... insenerator dikenal sebagai pengguna bukan penghasil energi... "
Jakarta (ANTARA News) - Aktivis lingkungan dari Bali Fokus, Yuyun Ismawati, mengingatkan bahaya penggunaan alat pembakar sampah atau insenerator yang mulai digagas pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi timbunan sampah di Ibukota.

"Insenerator atau pembakar bukan solusi untuk mengatasi persoalan sampah, justru menambah masalah karena asap pembakaran menghasilkan racun," katanya, saat diskusi media di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, rencana pembakaran sampah di tiap kelurahan itu akan membahayakan lingkungan dan manusia, apalagi lokasi pembakaran di daerah permukiman padat penduduk.

Selain itu, sampah yang dihasilkan masyarakat di Indonesia didominasi sampah organik mencapai 60 persen dengan kandungan air tinggi sehingga sulit dibakar. Dengan kandungan air tinggi, maka kalor sampah di Indonesia hanya 2 hingga 4 Megajoule.

"Sedangkan syarat kalor sampah yang layak dibakar adalah 6 hingga 7 Megajoule, jadi secara teknis tidak layak bakar," tambahnya.

Di sisi lain, alat pengukur tingkat pencemaran udara dari pembakaran sampah menggunakan insenerator juga belum ada di Indonesia. Alat itu tersedia di Singapura dan Selandia Baru.

Pembakaran sampah kata dia menghasilkan racun berbentuk dioksin dan furan jenis karsinogenik yang sudah dilarang dalam Konvensi Stockholm pada 2009 dimana Indonesia turut meratifikasi aturan itu.

Koordinator Indonesia Toxics-Free Network ini menambahkan, insenerator dikenal sebagai pengguna bukan penghasil energi sebab untuk membakar sampah perlu solar atau ditambah batubara.

Aktivis Greenpeace Indonesia, Asrof, mengatakan, biaya pembakaran sampah dengan insenerator mencapai 50 dolar AS per ton. Sedangkan pengelolaan sampah dengan sistem daur ulang hanya 19 dolar AS per ton. 

"Belum termasuk biaya kesehatan dan lingkungan dari dampak polusi racun seperti logam berat dan dioksin yang seringkali tidak dihitung," ujarnya.

Selain menghasilkan racun, alat pembakar sampah itu akan menghilangkan mata pencaharian para pemulung yang menggantungkan hidup dari penjualan sampah jenis plastik, kertas dan kardus. 

Pendiri The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) atau Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia, Harry Surjadi, mengatakan, pemerintah perlu mengubah kebijakan tentang pungutan iuran sampah dari masyarakat.

Warga yang menghasilkan sampah sedikit dengan penghasil sampah yang banyak seharusnya dibedakan nominal iurannya.

"Semakin banyak menghasilkan sampah maka iurannya lebih besar dan sebaliknya, sehingga masyarakat berpikir untuk mengurangi produksi sampah," katanya.

Ia berpendapat, kampanye buang sampah pada tempatnya harus diganti dengan kampanye pengurangan sampah.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menganggarkan dana Rp702 miliar dalam APBD 2014 untuk pengelolaan sampah. Penerapan teknologi insenerator diklaim akan menghemat dana pengelolaan sampah hingga 60 persen.

Pewarta: Helti Sipayung
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2014