Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan secara konstitusi DPR tidak memiliki kewenangan melakukan rekrutmen atau pemilihan pejabat negara.

Hal ini diungkapkan Bambang saat membacakan keterangan KPK dalam pengujian UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa.

"DPR mempunyai fungsi yang telah dirumuskan secara eksplisit dan limitative dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, yakni fungsi legislasi sebagai pemegang kekuasaan pembentuk UU, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan," kata Bambang di depan majelis hakim yang diketuai Hamdan Zoelva.

Selain ketiga fungsi tersebut, lanjutnya, untuk melaksanakan tugas-tugasnya maka DPR juga diberikan beberapa hak yang diatur dalam Pasal 20A ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, yaitu hak angket, hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.

"Jadi tidak satupun pasal di dalam konstitusi yang menyebutkan secara eksplisit dan tegas bahwa DPR mempunyai kewenangan untuk melakukan rekrutmen atau pemilihan pejabat negara," katanya.

Oleh karenanya, lanjut Bambang, proses rekrutmen pejabat atau penyelenggara negara, termasuk pimpinan KPK yang dilakukan DPR tidak sesuai dengan pelaksanaan ketiga funsi DPR.

Wakil ketua KPK ini juga mengungkapkan proses rekrutmen yang dilakukan oleh DPR selama ini bersifat "techinical selection" yang disertai dengan "potensi konflik kepentingan" dan "political invation".

"Dengan kata lain, proses rekruitmen pada suatu lembaga independen maka bilamana perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, maka potensi pengaruh politik, baik yang bersifat laten maupun manifest seharusnya ditiadakan," harapnya.

Bambang mengatakan kewenangan DPR dalam melakukan seleksi pimpinan KPK dapat mendorong terjadinya potensi intervensi yang dapat mempengaruhi independensi lembaga pemberantas korupsi ini melalui proses seleksi.

Dia juga menilai pola rekrutmen pimpinan lembaga negara di Indonesia terjadi ketidakseragaman, dimana beberapa lembaga menentukan sendiri ketuanya, namun ketua KPK dipilih oleh DPR.

"Fakta tersebut semakin menegaskan adanya kebijakan yang bersifat diskriminatif, selain potensi dan fakta intervensi atas KPK yang salah satunya melalui proses rekrutmen para pimpinannya," kata Bambang.

Pengujian UU KY dan KPK ini dimohonkan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Edy Suandi Hamid dan dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Sri Hastuti Puspitasari, yang menggugat kewenangan DPR dalam memilih calon anggota KY dan calon anggota KPK.

Mereka menguji Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Pemohon meminta MK membatalkan kata "memilih" dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY dan kata "dipilih" dan frasa "memilih dan menetapkan" dalam Pasal 30 ayat (1), (10), (11) UU KPK sepanjang dimaknai "persetujuan".

Selain itu, frasa sebanyak tiga kali dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY harus dimaknai "sebanyak sama dengan". "Frasa sebanyak 21 dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai sebanyak tujuh calon.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014