Senyum saya yang seperti ini sudah tepat Pak?
Jakarta (ANTARA News) - "Senyum saya sudah betul pak?" Tanya seorang Direktur Utama BUMN kepada saya melalui SMS. Dirut tersebut prestasinya luar biasa hebat. Tapi mahal senyumnya juga luar biasa pelit.

Setiap kali bertemu sang dirut saya memang terus mempersoalkan wajahnya yang selalu tegang. Dan kaku. Dan cemberut.

"Anda itu dirut yang hebat," kata saya. "Kalau bisa sering tersenyum Anda akan lebih hebat," tambah saya.

Beberapa minggu kemudian, ketika sang dirut belum juga bisa tersenyum saya berikan pengertian mengapa harus tersenyum. "Anda itu harus menjadi seorang marketer. Bahkan harus menjadi marketer terbaik di BUMN Anda. Bagaimana seorang marketer wajahnya terlihat tegang terus?" Kata saya.

Saya tidak dalam posisi memarahi dia. Saya menempatkan diri bukan sebagai menteri. Saya ajak dia bicara lebih seperti seorang kakak kepada seorang adik. Sebelum bicara itu pun saya lebih dulu bertanya kepada dia: bolehkah saya bicara mengenai hal yang sangat pribadi? Dia bilang: boleh.

Jadilah saya bicarakan hal wajah dan senyum itu padanya.

Sayang sekali seorang CEO yang kerja dan prestasinya luar biasa tapi lebih banyak kelihatan cemberut. Tekanan pekerjaan yang berat dan menumpuk mungkin membuatnya tegang.

Pun waktu yang dia habiskan di lapangan memang panjang. Siang menemukan persoalan, malam menemukan kerumitan. Orang luar selalu menekannya, orang dalam menjengkelkannya.

Mungkin juga bukan karena semua itu. Mungkin juga karena latar belakang pekerjaan lamanya di dunia keuangan. Itu membuatnya "selalu bersikap keuangan". Banyak kata, orang yang hidup lama di "sikap keuangan" sulit berubah menjadi "bersikap marketing".



Entahlah.

Tapi saya percaya orang bisa berubah. Yang jelas seorang CEO akan tidak sempurna ke-CEO-annya kalau tidak bisa tersenyum, tidak bisa mengajar, mendidik, dan tidak bisa jadi orang marketing.

Maka sang dirut berjanji untuk berubah. Menyempurnakan prestasinya dengan meramahkan wajahnya.

Suatu saat saya kaget. Dia mengirim BBM kepada saya. Disertai foto wajah yang lagi tesenyum.

"Senyum saya yang seperti ini sudah tepat Pak?" Tanyanya.

"Belum!" Jawab saya. "Kurang tulus," tambah saya.

"Wah, sulit ya?" Tanyanya lagi.

"Tidak!" Jawab saya. "Coba terus!"

Minggu berikutnya dia kirim foto yang lagi tersenyum lagi. "Sudah bagus Pak?" Tanyanya.

"Sudah 70 persen! Bagus! Anda maju sekali!" Jawab saya. Saya kagum akan kesungguhannya tersenyum.

Minggu-minggu berikutnya dia terus mengirimkan foto wajahnya yang lagi tersenyum. 75 persen. 80 persen. 90 persen. Akhirnya 100 persen! Senyum terakhirnya, enam bulan setelah usaha yang keras, sangat sempurna, natural dan tulus.

Senyum itu lantas saya pilih untuk cover buku yang diterbitkan untuk ulang tahun perusahaannya. Buku yang sangat bagus mengenai prestasinya yang hebat dalam mentransformasikan BUMN yang dia pimpin. Buku itu kini sudah tiga kali cetak ulang dan jadi best seller. Tentu senyum tulusnya di cover ikut memberi andil.

Itulah buku yang bercerita: bagaimana sang dirut mampu melakukan transformasi perusahaan yang luar biasa hebatnya. Bahkan lebih hebat dari yang dilakukan menteri BUMN.

"Pasien" saya yang seperti itu tidak hanya satu. Tidak dua. Tidak tiga. Banyak! Satu per satu saya ajak bicara. Bukan hanya perusahaannya yang harus bertransformasi tapi juga penampilan pribadi dirutnya. Saya gembira mereka yang prestasinya hebat-hebat itu juga berani menyempurnakan dirinya.

Saya juga berterima kasih kepada owner MarkPlus, Pak Hermawan Kartajaya yang ikut mengubah BUMN-BUMN kita. Terutama dari sisi marketingnya. BUMN Marketeers Club yang rutin bertemu dari satu BUMN ke BUMN lain, mendapat sambutan antusias dari teman-teman direksi BUMN. Begitu juga BUMN Marketing Award yang juga digagas Pak Hermawan.

Saya sempat menghadiri beberapa pertemuan forum marketing itu. Termasuk untuk mensosialisasikan keinginan saya bahwa seorang CEO/dirut di BUMN harus juga menjadi orang terbaik untuk urusan marketing di BUMN masing-masing.

Saya juga bangga bahwa setiap kali MarkPlus menyelenggarakan acara tahunan yang amat bergengsi, Marketeer of the Year, para CEO BUMN tampil di jajaran pemenang. Mengalahkan sektor swasta. Bahkan hampir selalu terpilih menjadi yang terbaik, menjadi Marketeer of The Year. Seperti yang diraih Emirsyah Satar CEO Garuda, Sofyan Basyir CEO BRI, dan saya sendiri waktu menjabat CEO PLN.

Tentu bukan hanya senyum yang harus bertransformasi. Cara para CEO berpidato pun harus berubah. Harus menjauhkan kebiasaan lama berpidato dengan membaca teks yang formal, kaku, dan hirarkis.

Untuk urusan ini saya juga melihat kemajuan yang sangat besar. Saya mencatat beberapa CEO sudah mampu tampil dengan pidato yang memikat. Bahkan beberapa di antaranya sudah seperti seorang CEO multinational corporation.

Pidato Dirut Bank Mandiri, Dirut Telkom, Dirut BRI, Dirut BNI, Dirut RNI, Dirut Pelindo I Medan sudah sangat cair, dan "lebih marketing". Sudah berubah total dan dengan penuh percaya diri bisa mengemukakan kiprah dan masa depan perusahaan dengan gamblang.

Tentu saya tidak akan melarang pidato pakai teks. Dalam beberapa kesempatan malah seharusnya pakai teks. Tapi saya masih belum puas dengan penampilan beberapa CEO yang ketika di podium masih seperti kurang menguasai persoalan. Saya akan sabar mengikuti perubahan-perubahan itu.

Mengapa saya merasa perlu untuk menekankan semua itu? Karena seorang CEO di samping seorang marketer nomor satu di perusahaannya, dia juga seorang manajer personalia terbaik di korporasinya. Kalau seorang CEO tidak terlatih dalam mengemukakan ide, hope, dan programnya, dia tidak akan bisa meyakinkan anak buahnya.

Siapakah sang CEO yang selalu kirim foto wajahnya yang sudah tersenyum itu?

Dialah Dirut PT KAI, Ignasius Jonan.

Oleh Dahlan Iskan, menteri BUMN
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2013