Jakarta (ANTARA News) - Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mengadakan seminar bertajuk "Politik dan Bisnis Media Baru" dalam rangka menyambut ulang tahunnya yang ke 16 di Hotel Nikko, Jakarta pada Rabu (4/8).

"Seminar ini adalah wujud kepedulian AJI terhadap perkembangan informasi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir," kata Nezar Patria, Ketua Umum AJI.

Dalam seminar tersebut, salah satu pembicara Cherian George seorang profesor dari Nanyang Technological University membahas tentang pentingnya peranan pemerintah dalam mengontrol Internet.

"Banyak perbedaan peraturan Internet di negara-negara Asia Tenggara tapi satu hal yang pasti Internet adalah media yang bebas, kita tidak bisa menutupnya karena ketika kita tutup akan lahir lagi situs yang lain," kata Cherian George.

Pemerintah China sukses dalam melakukan penyensoran Internet sejak 2007 dengan membangun tembok yang tinggi dan cukup efektif untuk menjaring dan mengalihkan informasi.

Pada tahun 90-an ketika jejaring Internet merambah global, Internet membawa efek yang bagus buat masyarakat dan pemerintah  tidak berani memberi jaminan mensensor Internet tapi 15 tahun kemudian iklim berubah.

"Pemerintah dapat mengontrol Internet dengan bekerjasama dengan pihak ketiga seperti mengajak penyedia innternet online untuk berpartisipasi mengontrol Internet," katanya.

Munculnya fatwa haram akhir-akhir ini, Internet tidak bisa dikatakan haram oleh karena ada sebagian yang menggunakannya untuk hal negatif karena Internet juga banyak memberikan hal positif.

"Haram atau halal tergantung bagaimana orang itu sendiri melakukannya," ujarnya.

Steve Christian, pendiri situs online hiburan, kapanlagi.com mengatakan minat masyarakat sekarang terhadap berita terletak pada news on demand yaitu berita bisa didapat sekarang juga dan dimanapun karena jika berita yang didapat esok maka nilai beritanya sudah tidak baru.

"Berita yang terdapat di media cetak ialah berita yang terjadi kemarin dan sudah ditambah opini," kata Steve ketika menjadi salah satu pemateri di seminar.

Pembahasan yang menarik dalam seminar tersebut dibawakan oleh Andy Zain, pendiri Mobile Monday Indonesia yang membawakan perkembangan mobile di Indonesia.

Sekitar 80 persen telepon genggan di Indonesia bisa mengakses Internet dan terdapat 210 juta orang di Indonesia memiliki ponsel.

"Berdasarkan survey, 210 juta orang di Indonesia memiliki HP, termasuk seorang memiliki HP dari satu," kata Andy.

Menurut penelitian, 80 persen ponsel yang terjual di Indonesia dibawah harga Rp. 1,5 juta dan didominasi oleh vendor China.

"Sebagian besar pengguna ponsel adalah kelas menengah ke bawah dan para vendor China di Indonesia merasa diuntungkan karena mereka tidak membutuhkan bandwith yang tinggi tapi bandwith yang cukup dan dapat diakses setiap saat. Pasar kita berbeda dengan di AS yang di dominasi oleh ponsel pintar kelas atas seperti iPhone tapi ponsel pintal kelas kebawah hanya untuk mendengar lagu dan membuka Facebook," ujarnya.

Berdasarkan Survey Opera, Indonesia berada di urutan teratas di dunia dalam mengakses Internet dengan 661 halaman Internet dalam sebulan dan sebagian besar dari ponsel.

Ketika ditanya ANTARA News mengapa orang Indonesia memiliki antusias tinggi memiliki ponsel, Andy menjelaskan PC berarti personal computer jika di Amerika Serikat setiap orang memiliki satu PC. Sedangkan di Indonesia PC bisa berarti FC (Family Computer) atau CC (Community Computer) karena dalam setiap rumah hanya memiliki sebuah PC yang diakses orang seisi rumah.

Oleh karena itu kenapa ponsel digemari, kita ingin memiliki ruang privasi yang lebih, kita ingin punya ruang sendiri untuk browsing dan lain. Sebagian besar Facebook di Indonesia diakses melalui ponsel.

Ia juga menyayangkan banyak perusahaan yang membuat portal web karena sebagian besar pengguna Internet di Indonesia melalui ponsel.

"Oleh karena itu berkembangan teknologi mobile di Indonesia berkembang pesat jika di Filipina baru booming SMS dan di India belum masuk 3G sedangkan Indonesia... kita harus bangga menjadi warga Indonesia," katanya.

(Adm/S026)

Pewarta: Adam Rizallulhaq
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010