ilalang Embbaya, dan dua dusun di luar kawasan adat (kajang luar) atau Ipanttarang Embbaya.
Desa seluas 24,7 hektare tersebut didiami oleh 3.984 penduduk yang dalam kesehariannya berkomunikasi dengan bahasa Makassar dialek Konjo.
Kepala Desa Tanah Towa Zulkarnain mengemukakan, dua dusun di luar kawasan adat tersebut dijadikan lokasi pemerintahan sekaligus pusat perekonomian desa. Di situ terdapat fasilitas pendidikan, pasar, puskesmas, tempat ibadah, kantor desa serta fasilitas umum lain.
Berbeda dengan masyarakat adat Kajang Dalam yang tidak tersentuh modernisasi, dua dusun Kajang luar telah berkolaborasi dengan dunia moderen, ada bangunan rumah batu, ada bangunan konsep suku bugis, bahkan ada menyerupai bangunan asli kajang, sangat bervariasi.
Aturan adat
Dosen Sejarah Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Dr Suriadi Mappangara menuturkan, suku ini memiliki aturan tidak tertulis yang disebut Pasang ri Kajang, yang berisi nasihat-nasihat suci Ammatoa serta hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan warga.
Pasang ri Kajang adalah sistem kepercayaan adanya Tuhan Yang Maha Esa disebut 'Tu Rie' A'rana. Selain itu, Pasang ri Kajang berisi nilai-nilai, prinsip-prinsip, hukum serta aturan dalam merajut hubungan manusia dengan Tuhan, maupun hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Sebagai sebuah aturan, Pasang ri Kajang juga menetapkan sanksi bagi pelanggar aturan. Ada tiga jenis hukuman atau konsekuensi diberikan apabila melanggar 'Pasang ri Kajang'.
Pertama Cappa Babbala, adalah hukuman terendah diberikan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang salah. Kedua, Tangga Babbala, hukuman menengah. Dan ketiga, adalah hukuman yang paling keras yaitu Poko Babbala. Ini dendanya luar biasa.
Hukuman tersebut dikonversi dalam bentuk denda uang. “Disebut di sini sebagai hitungan real, denda itu diharapkan menjadikan efek jera bagi para pelanggarannya," kata pemuka masyarakat adat Kajang Andi Buyung Saputra.
Uang denda tersebut akan diberikan saat Abborong atau sidang adat yang dihadiri seluruh warga.
Selain tiga sanksi tersebut, masyarakat adat Kajang juga akan menggelar ritual-ritual tertentu jika tidak diketahui siapa yang menjadi pelaku dari sebuah tindakan kejahatan.
Suku Kajang boleh dibilang menjadi benteng terakhir kebudayaan yang ada di wilayah selatan Provinsi Sulawesi Selatan, yang sampai sekarang masih melaksanakan seluruh aktivitas adat sesuai apa yang dilihat di masa dahulu.
"Mereka masih punya nilai adat, struktur adat, masyarakat adat dan paling penting mereka masih memiliki ritual-ritual yang tidak pernah putus dari pertama Kajang itu terbentuk sampai saat ini," kata Andi Buyung.
Penjaga hutan terbaik
Hutan di kawasan adat kajang seluas sekira 313 hektare lebih dijaga betul. Tidak ada orang yang berani merusak atau mengambil hasil hutan dengan sembarangan, sebab ada aturan adat yang tidak boleh dilanggar.
Andi Buyung menjelaskan, wilayah kawasan adat Kajang secara garis besar telah diakui oleh negara setelah lahirnya Peraturan Daerah (Perda) nomor 9 tahun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang seluas 313,99 hektare.
"Kehidupan mereka betul-betul selaras dengan alam. Ada satu regulasi yang mengatur seluruh sendi masyarakat adat kajang yaitu 'Pasang ri Kajang'. Inilah dijadikan patron, pegangan hidup masyarakat adat agar keberlangsungan hidup sesuai kaidah, kebiasaan yang tidak putus dari leluhur," paparnya.
Hutan bagi masyarakat adat adalah ibu pertiwi. Ammatoa berpesan, begitu pula Pasang ri Kajang, 'injo raua kajua anggonta bosia' artinya 'hutan adalah pemanggil hujan'. Jadi, secara filosofi masyarakat adat sangat bergantung dengan hutan.
Ada sejumlah larangan di hutan adat. Pertama, tidak boleh menebang pohon sembarangan. Kedua, tidak boleh mengambil madu atau merusak sarang madu. Tujuannya, hutan itu terjaga dan terus bertumbuh oleh adanya penyerbukan serbuk sari dilakukan para lebah.
Ketiga, dilarang mengganggu tumbuhan rotan di hutan adat, karena salah satu tanda hutan masih lestari adalah banyaknya tumbuhan rotan seperti di hutan adat kajang ini. Keempat, tidak dibolehkan mencemari sungai di hutan adat, untuk memastikan ekosistem dalam hutan terjaga.
Atas keteguhan mereka dalam menjaga hutan inilah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI memberikan penghargaan Kampung Iklim 2024 Kategori Utama kepada Pemerintah Desa Tana Towa Bulukumba, sebagai penjaga hutan terbaik di dunia.
Mengenal suku Kajang, sang penjaga alam
Melihat ritual Andingingi, cara suku Kajang mendinginkan bumi
Andingingi ritual mendinginkan bumi
Cahaya matahari pagi menerobos di sela awan putih mengiringi aktifitas warga yang mulai menggeliat.
Di pasar tradisional Kajappoa yang terletak di wilayah Kajang Luar, beberapa lelaki berpakaian hitam mengenakan celana pendek, dengan sarung biru pekat melingkar di tubuh serta penutup kepala atau Passapu khas masyarakat kawasan adat, terlihat menenteng parang.
Mereka tengah menunggu tumpangan untuk bergotong royong mendirikan balla-balla persiapan ritual ruwat bumi Andingingi di dalam hutan.
Lokasi pelaksanaan andingingi tahun ini disepakati berada di hutan wilayah Dusun Jannaya, masih teritorial Desa Tanah Towa. Ritual kali ini digabung dengan agenda Festival Pinisi, program Pemerintah Kabupaten Bulukumba.
Jarak dari kantor desa ke tempat itu sekitar satu kilometer. Kepala Desa Tanah Towa Zulkarnain turut mengkomandoi pendirian balla-balla atau rumah-rumah kecil setinggi pinggang orang dewasa dengan panjang sekira 10 meter dan lebar 3 meter.
Balla-balla tersebut tanpa sekat sengaja dibuat kecil sederhana, supaya para pemangku adat maupun tetamu yang hadir memiliki posisi sama, duduk bersila. Maknanya adalah sebagai bentuk kerendahan dan kesederhanaan.
Atap untuk balla-balla itu terbuat dari alang-alang dengan tiang kayu sudah dibentuk sebagai penyangga kemudian ditancapkan ke tanah agar kokoh.
Menjelang petang, ada orang datang membawa air keramat dari sumur tua Buhung Bontopao dan Buhung Tombolo. Air tersebut selanjutnya diterima lalu didiamkan dalam wadah. Ritual adat ini disebut appalenteng ere sebagai persiapan awal andingingi.
Sekitar pukul 20.00 Wita, ritual mulai dilaksanakan dalam hutan. Pemangku adat didampingi Galla Lombo (kepala desa) beserta perempuan masyarakat adat sudah bersiap dengan duduk bersila mengenakan pakaian hitam. Suasana tempat yang diterangi cahaya lilin itu mulai terasa sakral diiringi suara jangkrik saling adu bunyi berisik.
Pemuka adat kemudian merapalkan doa-doa di hadapan air dalam dua wadah itu untuk keselamatan dan keberkahan. Prosesi berlangsung sekitar satu jam, selanjutnya wadah ditutup menggunakan kain putih juga daun untuk didiamkan semalam agar bisa digunakan pada ritual Andingingi keesokan harinya.
Tak lama setelah prosesi tersebut berakhir, hujan turun meski tidak berlangsung lama.
"Biasanya setelah ritual ini, pasti hujan. Air di wadah itu tidak boleh ditinggalkan apalagi diganggu. Harus ada yang menjaga sampai Andingingi dimulai. Ritual Andingingi ini tujuannya ikut mendinginkan bumi serta memperoleh keberkahan," ucap Kepala Desa Tanah Towa selaku Galla Lombo Zulkarnain.
Prosesi ritual andingingi
Keesokan paginya, prosesi ritual andingingi pun dimulai. Seluruh orang yang hadir mengenakan pakaian serba hitam.
Para tamu, termasuk Bupati Bulukumba Andi Muchtar Ali Yusuf, disuguhi tuak yang mereka sebut minuman keberkahan, diambil dari pohon aren atau inru dalam hutan adat. Minuman khas ini memang selalu disiapkan dalam setiap ritual maupun pesta adat.
Prosesi andingingi dimulai dengan ritual palenteng ere, setelah sebelumnya meminta izin kepada Ammatoa untuk pelaksanaannya.
Di ritual ini, dua orang mengitari balla-balla sambil memercikkan air yang sudah disiapkan menggunakan tangkai buah pinang yang diikat bersama dedaunan dinamai raung kayu patang pulo (40 macam kayu yang ada di kawasan hutan adat) ke delapan penjuru mata angin, kemudian memercikkannya ke semua orang yang hadir.
Air suci itu dipercaya akan membawa keberkahan bagi semua yang terkena percikannya. Selain itu percikan air itu dipercaya akan “mendinginkan” alam semesta sehingga tidak terjadi bencana.
Setelah pabbe'bese selesai, dilanjutkan dengan Bacca' atau penandaan sejenis bedak cair terbuat dari tepung beras dicampur kunyit yang ditempelkan kepada orang yang hadir di leher maupun jidatnya. Itu merupakan disimbolkan dua nilai utama, yakni pikiran jernih serta jujur dalam berkata-kata dan berbicara selalu berkata benar.
Setelah prosesi Bacca, dilanjut prosesi Allabian Dedde atau pemberkatan sesajen yang sudah disiapkan terdiri dari 12 jenis, termasuk telur, beras putih, beras hitam, beras merah, daun sirih, dan aneka makanan seperti ketan dan pisang ditaruh dalam wadah konre-konre atau anyaman daun kelapa.
Sesajen yang sudah didoakan itu, ditaruh pada tempat sudah disediakan di depan pohon besar hutan setempat, sebagai penggambaran hubungan erat antara manusia dengan alam, dan bukan menyembah pohon.
"Ritual andingingi itu harapannya adalah bagaimana alam semesta ini tetap dingin-dingin, masyarakat hidup tentram, aman dan damai, pendapatannya direstui oleh Yang Maha Kuasa itu tujuan utama. Kedua, bagaimana tahun ke depan sama dengan tahun sebelumnya, aman, damai" kata Pemuka Masyarakat Adat Kajang Kahar Muslim.
Tujuan lainnya adalah bagaimana menjaga, menghargai apa saja yang ada di hutan termasuk tumbuhan dan mahkluk hidup di dalamnya, menjaga habitatnya supaya tidak terganggu.
Penggunaan bahan-bahan dalam ritual ini pun juga memiliki arti tersendiri. Beras hitam dimaknai sebagai simbol untuk tidak terpengaruh budaya dari luar.
Sedangkan beras ketan putih diartikan bahwa hati manusia harus tetap jernih, putih. Tidak boleh berburuk sangka terhadap orang lain serta senantiasa berbuat kebaikan dan adil. Beras ketan merah diartikan sebagai simbol untuk berjuang sampai titik darah penghabisan.
Sementara pisang yang diambil bukan sembarang pisang. Di sini dinamai 'loka kattin, pisang kamppiung' yang besar-besar khusus untuk acara adat dan dipercaya sebagai pisang yang pertama turun ke bumi.
Selanjutnya, ikan, udang dan kepiting, diambil khusus dari sungai di dalam kawasan adat. Tidak sembarang orang boleh menangkap ikan di kawasan hutan adat kecuali saat acara adat atas perintah Ammatoa.
Di akhir ritual dilanjutkan makan-makan yang dimaknai agar senantiasa diberikan kemakmuran tidak terjadi paceklik apalagi bencana kelaparan.
Proses andingingi biasanya dilaksanakan satu kali dalam setahun. Pelaksanaan secara besar sekali dalam 10 tahun. Bahkan pelaksanaan secara akbar hanya satu kali dalam kurun waktu 100 tahun.
"Tempatnya bisa dalam kawasan adat, bisa di pinggir kawasan, tergantung petunjuk pemangku adat, Ammatoa," kata Puang Kahar.
Selain itu, biasanya sebelum pelaksanaan andingingi, malam harinya terjadi hujan seusai prosesi palenteng are. Terbukti, sejak dini hari tadi hujan turun sangat deras membasahi bumi. Ini menandakan adanya restu dari Tuhan Yang Maha Kuasa, ujarnya.
"Alam memang yang merespon, sudah lama di sini tidak hujan, baru tadi malam hujan deras sekali. Karena besoknya kita laksanakan andingingi."
Prinsip hidup tallasa kamase masea
Masyarakat adat Kajang masih memegang teguh prinsip hidup 'Tallasa Kamase masea'. Begitu pun 'Pasang ri Kajang' yang berisi pesan, nasihat, dan petunjuk tidak tertulis dijalankan secara turun termurun serta percaya kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dengan menyebutnya 'Tu Rie' A'rana.
Dosen Sejarah Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Dr Suriadi Mappangara menuturkan, Tallasa Kamase-mase' diartikan hidup dalam kesederhanaan. Tallasa berarti hidup dan Kamase-masea adalah sederhana. "Bukan berarti mereka miskin,” tegas dia.
Prinsip hidup sederhana, tidak sombong, dan selalu menjaga perkataan inilah yang dijaga masyarakat adat. Atas alasan kesederhanaan inilah, mereka menolak teknologi meskipun teknologi bisa membuat hidup mereka lebih mudah.
Prinsip Tallasa kamase masea merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari nasihat-nasihat yang masuk dalam Pasang ri Kajang.
Sebagai masyarakat adat yang dinobatkan dunia sebagai penjaga hutan terbaik dilakukan sejak turun temurun hingga kini, mengelola dan menjaga keseimbangan alam semesta antara hutan dan manusianya serta manusia dengan manusia, tentu tidak lepas dari prinsip Tallasa Kamase masea. Selain itu, ada hukum dan sanksi diterapkan bagi pelanggarnya.
Jika ada orang yang menebang pohon dalam kawasan hutan adat tanpa izin, maka ia akan mendapatkan sanksi berupa dendayang nilainya bervariasi.
Menebang pohon boleh dilakukan sesuai keperluan, misalnya untuk membangun rumah. Membawa dari hutan pun harus diangkat, tidak boleh diseret di tanah. Karena, menurut kepercayaan mereka, menyeret kayu melukai Ibu Pertiwi. “Begitulah mereka mempelakukan alam," ujarnya.
Penerapan sanksi yang sangat ketat menjadi jawaban kenapa masyarakat di Kajang sangat patuh dan taat aturan baik dalam menjaga hutan maupun adat istiadat dari generasi ke generasi saat ini.
"Sanksi yang berat. Itu yang menjadi kunci sebenarnya. Tidak ada tebang pilih, itulah membuat orang menjadi takut dan juga Pasang ri Kajang tadi, secara turun temurun disampaikan untuk ditaati," kata Suriadi.
Sekitar 90 persen masyarakat adat Kajang adalah petani. Mereka memiliki sawah dan kebun. Meski sangat menjunjung tinggi adat istiadat, bukan berarti mereka tidak menuntut ilmu. Karena dalam Pasang ri Kajang dikatakan masyarakat harus berpegang teguh kepada ilmu pengetahuan.
“Dulu memang di sini tidak banyak, tapi sekarang setiap rumah memiliki sarjana. Walau jadi sarjana, tetap patuh pada adat dan istiadat. Kalau tidak patuh maka tinggalnya di luar daerah Kajang. Ada yang mau menikah dengan orang dari luar Kajang silahkan, sepanjang menaati aturan," kata mantan Kepala Desa Tanah Towa Kahar Muslim.
Dalam Tallase Kamase masea juga disebutkan beberapa nilai seperti, A'mia'ko nu kamase mase' yang diartikan berbicara dalam keadaan sederhana atau berbicara sopan agar lawan bicara nyaman, tidak tersinggung. 'Acci dongko nu kamase mase diantikan duduk dalam keadaan sederhana, atau pemimpin dan masyarakat memiliki kedudukan sejajar.
Kemudian, A'ddakka ko na kamase mase diartikan berjalan dalam keadaan sederhana atau tidak mengenakan alas kaki karena mereka meyakini tanah adalah ibu pertiwi sehingga dipilih menyatu dengan alam dengan hubungan langsung.
Selanjutnya, 'Care-care na rie', diartikan memakai pakaian dalam keadaan sederhana. Karena suku adat Kajang hanya memiliki dua warna pakaian yaitu gelap (hitam-biru pekat) serta terang (putih) dilambangkan pergantian siang dan malam. Dan 'Ammetengko nu kamase mase', diartikan berdiri dalam keadaan sederhana.
Sedangkan untuk 'bola situju-tuju' diartikan membangun rumah sederhana, karena masyarakat adat Kajang membangun rumah menggunakan tidak kurang 16 tiang dan tidak lebih dari 20 tiang. Inilah yang menjadi dasar fundamental kekuatan kesederhanaan Masyarakat Adat Kajang Ammatoa.