...karena apa pun dibolehkan dalam perang kotor ini..."
Beirut (ANTARA News) - Di luar medan perang Suriah, rezim Damaskus dan pemberontak terlibat dalam perang media yang hebat. Kedua belah pihak gencar menyiarkan video-video dan pernyataan saling menuduh melakukan kekejaman yang pada praktiknya mustahil dibuktikan.

Para wartawan independen berjuang mengonfirmasi tuduhan kedua belah pihak karena harus menghadapi ancaman penculikan di wilayah-wilayah yang diduduki pemberontak dan keengganan pemerintah menerbitkan visa untuk wartawan asing.

Perang media ini mencapai puncaknya setelah terjadi dugaan serangan senjata kimia di pinggiran kota Damaskus 21 Agustus lalu yang disebut telah membunuh ratusan orang.

Cuplikan gambar video yang dipublikasikan jejaring-jejaring media sosial menunjukkan dampak serangan senjata kimia yang mendokumentasikan episode paling berdarah dalam konflik berumur 30 bulan yang telah menelan korban lebih dari 110.000 nyawa manusia itu.

Di sisi lain, kelompok oposisi menyebarkan foto-foto mengerikan namun tak bisa diverifikasi mengenai para korban perang, sedangkan rezim Presiden Bashar al-Assad berulang kali membantah cuplikan video dan foto yang disebarkan pemberontak ini.

Tak ada seorang pun wartawan independen yang memiliki akses ke situs serangan, namun kubu oposisi dan Barat menggunakan video itu sebagai bukti bagi dukungan serangan militer ke Suriah.

"Kami sudah hafal betul kekuatan gambar sejak Perang Vietnam," kata sosiolog Lebanon Melhem Chaoul, menunjuk foto terkenal seorang anak gadis Vietnam yang berlari terkena bom napalm, dengan bertelanjang dan ketakutan terkena bom.

Di puncak upaya Presiden AS Barack Obama menggelar aksi militer ke Damaskus, saluran televisi CNN menayangkan video dengan gambar diburamkan mengenai orang-orang terluka dan anak-anak yang telah meninggal dunia.

Saluran televisi AS ini menyebutkan cuplikan video itu telah diperlihatkan kepada sekelompok kecil senator oleh pemerintah Obama untuk meyakinkan mereka dalam mendukung serangan militer ke Suriah.

Namun rezim Suriah menyebut video itu dipalsukan oleh pemberontak, dan malah menuduh pejuang oposisi sendiri yang telah menggunakan senjata kimia ini untuk menahan gerak maju pasukan Assad di pinggiran kota Damaskus.  Rezim juga menuduh video itu dipersiapkan sebagai alasan bagi serangan Barat yang memang diinginkan pemberontak.

Damaskus lalu memukul balik dengan mempertontonkan gambar-gambar kekejian yang mereka tuduhkan dilakukan pemberontak.

Serangkaian foto yang disiarkan Paris Match menunjukkan para pejuang memenggal anggota-anggota milisi pro pemerintah, sedangkan foto-foto yang disiarkan New York Times memperlihatkan eksekusi tentara pemerintah.

Kelompok oposisi utama Koalisi Nasional Suriah, dipermalukan oleh foto-foto itu, lalu berusaha menjaga jarak dari pelaku eksekusi dengan menyiarkan maklumat Kamis lalu bahwa "mereka bukan perwakilan dari Tentara Suriah Merdeka (sayap militer koalisi itu) atau rakyat Suriah".

Akhir propaganda era Soviet


Bassam Abu Abdullah, kepaal Pusat Studi Strategis Damaskus yang dekat kepada rezim berkuasa, mengatakan pada mulanya televisi pemerintah Suriah menahan diri untuk tidak menayangkan "gambar-gambar horor yang dilakukan pemberontak".

"Namun televisi nasional kini menayangkan cuplikan-cuplikan itu karena apa pun dibolehkan dalam perang kotor ini manakala demi memenuhi sebuah tujuan politik", kata dia.

Tantangan lainnya bagi rezim ini adalah menayangkan sukses kekuatan militernya.

Salah satu contoh termutakhir adalah di kota kuno Maalula yang menjadi simbol kehadiran Kristenitas di wilayah ini , di mana televisi menayangkan tentara menguasai kembali gereja dan biara.

Menghadapi ancaman serangan, Assad tak ragu mempertahankan rezimnya di hadapan publik, dengan memberi waktu wawancara kepada harian Prancis Le Figaro, dan sejumlah saluran televisi AS dan Rusia.

"Dalam soal ini, rezim telah berubah dari propaganda gaya Soviet yang lebih suka mengeluarkan jargon dan bereaksi lambat terhadap komunikasi abad 21," kata seorang wartawan asing di  Damaskus.

"Assad tahu pasti memilih media berdasarkan negara yang dia sasar dan berusaha meyakinkan opini publik Barat bahwa menyerang negerinya adalah berbahaya dan tak sebanding dengan upaya," kata sang wartawan.

Pemerintah Assad juga mengutuk apa yang dia anggap sebagai bias pers internasional dan kelompok pembela HAM seperti Human Rights Watch yang telah menuduh tentara pemerintah membantai 248 warga Suriah di dua desa dekat pantai.

"Barat menggunjingkan tuduhan pembantaian bulan Mei di daerah Tartus, tapi mereka bungkam atas pembantaian sektarian yang dilakukan para teroris terhadap lusinan penduduk (Syiah Alawiyah) awal Agustus di kawasan Latakia," keluh seorang perwira militer Suriah kepada  AFP.

"Sekurang-kurangnya 1.000 orang mati, mereka memotong leher para lelaki, memaksa perempuan-perempuan berjalan telanjang di jalanan, menganiaya perempuan-perempuan hamil, tapi tentu saja itu tak menarik perhatian organisasi HAM dan wartawan," kata si tentara ini seperti dikutip AFP.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013