Jakarta (ANTARA News) - Selera berbusana kedua pasang calon presiden dan wakil presiden lebih sering mencerminkan kepribadian mereka dalam memimpin.

Sejatinya menjadi mudah bagi masyarakat untuk memilih pemimpin jika mereka lebih dahulu paham semiotika visual fashion para capres-cawapres; Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Namun, rumus itu menjadi tidak baku manakala fashion kandidat telah dibentuk menjadi alat pencitraan oleh tim sukses mereka masing-masing.

Misalnya, Jokowi yang tampil mengenakan kemeja kotak-kotak saat pengambilan nomor undian di Kantor Komisi Pemilihan Umum  pada 1 Juni 2014.

Pemilihan pakaian itu telah menjadikan mantan Wali Kota Solo itu menjadi demikian mencolok karena tampil paling tidak senada dengan ketiga tokoh yang lain.

Antropolog Teuku Kemal Fasya berpendapat pakaian kotak-kotak telah menjadi trend setter Jokowi sejak mencalonkan diri sebagai calon gubernur pada 2012.

"Pakaian itu telah memiliki makna khusus. Siapa pun yang memahami alam politik Indonesia pasti hanya akan memiliki asosiasi tunggal terhadap gaya pakaian itu," katanya.

Namun pakaian biru-jingga kotak-kotak itu faktanya bukan hanya melekat kepada Jokowi tapi juga Ahok.

"Mungkin atas dasar itu pula, Jusuf Kalla (JK) tidak memilih baju kotak-kotak yang bisa menyebabkannya terjerumus pada simbolisme Ahok yang keras, langsung pada poin masalah, arogan, minoritas, dan muda. JK perlu simbolisme baru dan mitos baru tentang dirinya dengan kemeja putih yang dilipat selengan," katanya.

Wiranto bahkan mengatakan satu hal yang paling disuka para purnawirawan jenderal terhadap Jokowi adalah kesederhanaannya.

Menurut dia hal itu terlihat dari pakaian yang sehari-hari dikenakan Jokowi ketika blusukan ke kampung-kampung di Jakarta.

"Baju, Rp100.000, celana Rp115.000, sepatu juga cuma berapa harganya. Coba bayangkan pemimpin kita kayak begitu," kata Wiranto.

Soekarnoisme
Sementara itu, capres Prabowo dan cawapres Hatta kerap kali mengenakan kemeja putih dengan empat saku yang langsung mengarah pada referensi tunggal penggagas pertamanya yakni Soekarno.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Harris Bobihue mengatakan, penggunaan kemeja tersebut dimaksudkan untuk melestarikan budaya hidup para pendiri bangsa, di mana para pejuang kemerdekaan selalu mengenakan busana bercorak seperti itu.

"Sosok Bung Karno ciri khasnya seperti itu. Pak Prabowo senang, beliau mengagumi Soekarno sampai baju pun beliau melihat perlu dilestarikan," katanya.

Ia menambahkan busana yang dikenakan Prabowo itu dibuat oleh seorang penjahit rumahan yang berada di Bogor, Jawa Barat.

Bahan serta corak kemeja yang dikenakan Prabowo sama persis dengan yang dikenakan oleh seluruh kader Partai Gerindra.

Sayangnya, ditinjau dari sudut semiotika beberapa tokoh yang mencoba mengikuti fashion ala Soekarno nyatanya hanya jadi pengekor budaya kemeja dan tidak menjadi sosok seideologis Soekarno.

Pun serupa ketika Prabowo dan Hatta menjadi mimicry yang kandas dari Soekarno asli.

Antropolog Teuku Kemal Fasya berpendapat Prabowo dan Hatta telah gagal "membunuh" sang pencipta kemeja kotak empat itu (The Author-God).

"Kesannya mereka hanya menjadi pengikut ahistoris. Politik simulacra yang dilakukan Prabowo - Hatta tidak sukses meng-counter-signature sejarah fashion Soekarno," katanya.

Bahkan justru menurut dia terselip simbolisme borjuistis, dengan badan tambun, tua, dan tidak gesit.

"Ingat baju ala Eropa itu digunakan Soekarno ketika berumur 30-40-an, sebagai perlawanan simbolis atas kolonialisme Belanda dengan menggunakan simbol kolonial juga istilahnya decoding with encoding process," katanya.

Saat Pengundian
Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menganalisis bahasa tubuh (gesture) capres Jokowi dan Prabowo yang sangat berbeda saat mengikuti pengambilan nomor urut Pilpres 2014 di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat,

"Jika calon presiden nomor urut satu, Prabowo menampilkan sikap yang tidak santai, capres nomor urut dua yakni Jokowi justru terlihat santai menghadapi pengambilan nomor urut tersebut. Terlebih, saat menyampaikan sambutannya, Prabowo terkesan kaku dan bergaya layaknya pejabat pada umumnya," katanya.

Menurut dia, awalnya Prabowo tampil cukup lurus, fokus, sementara Jokowi yang pada awalnya menyampaikan pidato singkat dengan pernyataan yang rileks, tapi kemudian justru mencuri pagar, dengan mengatakan nomor dua itu keseimbangan, sambil terkesan mencuri start kampanye.

Untuk Prabowo, kata dia, jauh lebih struktur tapi terkesan kaku dengan pernyataan yang khas pejabat dan kurang jenaka.

"Dalam pidato kedua pasangan capres tersebut juga terlihat adanya permainan vokal yang menunjukkan ciri khas keduanya, yang secara tidak langsung bisa membuat masyarakat menentukan presiden pilihannya," katanya.

Soal proses pengambilan nomor urut juga menjadi fenomena menarik, tapi yang dipertaruhkan bukan komunikasi verbal tapi juga gestur dimana ada juga vokalika memainkan tone yang akan dilihat publik.

"Kalau pemilih ingin melihat sosok yang tegas preferensi yang mana, kalau sosok yang dekat dan membumi itu pilih kemana," katanya.

Sementara dari sisi pidato tiga menit Prabowo memulai dengan  "assalamualaikum wr wb, shalom, salam sejahtera, dan om swasti wastu" yang ingin dijadikan alat rekonstruksi dirinya sebagai bagian dari pro-pluralisme dan bukan pendukung fasisme religius.

Itu sekaligus menjadi indeks yang digunakan oleh komunitas pro-pluralisme sebagai penghargaan atas agama-agama yang ada di Indonesia

Sedangkan Jokowi memulai dengan salam ala Nahdliyin yang terkesan ingin mendekonstruksi bangunan nasionalisme yang terlanjur pekat di dalam dirinya.

Simbolisme Jokowi sebagai sosok tak jelas agamanya seperti yang selama ini dikampanyehitamkan oleh lawan-lawan politiknya, ternyata memiliki wajah lain.

Bagi partai pendukung anti-Jokowi, penampilan Jokowi di luar perkiraan.

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 diikuti pasangan capres dan cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Oleh Hanni Sofia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014