Jakarta (ANTARA News) - Mengapa sebuah merek dapat eksis dalam jangka panjang sementara yang lain tidak? Bagaimana mereka dapat memiliki diferensiasi yang sulit ditiru pesaing? Demikian inti pertanyaan yang mungkin ingin dijawab dalam buku ini, dan penulis berhasil memaparkannya dengan baik.

Merek lebih dari sekedar produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan. Sebuah merek merefleksikan banyak hal termasuk jati diri perusahaan. Jati diri terbentuk dari keyakinan-keyakinan (beliefs) yang dimiliki secara internal oleh perusahaan.

Dengan demikian keyakinan tidak berasal dari mana-mana melainkan berasal dari diri perusahaan sendiri yang menurut penulis dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti:

1) Founding Person
Keyakinan merek diperoleh dari siapa yang pertama kali menciptakan dan mengembangkannya. Sebagai contoh, Mustika Ratu dan Gudang Garam, keduanya tidak akan pernah bisa dipisahkan dari sosok BRA Mooryati Soedibyo dan Tjong Ing Hwie sebagai Founding Person-nya. Nilai-nilai pribadi yang dimiliki keduanya sangat kuat diterima sebagai keyakinan bagi merek-merek tersebut hingga saat ini.

2) Sejarah merek
Sejarah munculnya merek akan banyak diwarnai oleh keyakinan-keyakinan yang ada di sekelilingnya. Nilai-nilai apa yang diserap (absorb) pada masa lalu dan terbukti dapat berfungsi dengan baik akan dianggap sebagai kebenaran. Sebagai contoh eksistensi Garuda Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Bahkan pesawat pertama yang dimilikinya adalah hasil sumbangan masyarakat Aceh di tengah perjuangan bangsa merebut kemerdekaan. Wajar saja jika keyakinan ini mewarnai Garuda hingga kini, lihat saja potongan lagu iklan “…kan kujaga demi nusa bangsa” yang dibuat secara spektakuler, jelas merefleksikan keyakinan sejarah tersebut.

3) Evolusi merek
Perjalanan panjang merek dalam mengarungi pasar dan persaingan juga merupakan sumber keyakinan. Nokia adalah contohnya. Setelah beberapa kali mereposisi bisnisnya, Nokia tumbuh menjadi merek dengan pola pikir yang terus berkembang (growth mindset). Hal ini dimungkinkan karena Nokia telah melalui proses panjang yang semakin mengukuhkan bahwa apa yang diyakini sebagai keyakinan selama ini telah membawanya seperti sekarang, bergerak fleksibel dalam merespon setiap perubahan. Demikian halnya dengan Intel atau perusahaan lokal seperti Sucofindo yang berupaya terus eksis dengan belajar dari berbagai perubahan dalam bisnisnya.

Jadi, keyakinan bukan diperoleh dari luar seperti dipraktikan oleh banyak perusahaan yang sering terjebak oleh pencarian berkepanjangan sumber-sumber keyakinan dari luar. Mereka bahkan rela meniru rahasia sukses perusahaan lain yang belum tentu sesuai dengan bisnis dan tantangan yang dihadapi.

Dengan demikian, membangun merek dengan keyakinan (belief) berarti menemukan keyakinan internal yang dianggap benar dan dijadikan sebagai kekuatan pendorong positif yang mampu merefleksikan nilai-nilai perusahaan di pasar.

Keyakinan, akan sangat menentukan cara berpikir dan berperilaku, merespon perubahan, menghadapi persaingan, membentuk loyalitas pelanggan dan membangun strategi. Semuanya sangat ditentukan oleh keyakinan.

Pertanyaannya, mengapa harus keyakinan internal? Karena hanya itulah satu-satunya yang paling dikenali dan dimengerti oleh perusahaan dan merupakan kekuatan yang tertanam (embedded) di diri perusahaan sejak awal. Sayangnya, keyakinan ini sering terabaikan karena sifatnya yang abstrak.

Kondisi inilah yang menjadi alasan mengapa sebuah keyakinan kadang kala hanya dipahami oleh para perintis perusahaan generasi awal, dan seiring berjalannya waktu sering kesulitan ditransfer ke generasi selanjutnya.

Padahal sebuah keyakinan mengandung hukum kekekalan yang dapat ditransformasikan melintasi batas-batas waktu. Ia dapat menjadi sumber kekuatan dan inspirasi dalam menjawab tantangan perubahan sehingga dapat membawa merek bertahan dalam jangka panjang, memiliki diferensiasi dan positioning yang sulit diimitasi sebab sumbernya berasal dari inti paling dalam perusahaan.

Oleh karena itu, menyadari pentingnya sebuah keyakinan, beberapa perusahaan mencoba menggali kembali keyakinan-keyakinan mereka yang telah ”terkubur” lama sebagai kekuatan dalam membangun merek menghadapi persaingan.

Di dalam buku ini penulisnya menyajikan beberapa contoh baik perusahaan lokal maupun global, seperti bagaimana Singapore Airlines (SQ) bisa eksis dengan diferensiasi yang kuat, Mustika Ratu yang terus berbenah dalam ”menularkan” keyakinan perintisnya, perjalanan Sucofindo dan Gudang Garam mencari inti terdalam keyakinan mereka, Intel yang terus berbenah dengan bertransformasi hingga Toyota yang berupaya menjaga keyakinan mereka dengan menurunkan kembali ”serdadu tua”-nya. Semuanya dapat memudahkan pembaca untuk memahami bagaimana seharusnya merek dibangun dan bertahan dalam jangka panjang.

Buku ini cukup menambah wawasan bagi pemerhati merek dan pemasaran. Melalui bahasa yang simpel, penulis berhasil menggabungkan dan merangkai kerumitan proses pembangunan merek dalam bahasa yang enak dibaca dan mudah dipahami. Selamat menikmati! (***)


Judul : Brand Belief; Strategi Membangun Merek Berbasis Keyakinan
Penulis
: Andi M. Sadat
Penerbit
: Salemba Empat (2009)
Tebal : xvi+186 halaman


*) Peresensi adalah pemerhati merek & pemasaran

Oleh Oleh Febriana Damayanti
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009