Depok (ANTARA News) - Hasil hitung cepat suara pada Pemilu 2014 oleh beberapa lembaga survei yang tidak memberikan kemenangan mutlak bagi 12 partai nasional dan tiga lokal, akan memaksa mereka saling melakukan koalisi untuk memenangkan pemilihan presiden yang bakal digelar 9 Juli mendatang.

PDIP, partai yang memenangkan Pemilu Legislatif 2014 hanya berhasil meraih perolehan suara 19,24 persen - meski naik 5,23 persen dibanding Pemilu 2009 tetapi masih tetap lebih rendah dibandingkan raihan suara Partai Demokrat yang memenangkan pemilu legislatif lima tahun lalu, dengan 20,81 persen.

Masalahnya sekarang adalah, partai mana akan berkoalisi dengan siapa. Saat ini masing-masing parpol sedang menjajaki dan menimbang-nimbang dengan siapa mereka akan cocok berkoalisi. Sementara parpol papan tengah seperti PAN, PKS, PPP, dan Hanura selain bisa berkoalisi antar sesamanya, juga bisa dilamar oleh parpol tiga besar Pileg 2014.

Terkait dengan koalisi ini PDIP disebut akan sulit berkoalisi dengan partai nomor dua sampai empat dalam Pileg 2014, karena partai berlambang Kepala Banteng ini mempunyai masalah dengan Partai Gerindra, Golkar, dan Demokrat.

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio menyebutkan, partai besutan Megawati Soekarnoputri tersebut mempunyai sejarah besar dengan Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Demokrat. Namun sejarah tersebut kebanyakan berisi masalah-masalah.

"Sulit berkoalisi kecuali ada komunikasi intens. PDIP dengan Gerindra ada masalah Batu Tulis. Dengan Golkar, ada Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). Dengan Demokrat, masalah harga diri Megawati ke SBY," kata Hendri.

Dia menilai partai yang paling pas diajak berkoalisi oleh PDIP saat ini adalah Nasdem, karena selain Nasdem memiliki media, garis politik keduanya dinilai sama. Prediksi ini diperkuat pernyataan Joko Widodo usai bertemu Ketua Umum Nasdem Surya Paloh, bahwa kedua partai punya pandangan yang sama terkait model pemerintahan ke depan.

Jokowi menegaskan, PDIP dan Nasdem mempunyai pemikiran yang sama bahwa sistem presidensial ke depan harus kuat. Kedua partai, juga punya garis perjuangan yang sama. "Kita mempunyai platform yang sama. Ini yang ingin kita bangun ke depan."

Capres dari PDIP itu menambahkan, PDIP dan Nasdem ingin membuang jauh-jauh model koalisi yang berkarakter transaksional, bagi-bagi kursi, bagi-bagi menteri. "Kami PDIP dan Nasdem setuju dengan itu.".

Sejumlah elit PDI-P dan Partai Nasdem sudah melakukan pertemuan di Jakarta. Menurut Sekjen Partai Nasdem, Patrice Rio Capella, pertemuan itu diawali dengan saling memberikan ucapan selamat, kemudian membicarakan soal kebangsaan ke depan, termasuk bagaimana agar bisa bekerjasama di pemerintahan dalam rangka mengawal sistem presidensial.

"Kalau PDI-P kan sudah jelas calon presidennya Joko Widodo. Kami belum bicara dalam tahap cawapres dan teknis koalisi. Yang pasti ada kesepahaman dulu untuk bekerjasama membangun bangsa," katanya.

Hendri juga berpendapat, konstelasi politik ada di partai kelas menengah. PKB dengan Mahfud MD, PAN dengan Hatta Rajasa. Kalau Demokrat bisa membangun komunikasi bagus dan berkoalisi dengan Gerindra, maka peserta konvensi bisa menjadi pendamping Prabowo. "Sekarang juga publik mencermati ke mana Golkar akan merapat."

Hanya saja, menurut Koordinator Pusat Monitoring Politik dan Hukum Indonesia (PMPHI), Gandi Parapat, Demokrat sepertinya sulit untuk bisa memenangkan pilpres mendatang. Sebab, belum tentu partai lain mau berkoalisi dan menyetujui calon presiden dari Partai Demokrat. Partai lain justru ingin berkoalisi dengan PDI Perjuangan, Golkar dan Gerindra."

Sementara itu Direktur Political Communicatin (Polcomm) Institute, Heri Budianto melihat peta koalisi paska-pileg akan terbagi pada tiga klaster. Pertama PDIP, kedua Golkar, dan ketiga Gerindra. Masing-masing partai berpeluang mengajukan pasangan capres. "Saat ini semua klaster harus berkoalisi untuk mengajukan pasangan capres, termasuk PDIP yang perolehan suaranya berada di kisaran 19 persen," katanya.

Heri meprediksi, peta partai menengah Nasdem dan PAN akan mengarah pada PDIP. "Ini yang di permukaan terlihat komunikasi politiknya. Kemudian Hanura memiliki kesamaan visi dengan Golkar, sehingga ada kemungkinan Hanura akan merapat ke Golkar."

Gerindra tampaknya masih menunggu. "Memang ada PPP yang awalnya akan merapat ke Gerindra. Namun dinamika internal di PPP yang memprotes kehadiran Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP dalam kampanye Gerindra, membuat beberapa elit PPP sulit untuk bersama Gerindra," ujarnya.

Partai yang akan menentukan arah koalisi menurut dia adalah Demokrat dan PKB. Dengan perolehan 9 persen tentu kedua partai ini akan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi kepada PDIP, Golkar dan Gerindra. "Namun Demokrat kelihatannya tidak akan merapat ke PDIP, sementara PKB akan sangat cair di klaster manapun."


Tak Mau "Koalisi Gagap"

Namun dmikian, Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo menyebutkan, partainya tak mau buru-buru membicarakan koalisi. "Kami tak mau terjebak koalisi," katanya sambil menambahkan bahwa soal koalisi baru akan dibicarakan setelah hasil pileg keluar. Saat ini partainya berfokus mengamankan suara, mulai pemilihan hingga penghitungan surat suara.

Nenurut Tjahjo, dalam berkoalisi PDIP tak ingin hanya berkutat pada pembagian kekuasaan. Koalisi bukanlah sekadar penentu jatah menteri di kabinet. Koalisi harus dibangun dengan semangat bersama membangun kesejahteraan. "Kami tak mau pengalaman pemerintahan selama 10 tahun ini - koalisi gagap - kembali terjadi."

Meski belum memutuskan berkoalisi, Tjahjo mengaku partainya terus membina komunikasi politik dengan sejumlah pimpinan partai, termasuk dengan Partai Amanat Nasional. Dia membenarkan pernyataan petinggi PAN, Zulkifli Hasan, bahwa kedua partai sudah beberapa kali bertemu. "Memang kami bertemu, tapi belum mengarah ke koalisi."

Sementara itu Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saifuddin menilai isu bakal koalisinya PAN dengan PDIP bukan persoalan serius yang mengganjal partainya pasca Pileg 2014.

Lukman berpendapat, isu koalisi ini bisa terealisasi namun tidak memiliki potensi untuk keuntungan PDIP yang berpeluang menarik suara warga Muhammadiyah. "Saya lihat enggak sejauh itu ya (menarik suara Muhammadiyah). Enggak ada masalah juga kalau terjadi koalisi itu. Saya pikir itu peluang besar untuk direalisasikan."

Isu bakal koalisi antara PDIP dengan PAN muncul setelah Hatta Rajasa bertemu dengan petinggi partai berlambang moncong putih itu. Meski tidak mengaku terang-terangan, kedua partai ini diduga sudah membicarakan arah koalisi pasca Pileg 2014.

Terkait rencana koalisi partainya, Lukman menegaskan bahwa PPP masih terbuka untuk berkoalisi dengan partai mana pun termasuk PDIP, asalkan memiliki komitmen serta misi yang sama. "Saya pikir posisinya sama ya, dengan Pak Prabowo, Pak Jokowi dan Pak ARB. Kemudian misi kita mensinkronisasikan masing-masing gabungan ini untuk lima tahun ke depan."

Tentang koalisi partai-partai ini, berdasarkan pengalaman jatuh bangunnya hubungan koalisi di pemerintahannya, Presiden SBY punya pesan khusus bagi kepala negara penggantinya nanti. Menurut Ketua Umum Partai Demokrat itu, meski pada 2004 mendapat 66,3juta suara dan pada 2009 mendapat 73,8 juta suara, tapi kekuatan partainya di parlemen hanya 21 persen. "Posisi itu sangatlah tidak aman untuk menjalankan pemerintahan. Karena itu, mau tidak mau kami harus merajut koalisi."

Namun demikian, SBY mengingatkan bahwa yang namanya koalisi politik, di negeri mana pun bakal mengalami problematik. Tapi itu masih lebih baik ketimbang tidak ada sama sekali. Karena itu, dia meminta presiden mendatang harus sabar, sebab jika koalisi itu tak sejalan, bisa makan hati. Makanya harus hati-hati mencari patner koalisi.

Kecuali jika partainya bisa meraih 55 persen suara pemilu. Jika sudah begitu, Presidennya bisa mengisi kabinet dengan menteri yang diinginkan seperti di era Presiden Soeharto. Dulu dari Golkar, teknokrat dan ABRI.

Seperti kata SBY, koalisi memang tak ideal, tapi lebih baik dibandingkan dengan tidak ada koalisi sama sekali. Yang penting diingat adalah, pilihlah mitra koalisi yang loyal dan sejalan, jangan bergabung dengan parpol yang memiliki potensi berseberangan di kemudian hari. (*)

Oleh Illa Kartila
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014