Sampai kini, memang belum ada penurunan angka kematian ibu. Akan tetapi, data kematiannya sulit dibandingkan antara tahun 2013 dengan tahun sebelumnya. Hal itu karena metode survei yang digunakan juga berbeda sehingga sulit diperbandingkan,"
Kudus (ANTARA News) - Menteri Kesehatan Andi Nafsiah Walinono Mboi mengungkapkan angka kematian ibu dan bayi di Tanah Air hingga kini masih cukup tinggi.

"Sampai kini, memang belum ada penurunan angka kematian ibu. Akan tetapi, data kematiannya sulit dibandingkan antara tahun 2013 dengan tahun sebelumnya. Hal itu karena metode survei yang digunakan juga berbeda sehingga sulit diperbandingkan," ujarnya, di Kudus, Kamis.

Berdasarkan data dari Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, angka kematian ibu mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup, sedangkan hasil survei tahun 2012 angka kematian ibu hanya 228 per 100 ribu kelahiran hidup.

Menurut dia, untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi butuh komitmen dari pemerintah serta tenaga medis untuk ikut mengatasinya.

Seluruh pelayanan kesehatan ibu dan anak pada pelayanan dasar, katanya, harus benar-benar dioptimalkan.

"Kegiatan preventif dan promotif juga perlu dilakukan, mulai dari remaja hingga usia lanjut perlu mendapatkan pengetahuan mengenai masa-masa aman melahirkan," ujarnya.

Pasalnya, kata dia, persoalan usia dan kesiapan melahirkan turut menjadi penyebab kematian ibu dan anak.

Ia mengatakan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak hanya menangani dan membiayai orang-orang sakit, melainkan juga berupaya untuk menekan angka penderita sakit.

Dana kapitasi dari BPJS, lanjut dia, bisa digunakan untuk kegiatan preventif dan promotif kesehatan, seperti keamanan melahirkan.

Selain kegiatan preventif dan promotif, katanya, identifikasi oleh tenaga medis juga menjadi kunci utama untuk menekan terjadinya kematian ibu dan bayi.

"Ibu-ibu dengan risiko tinggi melahirkan harus mendapatkan kontrol tinggi oleh tenaga medis," ujarnya.

Bidan yang mengidentifikasi permasalahan tersebut, katanya, harus menjalin komunikasi dengan dokter spesialis jika diketahui ada gangguan atau masalah dengan ibu hamil, agar penanganannya tidak terlambat.

"Kehamilan dengan risiko tinggi juga tidak boleh diserahkan kepada bidan, melainkan harus ditangani oleh puskesmas atau tempat layanan kesehatan yang ada dokternya," ujarnya.

Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono mengatakan, pelayanan kesehatan di puskesmas seringkali mengabaikan komunikasi intensif terhadap ibu hamil dengan risiko tinggi.

"Kami juga menemukan buku KIA tidak diisi lengkap oleh petugas, terutama nomor telepon pasien yang seharusnya menjadi media pengingat kapan harus periksa kembali," ujarnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari 1.000 responden yang menggunakan buku KIA di Jateng, katanya, baru 58 persen yang diisi dengan lengkap.

Padahal, lanjut dia, pengisian data identitas yang lengkap juga menjadi indikator sikap responsif dan mempercepat akses pelayanannya.

(KR-AN/T007)

Pewarta: Akhmad NL
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014