Jakarta (ANTARA News) - Kopi Keliling. Mendengar namanya, mungkin yang terlintas dalam pikiran sebagian orang adalah penjual kopi yang berpindah-pindah lokasi. Padahal Kopi Keliling sebenarnya adalah nama gerakan untuk mengampanyekan seni visual kepada khalayak.

"Ya, banyak orang sering terjebak ketika awal kami terbentuk. Mereka mengira kami komunitas pecinta kopi dan sejenisnya. Namun ketika datang ke acara kami, mereka seolah dijebak untuk melihat pameran seni visual," ungkap Raymond Malvin (32), penggagas gerakan Kopi Keliling.

Pria berkacamata yang gemar minum kopi tanpa gula itu menyebut Kopi Keliling sebagai gerakan baru dalam dunia kreatif Jakarta yang kegiatannya selalu berhubungan dengan seni dan kopi.

Kopi Keliling memadukan seni visual dan kopi dalam kegiatan-kegiatan pameran, lokakarya, dan diskusi.

Dalam setiap pamerannya, gerakan ini berusaha menampilkan karya-karya seni visual para seniman muda, baik yang berupa gambar, lukisan atau ilustrasi yang bisa diterapkan pada media seperti kertas, kanvas, kayu, logam, dan kulit.

Mereka menggelar pameran-pameran seni visual bertajuk Volume di kedai-kedai kopi. Alasan mereka sederhana, kopi selalu menarik bagi banyak orang dan merupakan unsur yang akrab dengan para pekerja seni.

Namun tidak sembarang kedai kopi bisa jadi tempat pameran Kopi Keliling. Komunitas yang aktif di media sosial itu punya kriteria sendiri soal kedai kopi yang layak jadi tempat pameran seni visual.

"Harus ada kopinya. Karena kopi adalah rasa tanah Indonesia, maka kopi yang dijual harus ada kopi lokal. Pemiliknya juga harus orang asli Indonesia, karena salah satu esensi gerakan kami adalah dukungan dan apresiasi kepada segala yang lokal," jelas Raymond.

Lima pengurus Kopi Keliling pertama kali menggelar pameran, yang bertajuk Kopi Keliling Volume 1, tahun 2011 di Tornado Coffee, Jakarta.

Pameran itu diikuti oleh 10 seniman visual muda: Arris Aprillo, Arya Mularama, Bugsy, Dmaz Brodjonegoro, Emte, Hendy Musa (Ape Republic), Lala Bohang, Moreza, Motulz, Thunderpanda.

Setelah menuai sukses pada pameran pertama, Kopi Keliling konsisten menggelar pameran di kedai-kedai kopi seperti Anomali Coffee, Kedai, The Coffee & Co, TRYST'S Resto & Gallery, dan 1/15 Coffee di Jakarta.

Tahun 2013 mereka menggelar pameran pertama di luar Jakarta. Pameran bertema Mafia Kopi yang digelar di Kedai Kebun, Daerah Istimewa Yogyakarta, diikuti oleh 47 seniman.

"Pameran kami yang pertama mendapat apresiasi yang cukup baik dari pengunjung, itulah yang kemudian memunculkan energi bagi kami untuk terus mengelar pameran-pameran berikutnya," kata Raymond, lulusan Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan.

Proyek Kopi Keliling sudah sampai Volume 7. Sekarang mereka sedang mempersiapkan pameran Volume 8 dan pembukaan galeri kecil.


Bermula dari Kegelisahan

Kopi Keliling melihat kopi dan seni di Indonesia punya nasib yang sama, minim apresiasi dari bangsanya sendiri.

Raymond dan para pengurus Kopi Keliling merasakan fenomena inferiority complex di antara kaum muda Indonesia, yang memunculkan anggapan bahwa produk-produk asing selalu lebih bagus dan lebih menarik dibandingkan dengan produk dalam negeri. Demikian pula dalam hal seni.

Raymond mencontohkan bagaimana penyanyi asing dibayar untuk datang ke Indonesia dan tiket pertunjukannya selalu habis terjual berapapun harganya. Sementara di dalam negeri, masih banyak seniman-seniman yang kesulitan untuk terus berkarya dan dikenal.

Ide membentuk gerakan Kopi Keliling, menurut dia, muncul dari kegelisahan itu, kegelisahan melihat kurangnya apresiasi masyarakat terhadap seniman visual dalam negeri dan karya-karya mereka.

"IIustrator visual banyak butuh dukungan orang umum sebagai apresiator, yang harus masuk ke ranah kami dengan aktif terlibat mendukung dan menyebarkan seni visual," katanya.

Patricia Wulandari (29), pengurus Kopi Keliling yang lain, membenarkan pernyataan Raymond.

"Masalahnya mungkin adalah masyarakat tidak mengenal pekerjaan, passion dan industri para ilustrator grafis. Lalu bagaimana cara memperkenalkannya? Kami memilih dengan cara mengadakan pameran seni visual dengan konsep cafe to cafe," katanya.

Dari konsep itulah kata "keliling" muncul sebagai nama gerakan, mendampingi kata "kopi" yang menjadi representasi para pegiat seni.

Perempuan yang akrab disapa Patty itu mengatakan Kopi Keliling ingin menyediakan ajang yang mempertemukan para seniman, juga antara para seniman dengan orang-orang yang mengapresiasi mereka.

Menurut Kopi Keliling, sinergi antar-seniman dan antara seniman dengan orang-orang yang mengapresiasi karya mereka penting untuk menjaga relasi, dan juga konsistensi untuk berkarya.

"Kopi Keliling menyeleksi seniman-seniman visual yang konsisten untuk menjadi peserta, yaitu mereka yang walaupun sedang sepi event tapi tetap terus berkarya. Kami rajin mengecek blog-blog para seniman saat proses seleksi," kata Patty, lulusan Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pelita Harapan.

Kopi Keliling tidak mengukur apresiasi pada aktivitas seni dari uang yang dihabiskan untuk memiliki suatu karya seni, tapi lebih pada pengetahuan dan pemahaman tentang aktivitas seni tersebut.

"Ketika kita menyukai satu seniman, kita ikuti karya seniman itu terus. Dengan cara sederhana, misalnya rajin memantau blog mereka. Justru itulah apresiasi tertinggi yang memiliki kekuatan agar para seniman tidak berhenti berkarya," kata Patty.

Dan tujuan panjang Kopi Keliling tidak hanya meningkatkan apresiasi terhadap seni visual Indonesia saja, tapi apresiasi terhadap Indonesia secara keseluruhan.

Raymond kemudian menunjukkan satu bungkus kopi dengan merek asing, lalu memperlihatkan bagian dalamnya, pada bagian komposisi tertulis kata "Sumatra", salah satu wilayah penghasil kopi di Indonesia.

Bersama rekan-rekan di Kopi Keliling, ia juga ingin mengajak anak-anak muda bangsa ini melihat ke dalam, melihat potensi dan karya bangsa sendiri, dan menghargainya.

Oleh Roberto Calvinantya Basuki
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014