Jakarta (ANTARA News) - Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) Investment berharap pemerintah bisa merealisasikan sebuah undang-undang perbatikan untuk menjadi payung perlindungan bagi konsumen pengguna warisan budaya Indonesia itu.

"Perlu ada undang-undang perbatikan. Artinya ketika pemerintah memberikan imbauan bahwa hari tertentu memakai batik, maka itu artinya memakai batik asli, bukan batik printing, dan teknisnya harus dilindungi oleh undang-undang," ujar Presiden Komisaris Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) Investment Romi Oktabirawa di sela-sela acara Deklarasi Busana Indonesia di Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan berbagai pihak telah memperjuangkan batik agar diakui oleh UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization).

Namun faktanya masih banyak masyarakat, khususnya anak muda tidak bisa membedakan batik asli dan batik printing.

"Anak-anak muda sudah suka batik, sudah perhatian, tapi anak muda tidak tahu esensi batik. Maka perlu dibangun loyalitas agar tahu apa itu batik asli dan apa itu kemeja bermotif printing batik," katanya.

Dia mengatakan anak muda hanya mengetahui bahwa dirinya telah memakai kemeja bermotif batik, tanpa tahu apakah batik itu dibuat dengan proses tangan atau hanya dicetak menggunakan mesin.

"Batik tidak harus mahal. Kadang ada juga batik jutaan, tapi ternyata itu batik printing, bukan asli, makanya perlu undang-undang untuk melindungi konsumen dari pedagang yang nakal atau pedagang yang memang juga tidak tahu," kata dia.

Dia juga menekankan diperlukannya edukasi kepada masyarakat untuk dapat membedakan batik asli dengan batik printing, agar masyarakat memahami dan menghargai proses pembuatan batik asli.

"Coba saja ke pusat perbelanjaan hari Jumat, saya yakin dari 100 orang yang ada di sana, hanya 40 persen yang pakai batik asli, sisanya 60 persen pakai batik printing," kata dia. Padahal batik itu bukan sekedar motif, tetapi proses," papar dia.

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014