Jakarta (ANTARA News) - Sekjen Kementerian Kehutanan Boen Purnama menegaskan Kemenhut sampai kini tidak menerima dana pinjaman dari manapun untuk pengelolaan hutan.

"Kalaupun ada dana untuk pengelolaan hutan, apalagi terkait dengan perubahan iklim, semua dalam skema `grant` atau hibah," katanya di Jakarta, Rabu.

Menurut data Kemenhut per 2010, hibah yang diterima dari Australia yang di kemas dalam skema "Australia forest carbon partnership" sebesar 70 juta dolar Australia, Jerman dalam pilot project REDD sebanyak 32,4 juta euro, Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk program UN-REDD 5,6 juta dolar AS, kemudian Jepang (ITTO) sebesar 60,150 dolar AS.

Selain itu juga hibah dari Korea (KIPCCF) sebesar 5 juta dolar AS, kemudian bantuan dari JICA (Jepang) 720 ribu dolar AS, Bank Dunia sebesar 3,6 juta dolar AS, Australia lewat LSM untuk program ACIAR 1,4 juta dolar AS dan ICRAF sebesar 1,123 juta euro.

"Kalau dilihat porsinya, hibah dari negara donor untuk pengelolaan hutan tidak sampai lima persen dari total alokasi APBN untuk kehutanan sebesar Rp 3 triliunan. Semua kegiatan kehutanan dibiayai APBN yang merupakan pemasukan dari dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan," kata Boen.

Ia menambahkan kebijakan untuk tidak menerima pinjaman dalam pengelolaan hutan sebenarnya merupakan komitmen Indonesia dengan negara-negara berkembang yang satu dasawarsa terakhir bekerja keras menjaga hutannya, sebelum kewajiban mengurangi emisi oleh negara-negara maju menjadi komitmen internasional.

"RI dan negara-negara berkembang menilai kehutanan sudah memberikan keuntungan yang sangat besar bagi masyarakat dunia dan sektor lainnya dalam rangka pembangunan di negara masing-masing. Dalam forum G-77 atau Forest Eleven, semua sepakat kini saatnya negara maju membayar perbaikan lingkungan yang dikerjakan negara berkembang bukannya sebaliknya," katanya.

Karena itu, kata Boen, dana yang masuk untuk pengelolaan hutan harus dalam bentuk hibah.

Terkait dengan hibah 1 miliar euro untuk dua tahun mulai 2011 sesuai LoI dengan Norwegia, Boen menegaskan, minimal 60 persennya di salurkan untuk pembangunan dan pengelolaan hutan. "Kalau melihat isi LoI, semestinya 100 persen dari 1 miliar dolar AS itu bisa di manfaatkan oleh kehutanan."

Sebelumnya, sejumlah LSM menilai isu perubahan iklim digunakan pemerintah sebagai alasan untuk menambah utang baru, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan hati-hati menerima bantuan berupa pinjaman (loan) untuk mengatasi masalah terkait perubahan iklim.

Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan, mengatakan pernyataan Presiden bertolak belakang dengan realitas kebijakan pembiayaan iklim yang ditempuh pemerintah selama ini.

Hal itu bisa dilihat dari alokasi utang 1,1 miliar dolar AS atau Rp1,1 triliun untuk menuup defisit APBN, katanya. "Tahun 2008-2009, utang pemerintah terkait perubahan iklim mencapai 1,1 miliar dolar AS yang merupakan bantuan dari Jepang, Perancis untuk program Climate Change Program Loan," kata Dani dalam jumpa pers bersama dengan Walhi, Serikat Petani Indonesia, KIARA, KRUHa dan IESR.

Bahkan, menurut Koalisi Anti Utang (KAU), dana pinjaman sebesar Rp1,1 triliun yang dimaksudkan untuk mengatasi perubahan iklim justru digunakan untuk menambal defisit APBN 2009.

Jumlah tersebut, katanya, belum termasuk komitmen "Climate Investment Fund" (CIF) yang dikelola Bank Dunia sebesar 480 juta dolar AS.

Dalam dokumen APBN 2010, menurut data koalisi ini, pemerintah juga mengajukan utang baru yang masih terkait perubahan iklim sebesar 800 juta dolar AS dengan rincian dari Jepang dan Perancis masing-masing 300 juta dolar AS, dan Bank Dunia 200 juta dolar AS.

Persoalannya, menurut Dani, persyaratan perubahan berbagai kebijakan yang terkait adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim serta pembangunan yang rendah karbon, jika dilihat dari sektor kehutanan lebih menguntungkan negara maju dibandingkan negara berkembang.

"Apalagi jika penetapan regulasi tentang pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) dijadikan sebagai salah satu syarat pengucuran utang, selain kompensasi penggunaan energi dan perdagangan karbon."

Dani juga mengatakan persentase utang dalam rangka perubahan iklim jauh lebih besar ketimbang hibah, yakni 68 persen dan 32 persen.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Berry Nahdian Furqon mengatakan bantuan negara dan lembaga donor dalam kerangka mengatasi perubahan iklim tak pernah diberikan kepada departemen teknis, semisal Kementerian Kehutanan atau Kementerian Lingkungan Hidup. (*)
(T.A027/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010