Ini (kasus interseks), fenomenanya seperti gunung es...
Semarang (ANTARA News) - Prof Sultana MH Faradz, pakar histologi dan peneliti kerancuan kelamin, menyebutkan jumlah pengidap ketidakjelasan kelamin atau interseks dari tahun ke tahun cenderung meningkat, namun hingga sekarang prevalensinya belum terlalu jelas.

"Ini (kasus interseks), fenomenanya seperti gunung es. Jumlah kasus yang tidak atau belum dilaporkan mungkin jauh lebih banyak karena banyak orang merasa malu mengalami gangguan ini," katanya di Semarang, Senin.

Sejak 2004 hingga saat ini, Sultana sudah menangani penderita interseks sekitar 700 orang, yang sebagian besar dari kalangan menengah ke bawah. Pengidap interseksual dari kalangan berada memilih berobat ke luar negeri

Untuk menangani penderita interseks, katanya, harus melibatkan tim yang terdiri atas sejumlah ahli, seperti, urolog, dokter bedah, psikolog, dan lainnya.

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang itu menjelaskan bahwa banyak kasus interseks diketahui ketika penderita menginjak remaja atau dewasa karena pada masa itulah tanda-tanda jenis kelamin seseorang semakin jelas, misalnya, seseorang yang tidak bisa menstruasi namun sejak bayi sudah dinyatakan perempuan oleh bidan.

"Setelah diteliti lebih saksama, ternyata dia adalah seorang pria karena dia juga tak punya rahim. Padahal sejak bayi hingga remaja dia diperlakukan seperti wanita karena penis atau testisnya tidak kelihatan," katanya.

Menurut dia, sejumlah pasien sempat berontak ketika oleh tim ahli dinyatakan kelaminnya laki-laki karena yang bersangkutan sejak bayi sudah diperlakukan sebagai anak perempuan.

"Kalau hasil pemeriksaan kromosomnya X Y, maka dia jelas seorang pria. Itu tak bisa dibantah," kata Sultana yang pada Selasa (20/8) di Undip akan menyampaikan makalah berjudul "Am I a Man?" bersama Prof Jennifer Graves dari Australia.

Proses pemulihan hingga bisa menerima lahir batin jenis kelamin sebenarnya, kata Sultana, sekitar dua tahun. Para pengidap gangguan ini juga memiliki organisasi bernama Forum Komunikasi Interseks Indonesia (Fokis), yang menjadi ajang untuk berbagi pengalaman.

"Banyak kisah tentang pernikahan mereka dengan pria yang berakhir cerai karena suami tidak menerima seorang `wanita` yang tidak pernah menstruasi atau tidak bisa hamil," katanya. (A030/N001)

Pewarta: Achmad Zaenal M
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013