Jakarta (ANTARA News) - Pada menit-menit terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan niat berkunjung ke Belanda.

Dia menganggap pembatalan kunjungan itu adalah upaya melindungi harga diri bangsa dari ancaman gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) di tubuh pengadilan negeri kincir angin itu.

Presiden sebelumnya dijadwalkan bertolak menuju Belanda pada Selasa (5/10) siang.

Awalnya, Kepala Negata dan rombongan dijadwalkan lepas landas dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada pukul 13.30 WIB, menggunakan pesawat Kepresidenan Garuda Indonesia Airbus 330-200.

Sebelum berangkat, Presiden dijadwalkan memberikan keterangan kepada wartawan.

Namun hingga saat yang ditentukan itu, Presiden belum memberikan pernyataan ataupun menaiki pesawat.

Sekitar pukul 14.00 WIB, suasana yang awalnya tenang mulai menjadi hiruk- pikuk. Sejumlah anggota Pasukan Pengamanan Presiden bergegas ke posisi tertentu.

Sementara itu, sejumlah petugas keamanan dari TNI dan Polri nampak sibuk mengatur dan memarkir sejumlah mobil yang biasa tergabung dalam iring-iringan kepresidenan.

Sejumlah mobil itu berada pada posisi meninggalkan Halim Perdanakusuma, lengkap dengan pengawalan ketat oleh sejumlah petugas keamanan.

Pada saat yang sama, barang-barang yang sudah dimasukkan ke pesawat mulai dikeluarkan kembali.

RMS
Adalah kelompok yang menamakan diri Republik Maluku Selatan (RMS) yang membuat Presiden Yudhoyono urung memenuhi undangan Kerajaan dan pemerintah Belanda.

Dalam pernyataan resmi tentang pembatalan kunjungan, Presiden Yudhoyono menegaskan, telah terjadi pergerakan dalam sistem pengadilan di Belanda.

"Ada semacam pergerakan di Den Haag yang didalamnya ada yang mengajukan tuntutan ke pengadilan di Den Haag untuk mempersoalkan masalah HAM di Indonesia, dan bahkan meminta kepada pengadilan untuk menangkap Presiden Indonesia pada saat berkunjung ke Belanda saat ini," kata Yudhoyono.

Presiden kemudian mengidentifikasi dalang gerakan itu secara spesifik, katanya "Yang menuntut ada warga negara Belanda, tapi juga ada organisasi, termasuk yang menamakan diri RMS."

Sebelumnya, sebuah kelompok di Belanda yang mengaku sebagai aktivis RMS meminta agar Presiden Yudhoyono ditangkap saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Negeri Belanda pada awal Oktober 2010.

Tuntutan penangkapan itu disampaikan melalui pengadilan oleh Presiden RMS, John Wattilete yang juga seorang advokat, seperti termuat dalam pernyataan di Teletext televisi publik NOS.

Wattilete juga menginginkan agar Presiden RI menjelaskan tempat pemakaman mantan Presiden RMS Soumokil.

Gerakan separatis RMS berhasil ditumpas oleh TNI pada 1952, dua tahun setelah RMS diproklamirkan oleh Dr. Christiaan Robert Steven Soumokil pada 25 April 1950.

Soumokil berhasil meloloskan diri dan meneruskan gerilya sampai akhirnya berhasil ditangkap pada 1962. Empat tahun kemudian, dia dieksekusi mati.

Meski demikian, gaung RMS masih terdengar. Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha mengatakan, gerakan RMS di Belanda telah memasuki tahap pengadilan.

Menurut dia, otoritas pengadilan Den Haag telah menyetujui untuk memroses tuntutan RMS melalui prosedur yang dipercepat. Dengan adanya proses yang dipercepat itu, maka sidang kasus tersebut akan digelar bersamaan dengan kedatangan Presiden Yudhoyono ke Belanda.

Harga diri
Presiden Yudhoyono keberatan dengan prosedur pengadilan tersebut. Yudhoyono menganggap, seorang tamu negara akan menggadaikan harga diri bangsa jika berkunjung ke suatu negara pada saat negara itu menggelar sidang tuntutan terhadap tamu negara tersebut.

"Bagi Indonesia, bagi saya, kalau sampai seperti itu, digelar pengadilan saat saya berkunjung ke sana, itu menyangkut harga diri kita sebagai bangsa, menyangkut kehormatan kita sebagai bangsa," kata Presiden.

Presiden juga menyatakan keberatan karena persidangan itu disetujui oleh otoriras pengadilan Belanda, negara yang berinisiatif mengundang Yudhoyono.

"Yang tidak bisa saya terima adalah ketika Presiden Republik Indonesia berkunjung ke Den Haag, ke Belanda, atas undangan Ratu Belanda dan juga Perdana Menteri Belanda, pada saat itulah digelar sebuah pengadilan yang antara lain untuk memutus tuntutan ditangkapnya Presiden Republik Indonesia," kata Yudhoyono menagaskan.

Presiden menjelaskan, permasalahan itu adalah permasalahan politik. Presiden menganggap jika kunjungan tetap dilakukan, hal itu akan menimbulkan salah presepsi dan menimbulkan situasi psikologis yang tidak baik.

"Saya tidak ingin hubungan baik dengan negara mana pun, termasuk Belanda yang dalam perkembangannya justru makin meningkat kerjasamanya, diganggu dengan situasi psikologis seperti ini," kata Presiden.

Yudhoyono menagaskan, pembatalan kunjungan kenegaraan ke Belanda bukan karena ketakutannya terhadap tuntutan dan ancaman RMS.

Menurut dia, ancaman terhadap seorang presiden adalah hal wajar. "Ada ancaman keamanan misalnya, itu biasa. Tidak boleh surut kalau ancaman atau persoalannya seperti itu," katanya.

Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, juga menekankan, pembatalan itu adalah upaya untuk menjaga harga diri bangsa.

"Dampak politis dari pemberitaan di mana kemudian itu diputuskan dari lembaga pengadilan di sana, itu akan membuat suatu situasi yang tidak menguntungkan dan tidak baik juga untuk harga diri dan kehormatan kita," katanya menjelaskan.

Kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda rencananya akan diisi dengan sejumlah agenda.

Dalam kunjungan itu, Presiden Yudhoyono dijadwalkan menerima Tanda Kehormatan `Order of the Dutch Lion` dari Ratu Beatrix. Presiden juga akan melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, yang dilanjutkan dengan Pertemuan Bilateral Indonesia-Belanda.

Selain itu, Yudhoyono dan PM Belanda akan menyaksikan penandatanganan dokumen Deklarasi Bersama mengenai Kemitraan Komprehensif RI-Belanda.

Berikutnya, Presiden akan meninjau pusat pengendalian air terkemuka di Belanda dan menghadiri "Roundtable Meeting" dengan para petinggi perusahaan besar Belanda.

Agenda Presiden selanjutnya adalah berpidato di Universitas Leiden yang akan dihadiri oleh para akademisi terkemuka Universitas Leiden, pejabat tinggi pemerintahan dan tokoh masyarakat Belanda.

Presiden juga dijadwalkan mengunjungi Universitas Wageningen untuk menyaksikan presentasi mengenai "Green Gold: Capitalizing on the Increasing Demand for Biomass" dan "Scientific Cooperation between Indonesia and the Netherlands."

Bahkan, Presiden juga dijadwalkan menerima kunjungan para pemain sepak bola Belanda keturunan Indonesia dan perwakilan komunitas Indonesia di Belanda.

Dan, semua agenda itu pun terpaksa dibatalkan, demi harga diri bangsa ini.
(F008/H-KWR)

Oleh F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010