Terus terang saja bahwa sampai saat ini Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bukanlah sebuah kamus besar yang memberikan kepuasan maksimal bagi penggunanya.

Seorang penyunting majalah berita mingguan mengingatkan bahwa KBBI harus digunakan dengan kewaspadaan. Artinya, kamus itu memang bisa digunakan sebagai rujukan bagi wartawan atau editor tapi sang pengguna harus hati-hati dan tak percaya begitu saja dengan apa yang termaktub dalam kamus itu.

Beberapa contoh disebut. Tentu contoh yang membingungkan bagi pengguna. Pertama, "mengamankan", menurut KBBI, adalah menahan orang yang melanggar hukum demi keamanan umum dan keamanan orang itu dari kemungkinantin tindakan main hakim sendiri'. Dalam contoh pemakaian kata "mengamankan" seperti "Polisi mengamankan barang selundupan" perlu dipertanyakan benarkah barang selundupan itu menjadi aman. Aman dari apa/ siapa?

Pembaca juga akan dibikin bingung oleh KBBI karena dalam beberapa lema mengandung dua makna yang bertentangan seperti "mengkhawatirkan", yang dimaknai sebagai 1. Khawatir terhadap satu hal, dan 2.menimbulkan rasa khawatir. Jadi, kalau ada kalimat "John mengkhawatirkan Jane", pembaca akan binggung memaknainya: apakah yang khawatir itu si subyek atau obyek?

Persoalan semantik dalam KBBI bukan hanya itu. Dalam mengartikan istilah atau konsep yang berdasar kelahirannya bukan dari Indonesia, KBBI juga kurang memiliki akurasi. Sebagai contoh, dalam memaknai kata "ateis", KBBI terlihat berseberangan dengan Kamus Inggris Oxford. Kamus yang belakangan ini mengartikan lema itu secara pas sesuai dengan hakikat lema itu.

Dalam KBBI, ateis dimaknai sebagai "orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan". Pemaknaan ini secara frontal berbeda dengan rumusan makna yang diberikan "Oxford Advanced Leaner's Dictionary of Current English" karya AS Hornby, yang mengartikan ateis sebagai "orang yang percaya bahwa Tuhan tidak ada".

Dalam perdebatan filosofis tentang paham ketuhanan, yang dipersoalan tentunya perkara 'ada atau tidak adanya Tuhan' bukan perdebatan soal 'percaya atau tidak percaya'. Pada titik inilah KBBI tampak lemah.

Sebetulnya para penyusun KBBI tidak perlu repot-repot untuk memaknai lema-lema tertentu yang merupakan istilah atau konsep yang datang dari luar seperti ateis di atas. Mereka cukup mengumpulkan dua atau tiga kamus terkemuka di dunia, dalam hal bahasa Inggris konon Kamus Inggris Oxford dianggap sebagai ibu semua kamus bahasa Inggris. Jadi kamus ini bisa dijadikan rujukan utama dalam memaknai istilah-istlah yang asal-usulnya terutama dari bahasa Inggris.

KBBI yang ideal akan memberikan keterangan tentang kelas kata secara lebih spesifik. Memang keterangan untuk kelas kata dalam setiap lema dalam KBBI sudah ada. Namun kurang spesifik. Sebagai contoh untuk keterangan mengenai verba. KBBI belum sampai menjelaskan apakah lema tertentu itu termasuk verba transitif atau verba taktransitif atau bisa juga satu verba punya makna kedua-duanya.

Akan lebih ideal lagi jika KBBI bisa memberikan keterangan mengenai sejarang sebuah kata (etimologi). Tentu ini kerja besar yang tidak mudah. Namun, melihat posisi KBBI yang berada dalam dukungan Pusat Bahasa yang dinaungi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebuah proyek besar menjadikan KBBI juga sebagai bagian dari kamus etimologi sesungguhnya tidak mustahil.

Kementerian itu yang menaungi banyak perguruan tinggi negeri (PTN) dan mengawasi perguruan tinggi swasta (PTS) bisa mengambil kebijakan tentang dukungan bagi pengembangan kamus etimologi di Indonesia. Misalnya, setiap jurusan linguistik di PTN/PTS disarankan menumbuhkan penelitian bidang etimologi. Para mahasiswa yang sedang melakukan penelitian untuk penulisan skripsi, tesis atau disertasi bidang linguistik disarankan menelaah isu etimologis.

KBBI ternyata juga memberikan keterangan tentang asal-usul untuk lema tertentu seperti 'ketipung' yang dikatakan berasal dari Madura, dengan keterangan yang disingkat 'Mdr'. Yang mencengangkan, keterangan bahwa ketipung beasal dari Madura membuat seorang pemerhati bahasa yang juga Ketua Forum Bahasa Media Massa (FBMM) ragu lalu mempertanyakannya dalam satu rubrik kolom bahasa di sebuah koran yang terbit di Jakarta. Hingga saat ini, tak satupun penyusun KBBI memberikan peratnggungjawaban soal itu.

Mestinya, penanggung jawab penyusunan KBBI edisi keempat yang memuat keterangan 'Mdr'untuk lema 'ketipung' itu menulis di kolom yang sama untuk memberikan peratanggung jawabannya sehingga kredibilitas keilmuan KBBI terjamin.

Begitulah gambaran kecil kondisi KBBI edisi terakhir. Jika keterangan 'Mdr' itu tak bisa dipertanggungjawabkan, saran sederhana yang bisa dikemukakan di sini adalah: buang keterangan etimologis itu dari lema 'ketipung' untuk edisi mendatang.

Oleh M Sunyoto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014