Singapura (ANTARA News) - Mohamed bin Hammam, setelah membawa persepakbolaan Asia ke era modern, sengaja memulai pertarungan dalam hidupnya dengan menantang presiden FIFA Sepp Blatter, mantan sekutu kini musuh bebuyutan.

Ironisnya Bin Hammam, 61, dengan kampanye yang berpijak pada kebijakan anti-korupsinya kini menghadapi klaim penipuan dalam sidang komite etika, hanya beberapa hari sebelum pemungutan suara Rabu depan untuk jabatan presiden FIFA -- pos paling berkuasa dalam sepak bola.

Warga negara Qatar itu dengan meyakinkan menyangkal mencoba mengintervensi pemilihan presiden dan berbalik dengan nada mengancam memberikan isyarat bahwa Blatter lah warga negara Swiss, yang mengincar masa jabatan keempat dan terakhir sebagai bos FIFA, sebenarnya berada di belakang tuduhan eksplosif tersebut.

"Langkah ini lebih merupakan sebuah taktik yang digunakan oleh mereka yang tak punya keyakinan pada kemampuan mereka sendiri untuk tampil sukses dalam pemilihan presiden FIFA," katanya.

Bos tertinggi di Asia, dengan perilakunya yang kalem dan anggun itu bersumpah akan memperkenalkan keterbukaan lebih besar di FIFA, bahkan ketika  sedang berjuang dengan klaim korupsinya sendiri terkait pertarungan kontroversial untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022.

Warga negara Qatar itu telah lama menyandang nama baik karena memodernisasi persepakbolaan Asia, menyupervisi peluncuran Liga Champions AFC dan memasukkan Australia ke dalam konfederasi sepak bola terbesar dunia.

Dia juga sedang mendorong agar klub dan liga di wilayah ini lebih layak secara komersial, mendesak mereka agar memandang keberhasilan Liga Primer Inggris sebagai contoh.

"Asia, dengan penduduknya yang besar, memiliki talenta terbanyak, dan saya yakin bahwa dunia baru akan merasakan getaran persepakbolaan Asia," kata bin Hammam.

Namun kepemimpinannya selama sembilan tahun di AFC tidak luput dari kontroversi.

Pada 2009, muncul gerakan yang ingin mendepaknya dari kursi komite eksekutif FIFA di tengah keluhan terhadap gayanya yang "otokrat" setelah dia mengalahkan sejumlah faksi kuat dalam badan sepak bola regional itu.

"Saya mengenal Presiden bin Hammam dengan sangat baik. Kami semua mendukungnya sejak awal namun... saya menyesal mengatakan, kami telah menciptakan seorang diktator," kata Sheikh Salman Ebrahim al Khalifa dari Bahrain.

Bin Hammam, yang menyangkal tuduhan seperti itu, juga bertengkar dengan Blatter dua tahun lalu. Dua orang itu dahulu sekutu, dimana bin Hamman menjadi salah satu kekuatan pendorong di belakang kampanye pemilihan kembali warga negara Swiss itu pada 1998.

Namun Blatter dikabarkan menolak mendukung bin Hammam dalam pertarungan hidup-matinya pada 2009, dan di depan publik mengecam langkah warga negara Qatar itu menghalangi tim-tim Selandia Baru ikut serta dalam Liga-A Australia.

Blatter mengecilkan ancaman tantangan pesaingnya menuju jabatan puncak, menyatakan bin Hammam tidak punya pendukung dari konfederasi lain selain Asia.

Namun keberhasilan bin Hammam yang mengejutkan saat mengamankan Piala Dunia 2022 bagi Qatar memberikan stimulus baginya untuk memperebutkan pucuk pimpinan persepakbolaan dunia.

Akan tetapi Bin Hammam harus bertahan dari tuduhan penyuapan oleh para pejabat Qatar, yang menutupi prestasinya tersebut sejak itu.

Bin Hammam, yang tinggal di Doha dan sering terlihat memakai pakaian tradisional, adalah mantan ketua asosiasi bola voli dan tenis meja Qatar dan seorang penggemar raksasa sepak bola Spanyol Barcelona, demikian AFP melaporkan. (ANT/K004)

Penerjemah: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011