Kupang (ANTARA News) - Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni memberikan  testimoni soal pencemaran Laut Timor di hadapan Kongres Aliansi Pengacara Australia yang mengantarnya meraih penghargaan "Civil Justice Award" dari organisasi tersebut.

"Ini menjadi catatan sejarah dalam perjalanan hidup saya yang sulit untuk dilupakan, karena Aliansi Pengacara Australia (ALA) secara diam-diam mengamati perjuangan saya dalam menegakkan hak-hak sipil di Timor bagian barat NTT yang terkena dampak langsung dari pencemaran tersebut," kata Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni di Kupang, Jumat.

Ia menyampaikan hal tersebut sepulang dari menyampaikan testimoni atau catatan kisah nyata pencemaran Laut Timor dan menerima "Penghargaan Keadilan Sipil" itu di Canberra pada 24 Oktober 2013.

Dalam testimoninya, Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu menegaskan "Kami tidak akan menyerah dalam memperjuangkan hak-hak sipil terkait dengan pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya sumur minyak Montara di Zona Ekonomi Eksklusif Australia pada 21 Agustus 2009".

"Minyak mentah (light sweet) yang dimuntahkan dari sumur Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor itu, terus mengalir sampai ke wilayah perairan Indonesia di Laut Timor selama sekitar 74 hari (21 Agustus - November 2009), dan merupakan yang terbesar dalam sejarah industri perminyakan Australia," katanya.

Tanoni yang juga pemerhati masalah Laut Timor itu mengatakan "Danau minyak menyerupai susu" itu terlihat dengan jelas di atas permukaan Laut Timor perairan Indonesia di selatan Timor Barat hanya dalam beberapa hari saja setelah kejadian meledaknya ladang minyak Montara.

"Tumpahan minyak itu terus mengalir selama lebih dari 60 hari yang mengakibatkan masyarakat di pesisir selatan Pulau Timor, Alor, Rote dan Sabu serta Kupang mulai terkena penyakit aneh yang tidak pernah mereka dapatkan sebelumnya," ujarnya.

Dia mengatakan warga ada yang keracunan setelah mengonsumsi ikan, memar, ruam kulit yang tidak dapat disembuhkan, kista pada kulit, sesak napas, gatal-gatal, bahkan sampai membawa mereka pada kematian, namun sampai saat ini tak ada kompensasi yang dibayarkan kepada masyarakat korban.

"Kami menduga kuat sumber keracunan dan berbagai penyakit aneh tersebut dari bubuk kimia sangat beracun dispersant bercampur minyak dan zat timah hitam yang mengalir dari tumpahan ladang minyak Montara".

"Sebanyak 184 ribu liter bubuk kimia sangat beracun dispersant yang disemprotkan oleh Otorita Keselamatan Maritim Australia (AMSA) di atas permukaan Laut Timor untuk menenggelamkan jutaan liter tumpahan minyak ke dasar laut, namun membawa dampak buruk terhadap usaha rumput laut di wilayah pesisir yang menjadi ladang kehidupan ribuan warga di NTT," katanya.

Tanoni menambahkan selama empat tahun, ia berjuang keras minta pertanggungjawaban perusahaan minyak PTTEP Australasia Pty.Ltd dan Sea Drill Norway Pty yang mengoperasikan sumur minyak Montara serta Pemerintah Australia dan Indonesia, namun hingga saat ini belum ada hasilnya.

"Kami tidak akan menyerah dan akan terus berjuang dengan mengharapkan adanya sebuah penyelidikan ilmiah yang patut, independen, transparan dan kredibel untuk segera menyelesaikan masalah ini demi mewujudkan keadilan warga sipil yang menjadi korban pencemaran tersebut," katanya.

Pewarta: Laurensius Molan
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013