Sebab yang terjadi selama ini, para pelaku kekerasan atas nama agama pada umumnya tidak mendapatkan hukuman yang setimpal
Jakarta (ANTARA News) - Ratusan orang menyerbu sebuah rumah di Desa Cibede, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Hari itu, Minggu (6/2) menjelang siang, massa hendak menghentikan kegiatan ajaran Ahmadiyah yang diduga dilakukan oleh beberapa orang yang berada di dalam rumah tersebut.

Upaya itu berujung pada kekerasan. Ratusan warga menyerang. Sedangkan para penganut Ahmadiyah--menurut pengakuan warga--memprovokasi dan melakukan perlawanan.

Pertumpahan darah tak terhindarkan. Akibatnya, tiga orang tewas akibat bacokan benda tajam dan beberapa orang lainnya terluka parah.

Sesaat setelah bentrok, pejabat pemerintah, aktivis, dan pemerhati masalah HAM menyampaikan simpati dan duka cita. Seperti biasa pula, mereka seperti berlomba menganalisis akar masalah tersebut dan--tentu saja--mencari kambing hitam yang patut disalahkan.

Pemerintah, di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamananan, segera menyikapi kejadian tersebut. Sejumlah petinggi institusi pemerintah yang membidangi hukum dan keamanan berkumpul dan akhirnya mengeluarkan sejumlah instruksi untuk menenangkan suasana.

Salah satu topik yang mengemuka dalam forum itu adalah wacana mengevaluasi Keputusan Bersama menteri agama, jaksa agung, dan menteri dalam negeri atau yang sering disebut Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri.

Menko Polhukam, Djoko Suyanto mengatakan, pemerintah akan meninjau kembali SKB yang mengatur Ahmadiyah tersebut, sehingga kekerasan seperti di Cikeusik tidak terjadi lagi.

"Evaluasi dilakukan secara mendasar dan mendalam," kata Djoko Minggu (6/2) malam.

Djoko menjelaskan, evaluasi perlu dilakukan agar keyakinan, kepercayaan seseorang atau sekelompok orang, tidak bertentangan dengan aturan perundangan yang ada.

Djoko menegaskan, "intinya bagaimana keyakinan seseorang itu dapat diakomodir tanpa bertentangan dengan undang-undang yang ada, sehingga tidak mengganggu keamanan, ketertiban dan kehidupan sosial lainnya,".

Djoko tak main-main. Menurut dia, evaluasi SKB adalah perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Keputusan Bersama Menteri Agama, Kejaksaan Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Ahmadiyah disahkan pada 9 Juni 2008. Secara utuh--seperti dimuat dalam laman Kementerian Dalam Negeri--keputusan itu berisi tentang "Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat".

Keputusan bersama itu berisi tujuh peringatan dan perintah kepada penganut Ahmadiyah dan masyarakat.

Pertama, keputusan bersama itu memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Kedua, keputusan itu juga memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

Diktum ketiga keputusan itu secara jelas mencantumkan ancaman hukuman bagi para penganut Ahmadiyah. Diktum ketiga itu berbunyi "Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum kedua dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya".

Dalam diktum kelima, keputusan bersama tiga menteri itu memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Warga masyarakat yang melanggar juga terancam dihukum. Hal itu termaktub dalam diktum kelima yang selengkapnya berbunyi "Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum keempat dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Dalam diktum keenam, tiga menteri memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama tersebut.

Keputusan Bersama itu berlaku sejak tanggal ditetapkan, seperti dinyatakan dalam diktum ketujuh.

Tidak efektif

Keputusan bersama itu memang telah secara eksplisit menyatakan ancaman hukuman bagi penganut Ahmadiyah dan masyarakat yang tidak taat. Namun, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Indriaswati D. Saptaningrum, keputusan bersama itu belum efektif.

"Selama ini tebukti, SKB tidak mampu mencegah terjadinya aksi kekerasan," kata Indriaswati dalam pernyataan resmi ELSAM.

Indriaswati menyatakan, SKB itu semakin terbukti tidak berfungsi sebagai mana mestinya karena tetap saja terjadi bentrok yang mengatasnamakan agama--salah satu hak dasar manusia.

Berdasarkan catatan ELSAM, bentrok di Cikeusik pada awal 2011 itu adalah kelanjutan dari peristiwa sebelumnya.

Selama 2010, menurut catatan ELSAM, telah terjadi empat bentrokan yang melibatkan penganut Ahmadiyah dan masyarakat. Keempat kasus itu terjadi di Kuningan (Jawa Barat), Bogor (Jawa Barat), Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), dan Kebayoran Lama (Jakarta Selatan).

SKB tiga menteri memang mencantumkan ancaman hukuman bagi penganut Ahmadiyah dan masyarakat. Namun, kata Indriaswati, tidak ada ketentuan yang bisa mengoptimalkan peran aparat penegak hukum dalam menindak pelaku kerusuhan, baik itu penganut Ahmadiyah maupun masyarakat pada umumnya.

Lembaga tersebut berpendapat, kekerasan yang terkait dengan agama atau kepercayaan apapun adalah bentuk pelanggaran HAM yang serius.

"Sebab yang terjadi selama ini, para pelaku kekerasan atas nama agama pada umumnya tidak mendapatkan hukuman yang setimpal," kata Indriaswati.

ELSAM secara resmi meminta pemerintah secara khusus mendorong aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dan sigap. Aparat diminta menindak siapapun yang terbukti melakukan kekerasan atau menghasut untuk melakukan kekerasan dalam kejadian tersebut.

Menurut Indriaswati, aparat tidak bertindak maksimal setiap kali terjadi tindak kekersasan atas dasar agama atau kepercayaan. Hal itu bisa menimbulkan kesan negatif terhadap aparat penegak hukum.

"Kesannya polisi melegitimasi tindakan kekerasan dan pengrusakan, pengancaman, serta penganiayaan," katanya.
(*)



Oleh F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011