Jakarta (ANTARA News) - Mengenali konsumen melalui etnografi merupakan cara terbaik mengembangkan atau menjual suatu produk. Metode ini dapat memotret keinginan konsumen lebih tepat karena mendekati konsumen dalam keaslian mereka sehari-hari.

"Dengan mengenal lebih dalam apa yang dilakukan dan dirasakan konsumen, kemudian semuanya dicatat untuk menjadi bahan dalam menentukan penjualan atau pengembangan produk, itu akan lebih efektif," kata pakar etnografi Amalia E. Maulana saat peluncuran buku "Consumer Insights via Ethnography" di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIK), London School and Public Relations, di Jakarta, Selasa.

Hadir dalam peluncuran buku tersebut, Dirut Perum ANTARA Ahmad Mukhlis Yusuf yang sekaligus menjadi reviewer peluncuran buku tersebut, Ketua STIK London School and Public Relations Prita Kemal Gani, Presiden Public Relations Forum, Victor Siburian, dan sejumlah undangan lainnya.

Buku setebal 185 halaman tersebut dicetak eksklusif dengan mengemukakan metode riset ethnography marketing. Menurut Amalia, ethnography sebagai salah satu metode riset sudah lama diterapkan di negara-negara maju dalam riset pemasaran sehingga membantu mengungkap fenomena yang sulit terungkap dengan metode riset biasa.

Menurut dia, etnografi merupakan gabungan beberapa teknik riset yang dikembangkan dari ilmu antropologi budaya. Melalui cara ini akan lebih akurat dan mengenal sasaran (konsumen) dibanding metode riset lainnya seperti survei atau wawancara.

Metode ini juga memiliki keunggulan dibanding mengetahui konsumen dengan Focus Group Discussion (FGD). Alasannya, pertanyaan yang diajukan pada FGD akan cenderung dijawab dengan jawaban apa yang sepantasnya, bukan kenyataan yang sesungguhnya.

Sebagai gambaran, jika menanyakan apa menu sarapan pagi pada ibu rumah tangga, maka cenderung dijawab menu makanan yang lazim berpola pada menu empat sehat lima sempurna. Padahal, belum tentu sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.

Namun dengan etnografi, lanjutnya, konsumen akan diketahui lebih mendalam kebiasaan, kondisi dan apa yang digunakan, karena penelitinya melihat langsung kehidupan sehari-hari konsumen yang diteliti.

Menurut dia, potret konsumen lainnya pada masa kini adalah konsumen maunya ikut bicara, ikut menentukan. Tidak hanya menjadi objek tetapi juga subjek. Ciri lainnya, kalau konsumennya puas dia diam, tetapi kalau tidak puas suaranya sampai dimana-mana.

"Masih bagus blackbery seri satu, konsumen maunya ganti lagi blackbery seri dua. Ini ciri konsumen kita sekarang cepat sekali berganti model," kata Amalia.

Untuk menjawab hal itu, kata doktor alumni University of New South Wales, Australia tahun 2006 ini, maka perusahaan masa kini seharusnya mengenal dengan baik karakter dan keinginan konsumennya.

"Perusahaan seharusnya memberikan tempat untuk konsumen ikut bicara melalui berbagai forum. Perusahaan harus proaktif, responsif, dan cepat tanggap," katanya.

Sebaliknya, kata Amalia, perusahaan akan bermasalah apabila jawaban dari setiap masalah konsumen membuat peraturan perusahaan yang tidak memperbolehkan konsumen bicara. Selain itu, perusahaan hanya percaya pada data yang bersifat kuantitatif dan mengabaikan insights konsumen secara kualitatif.

Sementara itu Ahmad Mukhlis Yusuf yang tampil sebagai reviewer pada peluncuran buku tersebut menilai, kajian yang dikemukakan Amalia dalam buku tersebut merupakan kombinasi antara diri Amalia sebagai seorang praktisi bisnis dan akademisi. "Ide-ide ibu Amalia menjadi hidup," katanya.

"Marketing sudah banyak perubahan, riset market juga terus berkembang. Esensi ethnography bagi saya adalah mengungkap yang tidak pernah terungkap," kata Mukhlis.
(*)

Oleh Luki Satrio
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009