Jembrana, 6 Oktober 2014 (ANTARA) - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini tengah mengembangkan infrastruktur oseanografi berbasis teknologi satelit melalui proyek kerja sama dengan Pemerintah Prancis. Proyek bernama Infrastructure Development for Space Oceanography (INDESO) ini mulai diimplementasikan tahun 2012 dan menjadi inovasi teknologi pertama di Indonesia yang mengadopsi sistem operasional oseanografi. Sistem ini dikembangkan sebagai wujud konsistensi pemerintah dalam menjamin keberlangsungan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara lestari dan berkelanjutan. Hal itu disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo saat meninjau infrastruktur INDESO di lokasi Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) Jembrana, Bali, Senin (6/10).

Menurut Sharif, INDESO merupakan program yang didesain untuk memantau kondisi perairan Indonesia termasuk biogeokimia dan ekosistem dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dalam pengimplementasiannya. Tidak hanya itu, INDESO ditujukan juga untuk memperketat pengawasan terhadap aksi pencurian ikan di perairan Indonesia sekaligus melindungi kekayaan biodiversitasnya. Proyek ini mengacu pada pembentukan jaringan pengamatan oseanografi yang nyata, adaptasi pengembangan bentuk dan prediksi dalam sistem pengolahan maupun analisa.  Sehingga, memungkinkan untuk melakukan pemeliharaan perikanan secara berkesinambungan oleh nelayan di Indonesia.

Sharif menjelaskan, proyek yang berlangsung selama tiga tahun ini mencakup dua kegiatan utama. Pertama, pembangunan infrastruktur ground station/satellite reception dan fasilitas pengolah datanya. Kedua, pengembangan infrastruktur computing untuk pemodelan oseanografi dan hayati laut. Keduanya dibangun di BPOL Perancak – Bali, sedangkan sistem basis data sebagai sistem backup (Redundant Database System) dibangun di Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (BalitbangKP) di Jakarta.  “INDESO mengimplementasikan serangkaian alat dalam operasi yang  konsisten, terarah dan terstruktur serta terintegrasi dengan sistem informasi sebagai aplikasi untuk mendukung keputusaan dalam setiap layanan KKP”, jelas Sharif.

Sharif menuturkan dari dua infrastruktur yang dibangun, setidaknya terdapat tujuh aplikasi utama yang diimplementasikan. Aplikasi itu meliputi pemantauan IUU Fishing, pengelolaan sumberdaya ikan, serta pengamatan dan pemantauan cakupan dan kondisi terumbu karang dan hutan bakau. Kemudian, pengelolaan pesisir yang terintegrasi dan pengkajian lokasi perairan yang kondusif untuk budidaya rumput laut. Selanjutnya, pengamatan tambak udang dan inventarisir lokasi yang baik untuk tambak sejenis serta deteksi tumpahan minyak. “Implementasi dari aplikasi tersebut diharapkan dapat membantu upaya pemerintah dalam membangun perekonomian yang harmonis dengan lingkungan, serta dalam menentukan arah kebijakan untuk mitigasi bencana alam yang timbul dari fenomena kelautan sebagai bagian dari penelitian Blue Carbon Indonesia”, ujar Sharif.

Selain itu Sharif menambahkan, disahkannya Undang-undang (UU) Kelautan akhir September lalu memberikan konsekuensi positif terhadap pengembangan sektor kelautan. Selain menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan, tapi juga menempatkan laut sebagai subjek penting dalam kerangka pembangunan nasional. Dengan adanya UU ini, Indonesia telah melengkapi basis legal untuk bisa memanfaatkan kawasan laut lepas serta dasar laut internasional. Termasuk menambah peran Indonesia di laut lepas dan laut internasional. Berkenaan dengan hal itu, sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam meningkatkan perannya di kancah internasional, KKP akan mendirikan APEC Ocean and Fisheries Information Center (AOFIC) yang terletak di BPOL Perancak, Bali. AOFIC akan menjadi center of excellence bagi para stakeholders perikanan di kawasan Asia Pasific untuk mempelajari dan memahami dinamika kondisi sumber daya kelautan dan perikanan. “Fasilitas INDESO akan menjadi pendukung utama AOFIC dan Program Blue Carbon Nasional dengan kemampuan deteksi meliputi daerah yang luas secara cepat dan mengulanginya secara periodik dalam siklus waktu relatif singkat”, ucap Sharif.

Pengesahan UU Kelautan juga telah membuka kesempatan bagi investasi sektor kelautan dan perikanan. UU ini mengakomodir isu strategis penetapan zona tambahan, pengembangan pengelolaan sumber daya laut serta aturan investasi kerjasama internasional secara bilateral maupun multilateral. “Dengan semakin terbukanya tabir pengetahuan mengenai dinamika kelautan dan perikanan melalui Proyek INDESO ini, maka investasi di bidang kelautan dan perikanan di Indonesia menjadi lebih jelas dan prospektif”, tutur Sharif.

Perlu diketahui bahwa dalam proyek INDESO, pemerintah Indonesia mendapatkan dana berupa fasilitas pinjaman lunak (soft loan) dan grant dari Pemerintah Prancis melalui Badan Pemerintah Prancis yang bergerak di bidang pembangunan (AFD/Agence Francaise de Developpement).  Pinjaman itu senilai 30 juta dolar Amerika, dengan masa pengembalian selama 15 tahun. Sedangkan bantuan dalam bentuk dana grant tersebut akan dipergunakan untuk mendukung kegiatan capacity building, bantuan teknis dan operasional. Hal ini merupakan suatu paket komitmen Pemerintah Prancis untuk memperkuat kerja sama di bidang teknis dan ilmiah dalam meningkatkan eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Dana bantuan ini difokuskan untuk membiayai Proyek INDESO yang ditujukan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru di bidang kelautan dan perikanan. Penandatangan perjanjian kerjasama ini dilakukan 18 Juni 2012 di Jakarta.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Lilly Aprilya Pregiwati, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan  (Telp. 021-3520350)

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2014