"Saya menyesal karena saat itu membuat umat Islam terluka," kata Arswendo dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama No 1/PNPS/1965 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Rabu.
Arswendo mengemukakan hal itu ketika ditanya apakah terdapat rasa penyesalan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan yang hadir dalam persidangan tersebut sebagai pihak terkait.
Sedangkan Arswendo dihadirkan oleh pihak pemohon uji materi sebagai salah seorang korban yang pernah dijerat hukum karena terkait dengan pasal-pasal tentang penodaan agama.
Perbuatan yang dinilai melukai umat Islam adalah saat tabloid Monitor pada 15 Oktober 1990 mengumumkan hasil survey mengenai siapa tokoh yang paling diidolakan oleh masyarakat Indonesia.
Arswendo mengakui, metodologi yang dipakainya kurang kuat karena hanya mengandalkan kepada kartu pos dari para pembaca Monitor sehingga setiap warga dapat mengirimkan pendapat mereka masing-masing.
"Bahkan ada pembaca yang menulis istrinya sendiri sebagai tokoh yang diidolakannya," katanya.
Monitor saat itu, ujar dia, menerima hingga sebanyak 33.963 kartu pos dan terdapat sejumlah 667 nama yang diajukan para pembaca.
Hasil dari survey itu adalah menempatkan antara lain Presiden kala itu, Soeharto, di urutan pertama, sedangkan Nabi Muhammad berada di urutan kesebelas.
Hasil tersebut memicu kontroversi dan sejumlah aksi sehingga Arswendo dijerat dengan pasal-pasal KUHP terkait penodaan agama dan divonis dengan hukuman lima tahun penjara.
Sedangkan pada saat banding di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, Arswendo akhirnya dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara.
Ia menegaskan, sama sekali tidak ada niat untuk menodai atau menistakan agama tertentu terkait dengan survey tersebut.
Arswendo pada saat itu bahkan telah meminta maaf baik melalui media cetak dan media elektronik dan Monitor juga telah menuliskan permintaan maaf yang memenuhi halaman pertama dari tabloid tersebut.(M040/A024)
Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010
SANG NOVELIS ARSWENDO ITU ADALAH JUGA SEJARAWAN
Kehadiran dua orang budayawan, Arswendo Atmowiloto dan Slamet Rahardjo Djarot di berbagai pertemuan atau seminar-seminar sudah tentu menarik perhatian peserta. Demikian pula ketika berlangsung acara Seminar Nasional “Makna Kemerdekaan: Dulu, Kini, dan yang Akan Datang,” yang diselenggarakan Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Museum Nasional Jakarta, Selasa, 3 Desember 2013.
Sebagai seorang moderator di sesi-kedua, sudah tentu saya sangat menghargai kehadiran dua budayawan tersebut. Minimal bisa mencerahkan pemikiran-pemikiran mengenai makna kemerdekaan itu sendiri terutama mengenai hasil-hasil karya mereka yang kalau boleh saya katakan melampaui batas-batas kemampuan rata-rata putera bangsa.
“Inilah sebetulnya makna kemerdekaan buat anak bangsa, karena mereka tidak berteori tapi berkarya,” ujar saya mengawali pembicaraan sebagai moderator. Juga sebagaimana diharapkan para pembicara di-sesi pertama, bahwa hendaknya untuk memaknai sebuah kemerdekaan kita harus jujur, dan konsekuen, maka dengan profesi kedua nara sumber ini membuktikan hal itu.
Sebagai pembicara pertama, Arswendo Atmowiloto megulas makalahnya dengan judul:”Nasionalisme Nasi Goreng.” Sekilas terasa aneh didengar, tetapi setelah diulas barulah kita bisa memahami bahwa Nasi Goreng itu menunjukan ciri khas masakan asli Indonesia. Arswendo ingin menggarisbawahi bahwa jati diri kita sebagai bangsa sudah pudar.
“Sayangnya nasi goreng tidak dikenali dalam bahasa komputer, sehingga setiap kali menuliskan goreng, otomatis berganti dengan goring. Seakan kata nasi goreng adalah salah dan perlu dikoreksi. Tetapi meskipun demikian, lanjut Arswendo, nasib nasi goreng tidak seburuk durian, terasi, kretek atau jamu kuat.
“Di negerinya sendiri durian tak leluasa disajikan di hotel, atau bahkan dalam kamar, atau sebagai tentengan ketika naik pesawat terbang. Terasi dianggap kotor, diganti bumbu masak plastikan.Kretek, juga rokok dianggap jelek, jorok dan berbahaya, sementara jamu kuat dianggap illegal,” ujar Arswendo.
Memakai bahasa sehari-hari yang mudah dicerna dan dipahami, Arswendo ingin mengungkapkan, kenapa bangsa ini tidak mencintai produksi dalam negeri? Inilah tragedi nasionalisme, tegas Arswendo.
“Bagaimana bisa hanya untuk menentukan kecantikan seorang gadis, harus diukur dan dibandingkan antara lingkar dada, pinggang dan pantat,” kembali Arswendo mengingatkan, seharusnya untuk menentukan seorang gadis cantik bukan dari ukuran itu.
Jadi Arswendo ingin menegaskan, ketergantungan kita kepada budaya asing dalam menilai sesuatu, sementara budaya asli bangsa ditinggalkan. Sebetulnya dari pemikiran Arswendo, dengan mencontohkan Nasionalisme Nasi Goreng, sudah tepat bahwa bangsa ini mencintai budayanya sendiri.
“Wujud budaya tidak lahir untuk meniadakan wujud yang lain, juga tidak memusuhi. Nasi goreng lahir tidak untuk meniadakan atau memusuhi nasi liwet, nasi uduk, atau rendang atau gudeg, atau apa pun. Kita boleh menikmati nasi goreng tanpa merasa bersalah, atau disalahkan,” jelas Arswendo menyimpulkan.
Kehadiran Arswendo memacu generasi muda, atau guru-guru sejarah, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi,yang hadir di acara seminar itu agar lebih berkreatifitas untuk memaknai kemerdekaan. Arswendo tidak berteori, tetapi dia adalah novelis produktif. Arswendo itu nama aslinya Sarwendo, tetapi karena tidak populer diubahnya dengan Arswendo dan di belakang namanya ditambah nama ayah, Atmowiloto, sehingga terwujudlah namanya sebagaimana sekarang Arswendo Atmowiloto. Lahir di Surakarta, 26 November 1948.
Berbicara mengenai karya, mungkin sudah tidak bisa dihitung, baik berupa tulisan bersambung dan novel. Menurut saya kalau kita tinjau dari novel-novel yang ditulisnya, Arswendo boleh dianggap sebagai sejarawan. Novelnya yang lahir berisi jiwa-jiwa kepahlawan atau sejarah di antaranya, “Serangan Fajar,” “Air Langga,” Senopati Pamungkas,”dan “Penghianatan G.30.S/PKI.”
"Sebagaimana ungkap Dr.Kuntowijoyo, Sejarawan UGM, sebuah biografi adalah sejarah, maka saya juga boleh mengatakan bahwa Arswendo layak juga diakui sebagai sejarawan. Apalagi beliau selalu menulis, karena bagaimana pun kunci dari sejarawan itu menulis. Jika tidak menulis lagi, maka kesejarawanannya diragukan,” ujar saya sebagai moderator di awal pembukaan seminar.