Baghdad (ANTARA News) - Pembicaraan mengenai krisis politik antara para pemimpin Irak yang ditetapkan Jumat, sehari sesudah serangan terburuk dalam empat bulan, ditunda di tengah memburuknya perselisihan hingga perdana menterinya mengancam akan menghentikan pembagian kekuasaan.

Wakil Presiden Tareq al-Hashemi beraliran Sunni, yang menjadi buron atas tuduhan menggalang regu pembunuh, menyalahkan krisis ini pada Perdana Menteri Syiah Nuri al-Maliki, dan menuduh pemimpin Irak itu berkelakuan seperti diktator Saddam Hussein yang sudah dieksekusi, lapor AFP.

Maliki, sementara itu, telah meminta deputinya yang beraliran Sunni Saleh al-Mutlak agar dicopot, dan blok Iraqiya yang didukung Sunni, dimana Hashemi dan Mutlak merupakan anggotanya, telah memboikot baik parlemen maupun kabinet.

Ketegangan semakin meningkat Kamis, ketika para pemberontak melakukan serangan terkoordinasi di Baghdad yang menewaskan 60 orang dan melukai hampir 200 orang, sedangkan kekerasan di tempat lain di negara itu merenggut tujuh orang lainnya.

Dalam sebuah wawancara dengan BBC Siaran berbahasa Arab, Hashemi menyalahkan Maliki karena memulai "krisis nasional, dan menjadikannya sesuatu yang tidak mudah untuk diatasi." "Warga Irak punya hak untuk mengkhawatirkannya," tambahnya.

Hashemi, yang menyangkal tuduhan teror terhadapnya dan kini bersembunyi di wilayah otonom Kurdi, mengatakan serangan Kamis terjadi karena pihak penguasa terlalu sibuk mengejar "para politisi patriotis".

"Apa yang terjadi sekarang memperlihatkan kurangnya dan hal itu merupakan bukti yang bagus mengenai tiadanya kendali pemerintah atas fakta keamanan, karena dinas keamanan dibawa ke arah yang salah."

Wakil presiden juga mengatakan kepada majalah AS Foreign Policy bahwa "banyak kelakuan Saddam malangnya kini dijalankan Maliki.

"Sistem yudisial sesungguhnya berada dalam genggamannya," tambahnya.

Komentarnya menggemakan komentar wakil perdana menteri Mutlak, yang menyamakan pemerintah pimpinan Syiah dengan "diktator", dan Maliki "lebih buruk daripada Saddam Hussein".

Komentar itu yang memicu perdana menteri meminta parlemen agar mencopot wakilnya.

Kekerasan Kamis adalah yang terburuk sejak 15 Agustus, ketika 74 orang dibunuh dalam serangkaian serangan di 17 kota Irak.

Kekacauan tersebut melibatkan lebih dari selusin pemboman di seluruh ibukota yang menewaskan 60 orang dan melukai 183 orang lainnya.

Serangan tunggal paling mematikan melibatkan bom mobil yang dikendarai penyerang bunuh diri yang meledak di kantor badan anti korupsi, menewaskan 23 orang, termasuk lima penyelidik senior.

Segera sesudah serangan itu, parlemen menyerukan diadakan sidang mendesak para pemimpin politik yang sedianya diadakan pada Jumat, hari berdoa dan libur Muslim, namun seorang pejabat kemudian mengatakan pembicaraan tersebut ditunda karena Aliansi Nasional Maliki menolak hadir jika Iraqiya tidak mencabut boikotnya.

"Aliansi Nasional mengatakan Iraqiya terlebih dahulu harus mengakhiri boikotnya terhadap parlemen dan kabinet, baru kemudian akan ada pertemuan blok-blok politik," kata seorang pejabat perlemen, yang berbicara dengan syarat anonim.

"Jika Aliansi Nasional tidak menghadiri sidang, tidak ada gunanya menghadirinya juga, karena krisis tersebut antara mereka dan Iraqiya."

Krisis tersebut muncul hanya beberapa jam sesudah tentara AS menyelesaikan penarikan mundurnya, meninggalkan apa yang Presiden Barack Obama lukiskan "Irak yang berdaulat, stabil dan mandiri."

Gedung Putih menandaskan pasukan keamanan Irak mampu menghadapi serangan "keji" Kamis.

Kedutaan besar AS mengatakan "sungguh penting dalam masa kritis ini para pemimpin politik Irak agar bekerja untuk memecahkan perbedaan secara damai."

Utusan khusus PBB untuk Baghdad Martin Kobler mengecam serangan "mengerikan" tersebut, dan mengatakan para pemimpin Irak harus "bertindak dengan cepat, dengan  bertanggungjawab dan dalam kesatuan." (K004)

Penerjemah: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011