Sao Paulo (ANTARA News) - Swelly, didampingi menantunya Eloisa, tampak sibuk di dapur, menyiapkan makan siang di rumah mereka yang cukup besar di distrik Campanario, selatan Kota Sao Paulo.

Suaminya Wanderlei Correia de Lima, sehari sebelumnya memberi tahukan bahwa mereka akan mengundang Antara dan beberapa wartawan Indonesia yang khusus datang untuk meliput Piala Dunia 2014.

Swelly (50 tahun), bertugas membakar daging sapi, sementara Eloisa menyiapkan spagetti dan salad. Di atas meja, sudah tersedia aneka buah-buahan, minuman segar dan es krim.

"Kami tahu bahwa mayoritas orang Indonesia beragama Islam, jadi kami memang sengaja tidak menyediakan daging babi," kata Swelly, wanita kelahiran Sao Paulo 50 tahun lalu.

Sambil menunggu hidangan, Wanderlei yang bekerja perusahaan kereta api bawah tanah (Metro) di bagian perawatan sistem kontrol itu mengajak tamunya untuk bersantai di ruang keluarga sambil menyaksikan tayangan sepak bola Swiss vs Ekuador.

Di dinding, terpampang poster klub Santos, menandakan bahwa mereka adalah pendukung salah satu klub papan atas di liga domestik Brazil itu, asal pemain tim nasional Neymar Jr.

Melalui Romo Ferdinand Doren yang bertindak sebagai penerjemah, Wanderlei dengan bersemangat mengatakan bahwa ia yakin kali ini Brazil akan tampil sebagai juara.

Romo Ferdinand adalah pastur umat Katholik asal Flores, Indonesia yang sudah dikenal luas di kawasan Campanario tersebut dan Wanderlei adalah salah satu keluarga jemaatnya.

"Saya berharap nanti Brazil akan bertemu Argentina di final, pasti ramai," kata Wanderlei.

Tapi prediksi Wanderlei dipatahkan oleh anaknya Lucas yang lebih menggunggulkan Belanda dibanding Argentina, melihat keperkasaan Tim Oranye itu saat melumat juara bertahan Spanyol 5-1.

Dalam pembicaraan yang penuh canda, Wanderlei kemudian bertanya mengapa di Indonesia sulit sekali mencari 11 peman sepak bola berprestasi dari sekitar 230 juta penduduknya.

Pria bertubuh tinggi besar itu hanya tertawa ketika dijawab bahwa pemain Brazil banyak yang mencari makan di Indonesia di klub Indonesia (meski gaji mereka sering terlambat) dan tentunya mereka tidak akan laku jika pemain lokal lebih berprestasi.

Beberapa keluarga di Brazil berusaha untuk memanfaatkan Piala Dunia 2014 sebagai moment untuk lebih mengenal lebih dekat tamu dari luar, benar-benar untuk mempererat tali persaudaraan.

Beberapa hari sebelumnya, Antara dan beberapa wartawan dari Indonesia juga diundang oleh keluarga Ira Miguel untuk santap malam di rumah mereka di kawasan yang sama.

Di dinding halaman belakang tempat jamuan digelar, sudah terbentung bendera Merah Putih, bersanding dengan bendera Brazil.


Hapus Kekhawatiran

Berita yang negatif mengenai Brazil, terutama soal tingginya angka kejatahan jalanan di kota-kota besar seperti Sao Paulo, cukup merisaukan mereka yang akan menyaksikan Piala Dunia 2014.

Seperti yang diberitakan oleh media asing maupun media lokal Brazil, kejahatan diperkirakan akan semakin meningkat saat berlangsungnya pesta empat tahunan itu.

Dalam pemberitaan tersebut, kejahatan jalanan dengan sasaran sekitar 600.000 tamu yang mengalir ke Brazil, akan banyak ditemui di Rio de Janeiro dan Sao Paulo, di mana terdapat perkampungan kumuh (favela) yang menjadi sarang pengedar narkotika.

Namun fakta yang ditemui di lapangan, setidaknya sampai saat berita ini diturunkan, hampir tidak ditemui kejahatan terhadap tamu asing.

Keramahan yang ditunjukan oleh keluarga Ira Miguel dan Vanderlei, serta masyarakat distrik Campanario sehari sebelumnya pada pesta rakyat Festa Junina (Pesta Bulan Juni), membuat semua kekhawatiran tersebut langsung terkikis.

"Di negara manapun, pasti ada kriminalitas, meski dengan tingkat yang berbeda-beda. Sekarang terjadi gencatan senjata antara pemimpin geng dan polisi demi kesuksesan Piala Dunia," kata Vanderlei.

Bukan tidak mungkin, setelah Piala Dunia usai dan tamu-tamu asing kembali ke negara masing-masing, akan kembali perang antara polisi dan penjahat.

Seperti yang dikutip surat kabar Brazil O Globo, berdasarkan survei yang dilakukan di 12 kota tuan rumah, umumnya tamu Piala Dunia merasa terkesan dengan keramah tamahan warga lokal.

Masalah yang cukup mengganggu adalah sikap aji mumpung sebagian pemilih hotel yang melambungkan tarif kamar dengan rata-rata 300 dolar AS permalam, terutama di Rio de Janeiro.

Kendala lain adalah soal komunikasi karena sangat sedikit pelayan restoran atau warga yang bisa berbahasa Inggris.

Sulitnya berkomunikasi yang kemudian menjadi cerita lucu terjadi saat Antara berbelanja di sebuah pasar swalayan di kawasan Diadema.

Bahkan pelayan wanita di pasa swalayan yang cukup besar itu tidak mengerti kata "milk", meski telah dilakukan berbagai upaya. Komunikasi akhirnya berhasil melalui bahasa isyarat dengan cara menunjuk dada sampai mengisap ibu jari, menunjukkan bayi yang sedang menyusui.

Pewarta: Atman Ahdiat dari Sao Paulo
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014