Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah LSM meminta pemerintah segera menghentikan pemberian izin konversi atau pembukaan lahan di atas tanah gambut atas pertimbangan bahwa faktor terbesar penyebab kebakaran hutan adalah konversi hutan, terutama pada lokasi lahan gambut. Koordinator Jaringan Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Zulfahmi, yang dihubungi dari Jakarta, Senin, mengatakan cara terbaik untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan adalah dengan menghentikan keluarnya izin pembukaan lahan baru di lahan gambut, dan melindungi lahan tersebut. Tanah gambut, ujarnya, adalah jenis tanah yang lebih mudah terbakar, menghasilkan lebih banyak asap dan emisi karbon dibandingkan jenis tanah lain, sehingga sekali terbakar, maka akan sangat sulit untuk memadamkannya. Sebagai contoh, berdasarkan pantauan koalisi LSM di Riau, Eyes on the Forest, sejak 1-31 Juli 2006, terdapat 56 persen hotspot (titik api) di Provinsi Riau, berada pada lahan gambut dan pada periode yang sama, hampir 30 persen dari titik api yang terdeteksi di Kalimantan Barat juga terdapat pada tanah gambut. Seruan tersebut juga sejalan dengan "Deklarasi Riau mengenai Lahan Gambut dan Perubahan Iklim" (The Riau Declaration on Peatlands and Climate Change) yang digagas pada 26 Januari lalu dan dihadiri oleh ahli dari 12 negara. Deklarasi itu merekomendasikan antara lain penghentian konversi lahan gambut serta dilakukannya segera upaya rehabilitasi dan pemanfaatan yang bertanggungjawab terhadap lahan gambut tropis. Sementara itu, Regional Forest Campaigner dari Greenpeace Southeast Asia, Hapsoro, mengatakan, sudah saatnya Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium konversi hutan gambut menjadi HTI dan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, pemerintah dihimbau untuk membuat tata guna kawasan hutan yang mengakomodasi kepentingan ekologi dan sosial. Para aktivis LSM juga menyerukan agar pemerintah segera menyeret pelaku pembakaran hutan dan lahan ke pengadilan dan memberikan hukuman setimpal, terutama mereka yang berkali-kali terlibat dalam insiden serupa. "Untuk menimbulkan efek jera, pemerintah harus mencabut izin operasional perusahaan yang terbukti dengan sengaja melakukan pembakaran hutan," kata Direktur Eksekutif WALHI Riau, Jhonny S. Mundung. Setiap saat perusahaan dan masyarakat perlu diingatkan untuk mencegah pembakaran hutan. Riau dan Kalimantan Barat adalah dua provinsi dengan titik panas terbanyak selama Juli 2006 ini. Berdasarkan data Eyes on the Forest, titik api yang terdeteksi di Provinsi Riau selama Juli 2006 mencapai 1.419. Dari jumlah tersebut, 786 titik (5 5,39 %) terdapat di lahan masyarakat, 338 titik (23,82 %) di konsesi HTI, dan 295 titik (20,79 %) di kebun sawit. Sementara itu, pada periode 1-25 Juli di Kalimantan Barat terdeteksi 684 titik api, dimana 400 titik (58,48 %) terdapat di lahan masyarakat, 166 titik (24,27 %) di konsesi perkebunan/sawit, 60 titik (8,77 %) di konsesi HTI, dan 58 titik (8,48 %) di konsesi HPH. Para aktivis LSM ini juga mengingatkan perlunya segera meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, dan mengambil peranan utama dalam implementasi persetujuan ini. Kesiapan pemerintah Indonesia dalam implementasi perjanjian, seperti yang disangsikan oleh pihak tertentu, bukan alasan untuk menunda-nunda ratifikasi ini karena perjanjian ini merupakan perjanjian di tingkat regional yang pertama di dunia yang mensyaratkan sekelompok negara bekerjasama menanggulangi asap lintas batas akibat kebakaran hutan dan lahan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006