Jakarta (ANTARA News) - Pergolakan di Libya, yang berawal dari benturan warga dan pasukan keamanan pemerintah yang belakangan memicu campur tangan militer oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya untuk mengubah aksi keras pemerintah, telah merajai berita dalam sepekan belakangan.

Tapi, di seberang laut ada kerusuhan baru di satu lagi negara Timur Tengah, kemelut yang bisa jadi memiliki dampak lebih strategis bagi AS.

Yang jadi pertanyaan ialah apakah Presiden Suriah, Bashar Al-Assad, juga akan tersingkir dari jabatan seperti yang dialami kepala negara Tunisia dan Mesir? Pemimpin di kedua negara Arab tersebut terjungkir pada Januari dan Februari oleh protes massa.

Menurut laporan media internasional, protes oleh rakyat terhadap pemerintah juga berlangsung sejak pekan lalu di Suriah. Pengunjuk rasa di kota Dara`a, bagian selatan negeri tersebut diberitakan menewaskan personel pasukan keamanan Bashar Al-Assad. Jumlah korban jiwa tak bisa dikonfirmasi, tapi sebagian saksi mata --sebagaimana dilaporkan kantor berita trans-nasional-- telah mengatakan jumlah korban mencapai 100.

Jumlah korban jiwa tersebut justru memicu demonstrasi lebih besar anti-pemerintah di Dara`a, dan protes juga menyebar ke ibukota Suriah, Damaskus.

Sebanyak 15 anak yang berusia di bawah 14 tahun dilaporkan ditangkap di Dara`a saat mereka mencorat-coret tembok dengan tulisan yang menyerukan diakhirinya pemerintahan Bashar. Penangkapan itu memicu demonstrasi lain yang menuntut pembebasan anak-anak tersebut.

Apa sebenarnya yang melatar-belakangi aksi di Suriah? Seperti timpalan mereka di Mesir, Tunisia dan negara lain di wilayah tersebut, pemrotes mengingini pembaruan demokrasi --misalnya, kebebasan lebih besar bagi partai politik. Mereka juga menghendaki pers yang lebih terbuka, diakhirinya korupsi dan perkoncoan, peningkatan kesempatan di bidang ekonomi, dan hak lebih kuat menurut undang-undang dasar.

Suriah telah berada di bawah hukum darurat sejak 1963, yang telah memungkinkan pemerintah menangkap orang tanpa surat perintah dan memenjarakan mereka tanpa proses pengadilan. Ayah Bashar, Hafez Al-Assad memerintah negeri itu dari 1971 sampai 2000, ketika Bashar memangku jabatan.

Bashar keluar dari pengucilan Barat dalam empat tahun belakangan menyangkut perang Suriah di Lebanon dan Irak dan mendukung kelompok garis keras Palestina. Bashar memperkuat hubungan Suriah dengan Iran sementara ia berusaha memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat dan melakukan upaya perdamaian dengan Israel untuk merebut kembali Dataran Tinggi Golan --yang direbut Israel dalam Perang Timur Tengah tahun 1967.

Wartawan asing dilaporkan menghadapi kesulitan untuk beroperasi di Suriah --salah satu alasan mengapai liputan mengenai berbagai peristiwa di negeri tersebut relatif sedikit.

Pemerintah telah memberi tanggapan beragam berupa konsesi, kekerasan dan propaganda. Baru-baru ini, pemerintah Suriah diberitakan menyatakan akan mempelajari pencabutan hukum darurat dan mengizinkan berdirinya lebih banyak partai politik.

Gerakan oposisi dilaporkan bergerak sangat lambat di Suriah, dan menghadapi penindasan oleha mantan presiden Hafez al-Assad --ayah Bashar--, seperti yang dialami kelompok oposisi di Hama. Hafez Al-Assad mengirim satuan tentara elit untuk memadamkan pemberontakan bahwa pada tahun 1982, puluhan ribu orang tewas, dan sebagian besar kota itu dihancurkan oleh tank dan pemboman udara.

Pemerintah juga menyatakan akan mempertimbangkan hukum baru guna meningkatkan kebebasan pers, dan akan menaikkan gaji pegawai negeri.

Tapi, pemerintah di Damaskus juga telah melakukan aksi keras. Menurut beberapa kelompok hak asasi manusia (HAM), selain kerusuhan pada Rabu (23/3), pegiat anti-pemerintah telah ditangkap, sebagian karena melakukan kegiatan di Internet.

Pada saat yang sama, kubu Bashar telah berusaha memanfaatkan perasaan anti-Israel dan anti-Amerika untuk tujuannya sendiri: Penasehat media pemerintah menyatakan protes malah menghambat kemampuan Libya untuk jadi pilar perlawanan terhadap rencana Zionis dan AS.

Baru-baru ini, Gedung Putih mengeluarkan pernyataan yang dengan keras mengutuk serangan dan penangkapan pegiat hak asasi manusia pada Rabu. Jurubicara Departemen Luar Negeri AS, menurut laporan, mengatakan, "Kata-kata adalah kata-kata. Kami tentu saja mengharapkan tindakan."

Untuk saat ini, campur-tangan militer di Suriah tampaknya belum difikirkan, terutama karena Amerika Serikat dan sekutunya sibuk terlibat dalam aksi pemboman di Libya.

Dampaknya bagi AS

Pemerintah Bashar Al-Assad memiliki hubungan erat dengan Iran, dan memiliki hubungan lama yang dingin dengan Amerika Serikat. Selain itu ada kabar bahwa Damaskus berusaha menggagas program nuklir. Jadi jika pemerintah Bashar akhirnya jatuh dan diganti oleh pemerintah pro-AS yang lebih demokratis, kemampuan Amerika untuk mendorong kepentingan utamanya di wilayah itu --memerangi aksi teror dan ekstrem, melindungi Israel dan menjamin pasokan minyak yang stabil-- dapat diperluas.

Meskipun begitu, tetap saja sulit untuk meramalkan seberapa jauh ketidak-stabilan mungkin berlangsung.

Selain itu, Amerika Serikat memiliki kepentingan dalam memihak demokrasi dan hak asasi manusia dan mencegah krisis kemanusiaan --salah satu alasan campur-tangan di Libya tapi tak pernah ada campur tangan untuk menyelamatkan orang Palestina dari kekejaman Yahudi.

Juga bukan rahasia lagi bahwa Suriah mendukung faksi perlawanan di Lebanon Hizbullah. Hizbullah (yang berarti "Partai Allah") adalah organisasi politik dan paramiliter dari kelompok Islam Sy`aa yang didirikan pada tahun 1982 dengan basis di Lebanon.

Hizbullah mempunyai pengaruh besar dalam politik Lebanon dengan memberikan pelayanan sosial, mendirikan sekolah, rumah sakit, membuka daerah pertanian serta penyediaan layanan lain untuk ribuan warga Syi`ah Lebanon.

Faksi itu dianggap sebagai cermin gerakan perlawanan di bagian besar dunia Arab dan Muslim dunia. Namun kelompok tersebut dianggap sebagai organisasi "teroris" oleh Amerika Serikat, Israel, Kanada, dan Belanda.

Hizbullah mendapat pelatihan militer, senjata dan dukungan keuangan dari Iran, dan dukungan politik dari Suriah. Setelah berakhirnya pendudukan Israel atas Lebanon pada 2000, kekuatan militer Hizbullah diperkirakan bertambah.

Kendati PBB pada Juni 2008 mengabsahkan Israel telah mundur dari seluruh wilayah Lebanon, pada Agustus anggota Kabinet baru Lebanon dengan suara bulan mensahkan kebijakan yang menjamin kehadiran Hizbullah sebagai organisasi bersenjata. Hak Hizbullah juga dijamin untuk membebaskan dan merebut kembali tanah yang diduduki oleh Israel.

Sejak 1992, organisasi itu dipimpin oleh Hassan Nasrallah, sekretaris jenderalnya.
(T.C003/P003)

Oleh Oleh Chaidar Abdullah
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011