kalau ada prajurit TNI menyerang penjara maka hal ini merupakan hal yang baru atau aneh.
Jakarta (ANTARA News) - Belum lagi kering air mata di Ogan Komering Ulur(OKU) Sumatera gara-gara 100 prajurit Batalyon Artileri Medan 15/76 Tarik Martapura yang dengan sadis menyerang Markas Kepolisian OKU,  kini air mata turun di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebuah" kelompok bersenjata" sukses menewaskan empat" musuh mereka di LP Cebongan?

Pada hari Sabtu dinihari sekitar pukul 02.00 WIB, sekitar 17 orang bersenjata laras panjang dan membawa granat menyerbu LP Cebongan, Sleman untuk mencari pembunuh Sersan Satu Santoso, seorang anggota satuan elit Komando Pasukan Khusus(Kopassus) TNI AD yang beberapa hari sebelumnya tewas terbunuh di sebuah kafe.

Kelompok bersenjata ini bahkan sempat mengancam beberapa sipir di sana antara lain dengan menempelkan granat ke tubuh seorang sipir dan akhirnya " sukses" membunuh empat orang yang mereka cari.

"Semua anggota ada di markas di Kandang Menjangan," kata Kepala Seksi Intel Grup 2 Kopassus Kapten TNI-AD Wahyu Yuniartoto ketika berusaha menepis tuduhan bahwa anggota pasukan elit TNI-AD itu terlibat dalam penyerbuan lembaga pemasyarakatan itu.

Bahkan tidak kurang dari Panglima Kodam IV Diponegoro Mayor Jenderal TNI Hardiono juga membantah kemungkinan keterlibatan prajurit TNI dalam serbuan ala di medan perang tersebut.

Baik Jenderal Hardiono maupun Kapten Wahyu tentu boleh-boleh saja 1000 kali membantah keterlibatan prajurit TNI-AD dalam tindak kekerasan tersebut.

Namun masyarakat tentu berhak bertanya kenapa sampai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto pada Sabtu pagi sampai mengeluarkan perintah kepada Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Timur Pradopo untuk segera menyelidiki kasus kekerasan yang justru terjadi pada sebuah instansi sipil dan bukannya di kantor militer atau polisi.

Keempat orang tewas itu adalah Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi, serta Yohanes Juan Manbait. Keempat orang itu diduga terlibibat membunuh Sertu Santoso di sebuah kafe di Solo yakni Hugo` Cafe.

Kalau sang pembunuh itu misalnya hanya preman-preman pasar, atau umpamanya anggota resimen mahasiswa atau bahkan pelajar sekolah menengah atas, maka pertanyaan sederhana yang mungkin muncul pada benak orang- orang awam maka apakah mungkin Menko Polhukam Djoko Suyanto sampai harus memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk segera turun tangan kalau kasus ini tidak melibatkan prajurit- prajurit TNI ?

Di kafe?

Sersan Satu Santoso itu disebut-sebut tewas terbunuh di sebuah kafe, padahal seluruh prajurit TNI dan juga Polri telah dilarang keras untuk pergi ke tempat- tempat hiburan seperti kafe.

Untuk apa Santoso datang ke kafe dan tidak tahukah bintara itu bahwa ada larangan untuk mengunjungi kafe?

Apakah Santoso datang ke kafe untuk mencari hiburan atau mencari penghasilan tambahan dengan menjaga tempat itu?

Karena Santoso adalah anggota satuan elit Kopassus maka tidak aneh sama sekali bila muncul dugaan atau tuduhan bahwa rekan-rekannya dari Grup II yang bersenjata lengkap datang ke LP Cebongan, Sleman.

Tuduhan itu sudah dibantah keras oleh Kepala Seksi Intelijen Grup II Kopassus.

Kalau begitu, maka pertanyaan berikut adalah siapa yang sampai "tega" turun tangan membalas dendam itu dengan mendatangi LP Cebongan sehingga empat orang tewas di sana?

Apakah mungkin ada semangat satu korps atau istilah gagahnya esprit de corps dari rekan-rekan di satuan-satuan TNI Angkatan Darat lainnya untuk mendatangi Cebongan dengan membawa senapan hingga granat misalnya dari satu batalyon di Kodam Diponegoro?

Atau mungkinkah ada satuan elit lainnya misalnya Korps Marinir atau Pasukan Khas TNI-AU atau Paskhas yang sudi membela rekannya yang tewas di sebuah kafe?

Perkelahian seorang prajurit TNI dengan prajurit lainnya baik dari satuan lainnya di TNI atau Polri sebenarnya merupakan satu hal yang "kuno" atau tidak aneh lagi.

Tapi kalau ada prajurit TNI menyerang penjara maka hal ini merupakan hal yang baru atau aneh.

Perintah Menko Polhukam untuk menyelidiki kasus ini patut dihargai sehingga bisa diketahui bagaimana mungkin sekitar 17 orang bersenjata sampai bisa menyerbu Cebongan. Namun perintah tersebut hanya bersifat jangka pendek.

Penelitian jangka panjanglah yang harus dilakukan sejak dini untuk mengetahui kenapa semakin banyak tindak kekerasan dilakukan prajurit- prajurit TNI baik terhadap sesama prajurit maupun terhadap warga sipil.

Dari tahun ke tahun, semakin banyak prajurit di dalam organisasi TNI. Penambahan prajurit itu memang sesuai dengan prinsip kemampuan minimum esensial atau minimum essential force.

Yang menjadi persoalan adalah dalam beberapa tahun mendatang di Tanah Air diperkirakan tidak bakal terjadi pemberontakan atau tindakan kekerasan berskala besar di dalam negeri.

Kalau ramalan itu memang akan betul-betul terjadi, maka tentu ratusan ribu prajurit TNI-AD, TNI-AL,TNI-AU atau bahkan Polri bakal "menganggur" atau tidak akan banyak menghadapi tugas fisik yang bakal menghabiskan energi mereka.

Akibatnya, mereka tidak tahu bagaimana harus menghabiskan energinya. Paling-paling mereka hanya apel pada pagi dan siang hari.

Padahal sebagai prajurit muda, maka cadangan energi mereka sangat banyak. Latihan militer misalnya menembak tentu tidak bisa dilakukan setiap hari karena akan menghabiskan dana yang banyak.

Karena itu, menko polhukam,Panglima TNI, ketiga kepala staf TNI serta Kapolri harus berpikir keras mulai sekarang antara lain bagaimana menyalurkan energi ratusan ribu prajurit mereka secara tepat, sehingga tidak usah minta maaf kepada masyarakat jika terjadi tawuran bagaikan anak-anak sekolah menengah atas.

Oleh Arnaz Firman
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2013