Pekanbaru (ANTARA News) - Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mendukung kompensasi dari negara maju untuk melindungi lahan gambut yang tersisa untuk mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim.

"ASEAN mendorong adanya kompensasi bagi pelaksanaan manajemen lahan gambut seperti yang ada di Indonesia," kata Technical Officer Agriculture Industries and Natural Resources Devision ASEAN Secretary, Dian Sukmajaya, di Pekanbaru, Senin.

Untuk mendukung rumusan pembiayaan dalam manajemen lahan gambut, lanjutnya, Sekretarian ASEAN bersama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Pemprov Riau menggelar "Workshop on Options for Carbon Financing to Support Peatland Management" di Pekanbaru yang akan berlangsung mulai tanggal 4 hingga 6 Oktober 2010.

Acara tersebut turut dihadiri lebih dari 100 partisipan dari 15 negara termasuk di dalamnya wakil pemerintah, negara donor, sejumlah LSM lingkungan internasional, serta dunia usaha yang kerap dituding sebagai perusak hutan seperti APRIL dan APP.

Menurut Dian, Indonesia sebagai negara yang meiliki lahan gambut terbesar di dunia patut mendapatkan kompensasi atas penjagaan dan pengelolaan kawasan gambut. Ia menjelaskan, ASEAN telah membentuk "Peatland Forest Project" yang memberikan pilihan dalam kerjasama dengan negara maju, baik dalam bentuk kerjasama pemerintah ke pemerintah (G to G) ataupun dari swasta kepada pemerintah (Private to G).

Wakil Menteri Bidang Komunikasi, Pemberdayaan Masyarakat untuk Lingkungan KLH, Henry Bastaman, mengatakan acara tersebut diharapkan dapat mendorong negara donor untuk berperan serta dalam menunjang pendanaan pengelolaan lahan gambut secara berklanjutan. Salah satu upaya untuk menunjang keberhasilan itu adalah perlunya metoda penghitungan emisi gas rumah kaca di lahan gambut agar dapat terukur, terlaporkan dan terverifikasi.

"Disamping itu perlu adanya konsep pengelolaan ekosistem gambut berdasarkan pronsip kesatuan ekosistem," ujarnya.

Ia menjelaskan, Indonesia memiliki potensi luas lahan gambut mencapai 20,6 juta hektare dan berada pada urutan ke empat terbesar di dunia setelah Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat. Area lahan gambut itu tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Jawa.

Dosen dan peneliti lingkungan Universitas Riau Prof. Rifardi mengatakan Provinsi Riau harus mendapat keuntungan yang besar dalam bentuk kompensasi menjaga hutan gambut yang banyak berada di daerah itu. Ia juga berharap konsep penghitungan kompensasi REDD+ dapat segera ditentukan karena kerap kali pemerintah setempat dituging merusak kawasan gambut yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Sedangkan, pemerintah tidak banyak memiliki pilihan untuk tetap mengalihfungsikan lahan untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan.

"Tentunya kompensasi itu harus juga dirasakan masyarakat di sekitar hutan," katanya.
(T.F012/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010